DOKTER jadi istimewa di mata hukum. Buktinya, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Praktek Kedokteran yang sudah diajukan ke DPR, hukum buat dokter amat spesial. Dalam RUU itu, dokter tak boleh diperkarakan ke pengadilan pidana ataupun pengadilan perdata di peradilan umum (negeri). Dokter hanya bisa diadukan ke peradilan disiplin dokter, yang merupakan kamar khusus di pengadilan negeri. Kamar khusus ini mirip pengadilan niaga untuk kasus kepailitan ataupun pengadilan hak asasi manusia ad hoc di pengadilan negeri.
Peradilan disiplin dokter ada di pengadilan tingkat pertama (negeri) dan di pengadilan tingkat banding (tinggi). Hebatnya, majelis hakim peradilan disiplin dokter terdiri atas tiga sampai lima orang hakim yang salah seorang di antaranya harus dokter. Dengan begitu, nanti dokter bisa punya jabatan rangkap, yakni sebagai tenaga medis dan sebagai hakim. Selama ini, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, dokter cuma menjadi saksi ahli di pengadilan.
Hebatnya lagi, substansi dari berbagai kasus yang ditangani peradilan disiplin dokter, termasuk malapraktek, seperti mengambil alih hukum materiil pada KUH Pidana dan KUH Perdata. Dan hukum acaranya pun dikonversi dari hukum acara pidana dan hukum acara perdata, untuk selanjutnya dikawinkan dengan hukum acara pada peradilan tata usaha negara. Itu berarti korban malapraktek tak bisa lagi melaporkan dokter ke polisi atau menggugatnya ke pengadilan perdata, selain mengadukannya ke peradilan disiplin dokter.
Adakah calon undang-undang khusus untuk dokter itu makin menunjukkan kuatnya perlindungan bagi dokter, yang selama ini pun sulit dihukum dalam kasus malapraktek? Bahkan bakal perangkat hukum itu pun bisa menafikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berguna buat pasien korban malapraktek?
Sekretaris Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia, dr. Agus Purwadianto, membantah tudingan miring begitu. Menurut Agus, yang juga sarjana hukum, RUU Praktek Kedokteran tak dimaksudkan untuk melindungi dokter, tapi justru untuk melindungi masyarakat, khususnya pasien. Di banyak negara lain, undang-undang semacam itu lazim ada dengan sebutan medical practice act.
Sistem baru, yakni adanya dokter sebagai anggota majelis hakim, kata Agus, juga berkaitan dengan konsep perlindungan masyarakat. Sebab, pemeriksaan kasus kedokteran, termasuk malapraktek, tak bisa dibedah dengan teknik penyelidikan konvensional. Kasus-kasus itu mengandung masalah teknis kedokteran. ?Tak hanya pasien, pengacara, dan jaksa, bahkan hakim pun tak mengetahui soal teknis kedokteran. Akibatnya, penyelesaian kasus kedokteran menjadi bertele-tele dan tak memenuhi rasa keadilan masyarakat,? kata Agus kepada wartawan TEMPO Rian Suryalibrata.
Namun, Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, berpendapat bahwa undang-undang khusus dokter tak diperlukan. Soalnya, sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Seharusnya, petunjuk operasional dari undang-undang ini, yakni peraturan pemerintah tentang hak pasien, standar profesi, dan standar pelayanan medis, yang segera dibuat.
Kalau tidak, kata Marius, yang juga dokter di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, kepada Johan Budi S.P. dari TEMPO, bisa-bisa nanti kalangan farmasi dan perawat juga minta undang-undang tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini