Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Malangnya Pasien, Sialnya Klinik

Chen we chin, artis taiwan, meninggal dunia akibat bedah plastik mengencangkan buah dada. a fung, asisten klinik salon modern, jakarta, yang memberi suntikan lidonest kepada chen, diadili di pn jakarta barat.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WANITA mana yang tak ingin punya mata menawan, hidung mancung, atau buah dada kencang? Tak kecuali artis penyanyi asal Taiwan, Chen We Chin, 29 tahun, yang sesungguhnya sudah cantik dan seksi. Layaknya wanita, ia belum puas karena payudaranya, menurut perasaannya, tak lagi kencang dan kurang besar. Untuk itulah Chen, yang lagi menyanyi di beberapa klub malam di Jakarta, Juli lalu mengunjungi klinik bedah plastik Salon Modern di Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat. Konon, tante penyanyi itu, yang tinggal di Jakarta, berhasil ketika dioperasi klinik itu. Tapi nasib Chen nahas. Ia tewas di klinik itu akibat suntikan Lidones (pemati rasa) yang dilakukan asisten klinik itu, A Fung alias Tjhin Tjhin Nen. Karena perbuatannya itu, A Fung, 35 tahun, kini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada 8 Juli lalu, untuk pertama kalinya Chen datang ke klinik Salon Modern. Waktu itu, kata A Fung, Chen We Chin dalam keadaan teler mungkin terlalu banyak minum. Wanita muda itu mengatakan ingin mengencangkan dan memperbesar payudaranya. "Padahal, ukuran payudara We Chin sudah bagus," kata A Fung. Chen diminta A Fung kembali lagi empat hari lagi. Chen menepati janji itu. Ditemani tantenya ia muncul lagi di klinik tersebut. Tapi di siang itu Dr. Soeminta, pimpinan klinik dan dokter yang berwenang melakukan operasi itu, belum datang. Chen pun diminta mununggu. Sambil menunggu dokter, A Fung, yang hanya tamatan SMA, tapi mengaku sudah berpengalaman di bidang itu, menyuntikkan obat pemati rasa Lidonest ke pasien itu. Tak kurang dari delapan kali A Fung menyuntikkan Lidonest ukuran 20 cc pada payudara kiri dan kanan Chen. Setelah disuntik, Chen kepingin tidur. "Gua mau tiduran dulu, boleh nggak," katanya. A Fung mengizinkan. Tapi dua puluh menit kemudian, Chen berteriak kesakitan. Tubuhnya kejang-kejang sebelum jatuh pingsan. A Fung bingung. Ia menjulurkan kepala Chen ke bawah dan menekan dada korban berkali-kali. Pernapasan buatan lewat mulut juga dicobanya. Tapi korban tak bereaksi. Korban meninggal ketika dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Kecelakaan terjadi, menurut ahli anestesi RSCM, Dr. M. Roesli Thaib, kemungkinan karena penyuntikan Lidonest masuk pembuluh darah (intravena) pasien sehingga pasien keracunan. Seharusnya, kata Roesli, Chen mengetes dulu, apakah jarum itu mengenai pembuluh darah atau tidak, sebelum penyuntikan dilakukan. "Kalau dia mantri atau dokter seharusnya tahu," tambahnya. Jika kesalahan terjadi juga, menurut Roesli, pasien harus segera diberi obat penawar berupa adrenalin. Kelalaian itu tak dibantah A Fung. Ia mengaku, ketika itu, panik sehingga tak memberikan obat penawar untuk pasien itu. "Saya panik dan takut salah lagi," kata A Fung yang mengaku pernah "berguru" pada seorang ahli bedah dari Taiwan. Padahal sebelumnya, katanya, telah ratusan pasien yang ditanganinya dengan mulus. Mengapa ia diizinkan dr. Soeminta untuk menyuntik pasien? "Saya nggak bilang direstui. Secara langsung dokter tak memberi restu, tapi ia percaya saya," kata A Fung, yang di klinik itu bekerja sebagai body designer. Sebab itu, kecelakaan itu hanya dianggapnya sebagai kesialan. "Saya lagi sial," kata janda beranak dua ini. Soeminta menolak berkomentar atas kasus itu. "Bapak bilang nggak mau," kata pembantunya. Kabarnya, kematian Chen telah diselesaikan antara Soeminta dan suami korban, Ong Chin Hock, dengan damai. Ong menerima uang ganti rugi -- entah berapa -- untuk kematian istrinya itu. Yang pasti, untuk kasus ini Soeminta tak pula duduk sebagai terdakwa. la hanya dijadikan saksi. "Biar saya saja yang menanggungnya," kata A Fung pasrah. Chen, menurut catatan TEMPO adalah korban kedua operasi plastik di Indonesia. Sebelumnya, awal Februari 1987, istri seorang ketua pengadilan, Nyonya Sri Sulastri, 57 tahun, meninggal akibat operasi vagina atau vaginoplasty di Klinik Asih Trisna, Pluit, Jakarta. Hanya saja, berbeda dengan kasus Chen, perkara Nyonya Sulastri sampai kini masih bolak-balik antara kejaksaan dan Polda Metro Jaya. Akibatnya, dua dari empat dokter di klinik itu, Tresiaty dan Kartadinata, yang disebut-sebut sebagai tersangka, tak kunjung sampai ke pengadilan. "Tak jelas menyangkut di mana perkara itu," kata suami korban, Soebandi, yang kini menjadi hakim tinggi di Palembang (TEMPO 7 Mei 1988). Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus