Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Juni 2011, The New York Times memuat artikel "Justices Turning More Frequently to Dictionary, and Not Just for Big Words". Artikel itu menyoroti adanya peningkatan tren penggunaan kamus oleh hakim di ruang pengadilan di Amerika Serikat. Artikel itu juga mengutip hasil sebuah studi di The Marquette Law Review yang menemukan bahwa hakim telah menggunakan kamus untuk mendefinisikan 295 kata atau frasa dalam 225 pendapat selama 10 tahun terakhir.
Di Indonesia belum terbaca ada penelitian yang sama, tapi itu bukan berarti fenomena yang sama tidak terjadi. Ruang pengadilan tidak steril dari penggunaan kamus. Dalam kasus-kasus hukum, baik dalam proses pemeriksaan di kepolisian maupun di ruang pengadilan, kamus digunakan secara langsung atau tidak langsung. Kamus digunakan secara langsung oleh penegak hukum atau secara tidak langsung melalui keterangan ahli bahasa.
Keterlibatan bahasawan dalam kasus hukum dimungkinkan dalam dua hal. Pertama, sebagai juru bahasa (interpreter) untuk terdakwa atau saksi yang tidak memahami bahasa Indonesia, seperti dinyatakan dalam Pasal 177 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua, sebagai ahli bahasa yang keterangannya diperlukan untuk membuat terang suatu perkara. Keterangan ahli bahasa merupakan bagian dari alat bukti yang sah seturut Pasal 184 KUHAP.
Dalam beberapa kasus, ahli bahasa kerap ditanyai tentang pengertian umum dari "kata-kata kunci" dalam rumusan pasal yang disangkakan dalam suatu kasus hukum, seperti penghinaan atau pencemaran. Dalam konteks itu, ahli bahasa dapat memberikan keterangan dengan merujuk pada definisi yang dicatat dalam kamus karena sifatnya yang lebih umum. Dalam kasus lain, jaksa atau hakim langsung merujuk pada kamus untuk menerangkan kata atau istilah tertentu yang digunakan dalam pertimbangan penuntutan atau putusan hukum.
Untuk konteks Indonesia, kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Prita Mulyasari dapat diajukan sebagai contoh penggunaan kamus dalam konteks hukum. Dalam Putusan Nomor 1269/PID.B/2009/PN.TNG berkaitan dengan kasus Prita, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk menerangkan kata distribusi dan transmisi dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Hakim mempertimbangkan "bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, terbitan Balai Pustaka tahun 2007, yang dimaksud dengan distribusi antara lain adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau tempat, sedangkan yang dimaksud dengan transmisi adalah antara lain pengiriman (penerusan) dan sebagainya dari seseorang kepada orang lain".
Sementara itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 822 K/Pid.Sus/2010 tentang kasasi dalam kasus yang sama memuat definisi kata kritik dari Kamus Terbaru Bahasa Indonesia yang diterbitkan Reality Publisher pada 2008. Menurut kamus tersebut, kata kritik adalah "kecaman yang sering kali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar". Kemudian majelis hakim menyatakan bahwa "sejalan dengan pengertian kritik menurut Kamus Bahasa Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari kata kritik selalu dibarengi dengan kata saran". Definisi itu penting karena menjadi bahan pertimbangan majelis hakim untuk menilai bahwa "Majelis Hakim (Judex Facti) salah menafsirkan unsur pidana dalam dakwaan Kesatu sebagaimana telah dinyatakan terbukti dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum/Pemohon Kasasi. Bahwa putusan tersebut mengandung kekeliruan karena Majelis Hakim (Judex Facti) telah salah menafsirkan unsur yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dilakukan Terdakwa sebagai kritik dan untuk kepentingan umum".
Penggunaan dua kamus yang berbeda dalam kasus yang sama, meskipun digunakan untuk merujuk pada hal yang berbeda, menarik untuk dicermati. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menggunakan KBBI, mengapa majelis hakim Mahkamah Agung menggunakan kamus lain? KBBI dianggap sebagai kamus yang "otoritatif" karena banyak hal, maka penggunaan kamus lain dalam konteks tertentu perlu dicermati. Dugaan dapat diajukan bahwa hal itu dilakukan karena dua kamus tersebut mendefinisikan kata kritik secara berbeda atau tidak persis sama.
Apakah hal seperti itu boleh dilakukan? Ini layak untuk didiskusikan. Di Amerika Serikat, tren penggunaan kamus di ruang pengadilan memicu perdebatan. Fenomena itu menjadi tantangan untuk kedua pihak. Pekamus ditantang untuk lebih cermat dan tepat merumuskan makna kata yang ditunjang oleh korpus penggunaan kata dalam beragam konteks. Pengguna, dalam hal ini aparat hukum, perlu mempertimbangkan kamus mana dan dalam konteks apa dapat digunakan.
Asep Rahmat Hidayat
Peneliti di Balai Bahasa Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo