Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maju, tapi Sedikit

DPR menyetujui RUU Kejaksaan. Ada hal penting yang justru tidak tegas diatur.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kado istimewa pada Hari Kejaksaan ke-44, Kamis pekan lalu: kehadiran Presiden Megawati Soekarnoputri. Tak sari-sarinya presiden bertandang ke Gedung Kejaksaan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, itu. "Seingat saya, baru kali ini ada presiden yang hadir dalam acara ulang tahun Kejaksaan," kata I Ketut Murtika, Direktur Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Kejaksaan Agung. Pada "Hari Bhakti Adhyaksa"?demikian judul resmi hari jadi Kejaksaan itu?Presiden Megawati juga bertindak sebagai inspektur upacara. Kado lain yang tak kalah penting, sepekan sebelumnya, DPR menyetujui penetapan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan menjadi undang-undang. "Undang-undang ini diharapkan memantapkan peran jaksa dalam penegakan hukum," ujar Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, yang memimpin rapat paripurna DPR. Undang-undang baru ini terdiri atas 42 pasal, tujuh pasal lebih banyak ketimbang UU Kejaksaan No. 5/1991 yang digantikannya. Terdapat sejumlah hal yang selama ini tak tercantum dalam undang-undang lama, misalnya tentang wewenang jaksa dan tanggung jawab jaksa agung. Selain bertanggung jawab terhadap penuntutan yang dilaksanakan secara independen (pasal 37 ayat 1), disebutkan pula pertanggungjawaban jaksa agung harus disampaikan kepada presiden dan DPR (pasal 37 ayat 2). Hal baru lain adalah perkara pensiun. Sebelumnya, masa pensiun jaksa dipatok pada usia 58 tahun?untuk eselon IIa dan IIb batasnya 60 tahun. Kini usia pensiun molor hingga 62 tahun. Undang-Undang ini juga menyinggung pembentukan komisi untuk meningkatkan kualitas jaksa. "Bentuknya belum tahu, tapi mudah-mudahan tak tumpang tindih dengan tugas Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman. Yang jelas, hak membentuk komisi itu ada pada presiden. Bagi Murtika, yang terpenting dari undang-undang baru ini adalah kewenangan jaksa melakukan penyidikan dan penuntutan perkara tertentu. "Seperti korupsi atau penyelundupan," katanya. Undang-Undang yang lama tak mencantumkan kewenangan ini. Menurut pasal 27 ayat 1d undang-undang itu, untuk perkara tertentu, kejaksaan hanya memiliki kewenangan melengkapi berkas atawa melakukan pemeriksaan tambahan. Kini, menurut pasal 30 ayat 1d undang-undang yang baru, kejaksaan punya tugas dan wewenang "melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang." Ini memang penting bagi jaksa. Bukan cerita baru kalau selama ini jaksa dan polisi kerap "bergesekan" dalam perkara korupsi. Kejaksaan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan polisi bersandar pada UU Kepolisian. Celakanya, dalam sidang, tak semua hakim sudi menerima penyidikan yang dilakukan kejaksaan. "Alasannya, penyidikan korupsi itu bukan urusan jaksa, melainkan polisi," ujar Murtika. "Bagi saya, kewenangan melakukan penyidikan perkara khusus inilah yang paling berharga dalam undang-undang baru ini," ia menambahkan. Tapi Soeparman, mantan wakil jaksa agung, tak sepenuhnya sependapat dengan Murtika. Menurut dia, undang-undang baru ini masih menyisakan persoalan. "Di situ tidak ditulis secara tegas kewenangan jaksa melakukan penyidikan untuk kasus korupsi," katanya. Idealnya, menurut dia, ada ketegasan bahwa hanya jaksa yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap korupsi. "Tidak seperti sekarang, polisi dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga berwenang," katanya, "Ini membuka peluang saling menyalahkan." Bagi Soeparman, yang pernah menjadi penjabat sementara jaksa agung (di era Presiden Abdurrahman Wahid), "Dibanding yang lama, undang-undang baru ini memang ada kemajuan, cuma sedikit." Lain lagi pendapat pakar hukum tata negara Harun Alrasid. Ia menilai percuma undang-undang diubah jika hasilnya tak lebih baik dari yang lama. Di negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia, kata Harun, jarang undang-undang diubah. Jika ada pasal yang harus diperbaiki, ya, pasal itu saja yang diubah. "Bukan undang-undangnya yang diganti baru," ujarnya. Karena itu, Harun meminta DPR tak gampang menggonta-ganti undang-undang. "Ini kebiasaan yang perlu ditinjau kembali," katanya. L.R. Baskoro, Anissa, Sunariyah (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus