IA mendahului empat temannya memperoleh vonis. Sertu (purnawirawan) Isto Sukarta, 44, dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Bandung, Selasa pekan lalu. Yang hadir pelajar, tukang becak, anggota Persit, anggota Kopassus, dan anggota ABRI yang lain, bertepuk tangan. Sukarta adalah tertuduh utama dalam pembunuhan berencana terhadap Sertu Bulung dan anaknya, Mei 1983. Sungguh mengerikan kejadian itu. Sertu Samuel Bulung, korban pertama, sedang tidur siang waktu itu, 3 Mei 1983. Tiba-tiba Lience, istrinya, membekap wajah Bulung, Sukarta menikamkan pisau komando ke leher dan lambung, dan teman lainnya menusukkan besi lancip beraliran listrik. Menjelang tengah malam, Jhony Parorongan, anak korban yang menaruh curiga akan nasib ayahnya, menjadi korban kedua. Lolos dari kopi bertabur obat koreng yang disuguhkan Sukarta di rumahnya, pemuda yang baru tamat SMA itu tewas dihantam sepotong besi. Tubuh ayah dan anak ini dipotong-potong, dimasukkan ke dalam karung, dan dikuburkan. Setahun kemudian belulang itu digali, sisa-sisanya dibakar dan dikuburkan kembali di kebun. Tak ada bangkai yang tak tercium. Tidak pulangnya ayah dan anak yang dikabarkan pulang kampung ke Toraja, Sulawesi Selatan, itu dirasa aneh oleh Tamin, tetangga sebelah yang juga ketua RW. Maka, ketika Yohanes, Abdullah, dan Nandang Hidayat -- orang-orang yang selama itu dikenal dekat dengan Sukarta -- ditangkap karena dituduh membunuh dukun teluh di Sukamiskin, Tamin langsung curiga. Jangan-jangan Bulung dibunuh juga, karena selama ini Sukarta dekat dengan keluarga Bulung. Lalu Tamin melaporkan kecurigaannya ke kesatuan Bulung. Kemudian, terbongkarlah komplotan Sukarta (TEMPO 1 Maret). Di persidangan Sukarta, yang tampak gagah dan kekar itu berterus terang meskipun juga tak menunjukkan rasa sesal. Dan itulah yang sekaligus meringankan dan memberatkan hukumannya. Sidang perkara ini sangat cepat. Hanya dalam jangka waktu 15 hari, dilakukan 8 kali sidang. Bahkan terlalu cepat bagi pembelanya. "Terlalu cepat untuk pidana hukuman mati," kata Mayor CKH Umar Sumardi, pembela itu. Seperti dikejar-kejar setan, katanya. Dan juga, sidang ini kurang fair karena semua saksi adalah terdakwa -- begitu pendapat pembela. Sukarta nekat karena merasa tindak-tanduknya telah tercium oleh Bulung. Yakni -- hubungan gelapnya dengan istri Bulung. Kenekatan itu masih tercermin, sewaktu vonis dijatuhkan: ia tak menunjukkan ekspresi apa pun. "Dalam hidup saya tak ada yang namanya menyesal," katanya kepada TEMPO, sebelum keputusan hakim dibacakan. Toh, lewat pembelanya ia pun menyatakan banding. Anehnya, orang yang tegar ini, selama di tahanan melakukan salat -- di samping "merokok dan main kartu sampai subuh," tuturnya sendiri. Orang Majalengka, Jawa Barat, ini adalah anak laki satu-satunya dari 4 bersaudara. Pada umur 10 tahun, ia mengaku sudah mulai hidup sendiri. "Bermacam cara hidup waktu itu saya jalani. Berdagang es, tahu, rokok," tuturnya kepada Aji Abdul Gofar dari TEMPO. Dan waktu itu ayahnya beristri lagi Sukarta ikut ibu tiri. "Saya mendapat perlakuan yang kurang baik. Maklum, ibu tiri," katanya mengenang. Setelah menamatkan SD, Sukarta baru kembali ke Majalengka, kepada ibu kandungnya. Menginjak usia 20, ia masuk tentara. Bertugas di bagian kesehatan, tetapi ia sering diperbantukan di pasukan. Merasa memperoleh pendidikan menjadi pelatih Raiders dan pelatih kesehatan, ia dihinggapi frustrasi ketika ditarik ke Kodam Siliwangi menjelang 1980. "Di situ saya benar-benar merasa menjadi rongsokan, semua pendidikan yang saya peroleh tidak dapat tersalurkan," ujarnya lebih lanjut. Agaknya, Sukarta memang kurang bahagia, sejak kecil. Dan ia mungkin menemukan pelabuhan pada diri Lience -- yang sayangnya sudah bersuami. Dan kemudian terjadilah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini