ANGKU Putih, Kepala Desa Sawah Liek, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, terhenyak kaget menemukan tubuh Amril di depan pondok yang dihuni korban. Tubuh lelaki itu membiru, mata kanannya berdarah, dan dari mulutnya mengalir darah segar. "Saya dikeroyok anak-anak Inyiak - panggilan terhadap pamannya, Jiwan Sutan Saidi," rintihnya dengan napas tersengal-sengal. Di depan kepala desa itu juga, lelaki berusia 32 tahun itu mengembuskan napasnya yang terakhir. Rabu pekan lalu, Orlis, 23 tahun, dan Dusben, 21 tahun, beserta lima orang familinya diseret ke Pengadilan Negeri Lubukbasung, Sumatera Barat. Me- reka dituduh dengan direncanakan telah membantai Amril. Tengah hari pertengahan Januari lalu, kedua anak Jiwan Sutan Saidi -- mamak Amril -- mengundang lima orang lelaki familinya. Di depan Jiwan Sutan Saidi mereka sepakat menghabisi Amril beramai-ramai. Sebab, bila sendiri-sendiri, mereka khawatir Amir akan mengalahkan mereka. Amril, yang berbadan kekar dengan tato burung garuda di punggungnya, memang cukup ditakuti. Selesai rapat, ketujuh lelaki itu mengendap-endap mendekati pondok yang dihuni Amril di ladang cabai. Kebetulan Amril sendirian. Bagaikan memburu tikus di dalam lubang, mereka ramai-ramai menyiramkan minyak ke pondok dan membakarnya. Amril tentu saja belingsatan kepanasan. Ia mendobrak pintu dan menghambur keluar dengan baju dan celana terbakar. Pada saat dia berusaha memadamkan api di tubuhnya, salah satu lelaki yang menunggu di luar langsung memukulkan sepotong bambu ke mukanya. "Prak. . .", darah segar muncrat dari matanya. Amril lalu ambruk. Orlis langsung mencekiknya dari belakang. Kendati Amril meraung-raung minta ampun, mereka makin menjadi. Para pengeroyok malah beramai-ramai memukuli Amril dengan bambu. Barulah setelah tubuh korban tak bergerak, mereka kabur. Esok harinya juga ketujuh pembantai itu ditangkap polisi. Mereka mengaku membantai Amril karena korban sewenang-wenang menempati pondok dan tanah orangtua mereka. Tahun lalu Amril terpaksa memboyong keluarganya ke desanya, Sawah Liek, karena kesulitan hidup di tempatnya merantau selama ini, Kabupaten Pasaman. Ia berharap di kampungnya di kaki Gunung Singgalang itu, ia akan dapat menggarap sawah dan ladang tanah pusako (pusaka) keluarganya. Tanah seluas 1,5 ha yang diharapkan itu, sejak 30 tahun lalu dikuasai Jiwan Sutan Saidi. Berkali-kali Amril berusaha minta jatah tanah pusaka itu, tapi tetap tak digubris mamaknya. "Saya sebagai keponakannya tak pernah diberi uang seratus perak pun," keluh Amril. Lima bulan sudah Amril menunggu keputusan mamaknya. Hasilnya, ia tetap tak mendapat jatah tanah pusaka itu. Permintaan Amril untuk menempati pondok ditengah ladang cabai juga ditolak. Akhirnya, bapak tiga anak itu nekat datang sendirian dan menempati pondok bambu itu. Jiwan 75 tahun tak berani gegabah mengusir Amril yang bertampang sangar itu. Bahkan Orlis dan Dusben, kedua anaknya yang sehari-hari menggarap kebun cabai itu, juga tak berkutik. Akhirnya mereka mengajak lima familinya untuk membantu. Amril pun tewas di tangan mereka. Jaksa Syamsul Amri tampaknya akan menuntut para pembunuh itu dengan pasal pembunuhan berencana. "Mereka termasuk berdarah dingin," katanya. Hakim Ulin Alisyah sempat geleng kepala menilai para pembunuh itu. "Korban kan sudah minta ampun kok masih dipukuli," katanya. Tapi salah satu dari pembunuh itu punya jawabannya. "Dia harus kami bunuh, kalau sempat lolos nyawa kami pun terancam. Dia itu kuat, Pak Hakim," kata Orlis. Gatot Triyanto dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini