MEMAKAI baju biru bergaris-garis putih, Pontang Murad, S.H., 42, turun dari mobil tahanan dengan senyum tipis. Dosen Fakultas Hukum Unpad, Bandung, dan anggota DPRD Ja-Bar dari Fraksi Karya ini memasuki gedung pengadilan sambil menyalami beberapa pengunjung. Ruang sidang penuh sesak, bahkan pengunjung masuk sejam sebelum sidang dimulai Sabtu pekan lalu. Pengadilan Negeri Bandung, yang dipimpin Hakim Ketua Benyamin Mangkoedilaga, S.H., sejak 4 September lalu menyidangkan perkara Pontang Murad. Sejak itu pula tertuduh ditahan, walau pembelanya dari Biro Hukum Unpad sempat mengajukan protes. Sebelumnya, Pontang bebas menjalankan aktivitasnya, baik sebagai dosen maupun wakil rakyat. Ia diseret ke pengadilan dengan tuduhan membunuh istrinya, Ny. Betty Kustiati, 37, Februari tahun lalu di rumahnya, kompleks perumahan dosen Unpad, Cigadung, Bandung. Menurut tuduhan Jaksa K. Budiono,"Pembunuhan itu terjadi karena terdakwa jengkel, hubungan cintanya dengan wanita lain diketahui korban." Sebelum pembunuhan berlangsung, terjadi pertengkaran antara Pontang dan korban di kamar tidur. MenurutJaksa, terdakwa memukul dan menendang kepala korban hingga memar. Kemudian ia mencekik leher korban hingga meninggal. Visum dr. Pardjaman Tojo, kepala Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman RS Hasan Sadikin, Bandung, menyatakan: "Kematian korban disebabkan tekanan benda tumpul pada leher yang menyebabkan luka memar disertai perdarahan bercampur lendir dalam batang tenggorokan." Walau begitu, dalam pemeriksaan pendahuluan, Pontang bersikeras menyebutkan bahwa istrimya mati karena menggantung diri di gantungan baju. Tubuh istrinya itu, yang sudah meninggal di tali gantungan, ia pindahkan ke tempat tidur dibantu kemenakannya, Agus Supriadi, yang sedang bertamu. Versi Pontang ini tak dapat dipercaya keluarga Almarhumah, sehingga ia diadukan ke polisi, 19 Februari 1983, delapan hari setelah kematian itu. Sampai sidang kelima pekan lalu, tertuduh memang dalam posisi terpojok. Para saksi hampir semua memberatkan tertuduh. Ny. Nina, adik korban, menyebutkan bahwa tak mungkin kakaknya menggantung diri di gantungan baju yang timggimya sama dengan tinggi tubuh korban. Ny. Nina juga banyak mengungkapkan keluhan kakaknya, bahkan ia menyebutkan tertuduh pernah menyulut dada korban dengan rokok. Pertengkaran itu karena tertuduh punya pacar, Ny. Nita Gurniawati, 32, seorang janda. Dokter Abisujak, 45, tetangga korban, yang pertama kah memeriksa korban, dalam kesaksian di pengadilan juga meragukan korban bunuh diri. Bahkan Agus Supriadi, yang membantu Pontang mengangkat korban ke tempat tidur, mengatakan bahwa korban sebelumnya tergeletak di lantai. Pada sidang Sabtu pekan lalu, Ny Erno, tetangga korban, mengungkapkan, ketika ia membuka spiral (alat KB) di rahim korban, ia tak melihat kejanggalan, misalnya ada air semi yang keluar, seperti lazimnya orang bunuh diri. Sayangnya, Sabtu pekan lalu Jaksa gagal lagi menghadapkan saksi Ny. Nita, pacar tertuduh yang kini di Palembang. Penanganan kasus ini pada awalnya memang lamban. Polisi Bandung, misalnya, baru menyita ikat pmggang - yang kata Pontang dipakai untuk bunuh diri itu - sebulan setelah peristiwa itu. Polda Ja-Bar sampai turun tangan karena sudah enam bulan kasus ini tak beres-beres di tangan Polres Bandung. Sidang masih berlangsung dan tertuduh pun statusnya masih anggota DPRD Jawa Barat. "Kami masih menunggu keputusan pengadilan sehingga tidak mendahului mengambil tindakan," kata H.E. Suratman, ketua DPRD yang juga ketua umum Golkar Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini