Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sebuah Peluru Untuk Suami

Peltu Abdul Gani, 46, anggota kodam II/Bukit Barisan Medan, tertembak. Diduga pelakunya istrinya, Sarlina, 45, dibantu anaknya Kakang, 23, mereka jengkel dengan ulah suaminya.(krim)

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDIANYA, pagi itu Abdul Gani akan terbang dari Polonia, Medan, menuju Semarang. Ia masih kelihatan riang ketika sarapan dan kemudian memutar kaset di rumahnya di Jalan Sempu, Medan. Keriangannya mendadak terhenti ketika dari arah belakang, agak menyamping, seseorang menodongkan moncong pistol. Senjata api jenis FN itu pun menyalak dan mengenal pelipls kanan Abdul Gani. Anggota ABRI berpangkat peltu yang sehari-hari bertugas sebagai juru bayar Bagian Pembekalan Umum Kodam II/Bukit Barisan, Medan, itu pun jatuh tersungkur. Dan mati. Si penembak, menurut surat tuduhan Jaksa Tahan Rajagukguk, bukanlah orang jauh. Ia tak lain Sarlina, 45, istri korban sendiri, yang dibantu Kakang, 23, salah satu dari 10 anak korban. "Setelah terjadi penembakan, mereka tidak segera menolong. Mereka hanya berpeluk-pelukan saja sambil menangis," katanya dalam sidang di Pengadilan Negeri Medan, pekan lalu. Peristiwa yang cukup mengejutkan itu terjadl pagl han 3 Mei lalu. Sarlima menembak, kata Jaksa, karena merasa tak senang terhadap rencana suaminya yang akan berangkat ke Semarang dan meninggalkan anak istrinya di Medan. Konon, hati Abdul Gani, 46, terpaut seorang wanita muda. Menurut sebuah sumber di Pembekalan Kodam II, kepergian Abdul Gani ke Semarang memang bukan untuk urusan dinas, melainkan untuk keperluan pribadi. Ternyata pula, sehari sebelum tertembak, Gani secara diam-diam telah mengambil uang milik kantornya sebesar Rp 16 juta. Beberapa saat setelah juru bayar itu tewas, uang tersebut ditemukan di bawah kasurnya. Kejengkelan Sarlina kepada sang suami agaknya sudah sedemikian rupa. Semenjak pernikahan tahun 1960 sampai dikaruniai empat anak, kata Sarlina, keluarganya senantiasa rukun. Baru setelah anak kelima lahir, perangai suaminya dinilai berubah. Bila dia menonton televisi, misalnya, istri dan semua anaknya tak boleh mendekat. Makan pun dia minta dihidangkan yang serba enak. "Berasnya harus nomor satu, begitu juga lauknya. Kalau tidak ayam, saya belikan untuk suami ikan kakap merah yang cukup mahal," kata Sarlina. Untuk istri dan kesepuluh anaknya, cukup beras pembagian dan ikan atau lauk ala kadarnya. Kakang, yang diajukan ke sidang bersama ibunya, membenarkan. "Ayah seorang pemarah. Karena itu, kami selalu mengharap ia tak ada di rumah," ujarnya. Tapi Kakang mengaku tak tahu-menahu apa yang dilakukan ibunya. Sebab, sewaktu ayahnya sarapan dan menyetel kaset, ia pergi mengantarkan adiknya ke sekolah. Hanya, katanya, beberapa waktu lalu ia pernah diajak ibunya untuk membunuh Abdul Gani. Ajakan itu ditolak, meski ia mengaku sering tertekan oleh perangai sang ayah. Penolakan anak itu barangkali karena tak semua perbuatan Abdul Gani buruk. Untuk keluarganya, Almarhum telah membangun sebuah rumah gedung yang tergolong paling bagus di Jalan Sempu itu. Oleh familinya, Abdul Gani malahan dikenal murah hati. Anak kelima dari sembilan bersaudara itu sering memberikan bantuan uang bagi yang membutuhkan. Di kantor, tak pula ada cerita jelek tentang dirinya. "Dia selalu disiplin. Dan setahu saya dia jujur, tak pernah korupsi. Humornya sesekali juga kedengaran," kata sebuah sumber. Hanya, pada sore hari 2 Mei ia kelihatan pulang membawa tas cukup besar. Belakangan, diketahui, tas itu berisi uang Rp 16 juta. Dalam persidangan, yang kini masih berlangsung, Sarlina membantah tuduhan Jaksa. Kakang juga membantah seolah dialah yang memasang magasin dan mengokang pistol. Sri Amba Aswani, 22, adik Kakang yang menjadi guru SD, juga merasa tak yakin pada tuduhan Jaksa terhadap ibunya. "Ibu bukan tipe pembunuh. Kami tak tahu siapa pembunuh ayah yang kami cintai itu," katanya di depan sidang. Barangkali duduk soalnya akan lebih terungkap lewat saksi-saksi dalam sidang mimggu ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus