Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membela jubah hitam

4 pengikut aliran bantaqiah, tersangka peristiwa 15 mei '87 diadili di pn aceh barat. pegawai pemda menjadi pembela terdakwa. dipertanyakan karena pembela pegawai negeri dan tak punya surat izin.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA lelaki berjubah bergerak mengiringi bendera merah berlambang bulan, bintang, pedang, dan Quran. Puluhan anggota ABRI menghadangnya, tapi mereka maju juga. Apa daya, senapan pun meletup dan baku gumul tak terelakkan. Akibatnya Sabirin A.R., 28 tahun, yang hari itu dibalut jubah hitam, tewas diterjang peluru. Empat pengikut lainnya kalap, dan melakukan perlawanan. Dengan mengibaskan pedang dan parang, mereka sebelum dibekuk masih bisa melukai dua tentara. Peristiwa gerakan ajaran Bantaqiah itu terjadi 15 Mei 1987, di Meulaboh, Aceh Barat. Kini -- sudah berlangsung sejak September lalu -- pengadilan pelaku insiden yang mengaku "menegakkan kebenaran Islam sedunia" itulah yang menjadi "tontonan" menarik. Bukan hanya karena pelaku huru-hara itu telah berani menyerang alat negara, juga karena Pemda Aceh Barat sendiri malah tampil sebagai penasihat hukum, mendampingi empat anak buah Sabirin itu di meja hijau. Padahal dalam dakwaan Jaksa Amir Husin Sinaga, S.H., keempat terdakwa itu disebut telah menggunakan senjata tajam untuk melawan para pejabat -- dalam hal ini satuan ABRI -- yang melaksanakan tugasnya yang sah. Tapi, kok malah dua oknum pejabat tampil sebagai penasihat hukumnya? Pengikut ajaran sesat yang telah dilarang pemerintah lagi. Debut Pemda yang agaknya pertama di Indonesia dalam kasus serupa itu ditandai dengan tampilnya Amiruddin, S.H., Kepala Kantor Statistik Aceh Barat, di meja penasihat hukum. Di sebelahnya duduk Rusmahdi, S.H., yang sehari-hari tenaga inti di Bagian Hukum Kantor Bupati Aceh Barat. Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Aceh Barat, Drs. Mohammad Isa, tentu saja menyangkal jika Pemda dianggap membela pengikut ajaran Bantaqiah yang sungsang itu. "Bukan juga membela orang-orang yang melawan petugas," kata Isa kepada TEMPO. Lantas? "Kami hanya ingin menegakkan KUHAP tanpa embel-embel apa pun," katanya. Maklum, dalam KUHAP memang disyaratkan mutlaknya kehadiran penasihat hukum, khususnya terhadap para terdakwa yang diancam hukuman 5 tahun ke atas. Adalah Pengadilan Negeri Meulaboh yang meminta Pemda menyediakan penasihat hukum itu. Bertolak dari surat pengadilan pada 10 September itulah Isa menugasi kedua bawahannya untuk tampil ke meja hijau. Toh, menurut dia, keempat terdakwa itu: Bilal Jakfar, 30 Hasbi Daud, 22 Utoh Syarif, 38 dan Buyung bin Tengku Basah, 27, cukup pantas didampingi pembela. "Mereka itu cuma terbawa rendong, tak tahu apa-apa tentang gerakan itu," tambah Isa. Tak ayal lagi, Amiruddin dan Rusmahdi pun dengan semangat menangani kasus itu. "Jika sukar membebaskan mereka, setidaknya meringankan hukumannya," kata Amiruddin, alumni FH Universitas Samudera Langsa, Aceh Timur, 1986, itu. Yang menjadi pertanyaan: bolehkah kedua S.H. yang tak memiliki izin pengacara praktek dari Pengadilan Tinggi Aceh itu tampil sebagai penasihat hukum? Untuk ini, Ketua PN Meulaboh, Haji Achjar Lubis, punya jawaban. "Anda baca penjelasan pasal 56 KUHAP," katanya. Di situ disebutkan bahwa penunjukan penasihat hukum atas perkara prodeo disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di suatu tempat. Pasal ini memang mendukung keadaan Kabupaten Aceh Barat, yang tak seorang pun warganya -- dari jumlah penduduk 350 ribu jiwa -- yang berprofesi pengacara. Bahkan untuk seluruh provinsi, seperti disebutkan Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Achmad Masroel, paling banyak hanya ada 10 pengacara. Itu pun menumpuk di Banda Aceh, ibu kota provinsi. Siapa pun penasihat hukumnya tampaknya bagi para terdakwa bukan soal penting. Mulanya mereka memang menolak, karena mengira harus mengeluarkan duit. Tapi begitu tahu gratis saja, keempatnya kontan mengangguk setuju. "Alhamdulillah," kata Hasbi. Bersihar Lubis (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus