Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memperpanjang Daftar Korban SKB

Skb ketua MA & Menkeh memakan korban lagi. Setelah OC Kaligis, kini giliran Adi S. Muwardi, ia diskors 6 bulan karena memalsukan vonis MA. Oemar Senoadji nyaris jadi korban. IKADIN menolak SKB tersebut.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM setengah tahun umur berlakunya Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Juga belum sebulan pengacara populer O.C. Kaligis jatuh sebagai korban pertamanya. Pekan lalu giliran Adi S. Moewardi menjadi sasaran berikutnya. O.C. Kaligis cuma ditegur tertulis, sedangkan Adi Moewardi, 53 tahun, dihukum skorsing selama 6 bulan. "Dia terbukti melakukan pemalsuan vonis Mahkamah Agung," kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gde Sudharta, Sabtu pekan lalu. Pemalsuan vonis Mahkamah Agung yang sempat menggemparkan itu terungkap akhir September lalu. Waktu itu Pengacara Stella Lewarissa mengurus permohonan eksekusi atas kliennya Rochmulyati. Setelah beberapa kali eksekusi tak kunjung terwujud, barulah Stella tahu bahwa vonis yang dipegangnya itu palsu. Ternyata, vonis asli bertanggal 23 Maret tahun yang sama, yang ada di pengadilan, justru mengalahkan kliennya. "Waduh celaka, saya tidak tahu menahu soal pemalsuan itu, sebab klien saya mendapatkan vonis itu dari pengacaranya terdahulu, Adi S. Moewardi," kata Stella kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (TEMPO, 26 September 1987). Selanjutnya, Adi S. Moewardi, atas perintah Irjen Departemen Kehakiman, langsung diperiksa Gde Sudharta. Di pemeriksaan, menurut Gde Sudharta, Adi S. Moewardi mengakui bahwa pemalsuan vonis itu sekadar ingin menyenangkan Nyonya Rochmulyati saja. Vonis palsu itu dibuat dengan cara memfotokopi kop surat Mahkamah Agung berikut stempelnya. Lalu mengetik isi vonis di atas kertas fotokopian sebelum difotokopi lagi. Kepada kliennya itu, Adi S. Moewardi yang telah memperoleh bayaran Rp 30 juta -- juga meminta agar tidak buru-buru eksekusi. Alasannya, pihak lawan mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Padahal, yang sebenarnya terjadi, "Moewardi sendiri yang mengajukan peninjauan kembali," ujar Gde Sudharta. Perbuatan Adi S. Moewardi, tutur Gde Sudharta, terhitung amat serius. Tiga hal dalam pasal 3 SKB dilanggarnya, yakni: menelantarkan klien berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, dan martabat profesi dan melanggar peraturan yang berlaku. Dengan demikian, "Sanksi pemberhentian sementara (skorsing) selaku pengacara selama enam bulan cukup setimpal," ujar Gde Sudharta. Ketika dihubungi A. Ulfi dari TEMPO, Adi S. Moewardi kaget atas putusan skorsing itu. Pengacara yang aktif sejak tahun 1972 itu tetap membantah keras tuduhan pemalsuan itu. "Saya akan banding," kata Moewardi, yang mengaku sudah menyiapkan kronologis kejadian sebenarnya. Moewardi juga masih berang terhadap ulah Stella. "Ia bukan pahlawan hebat," ujar pengacara yang pernah jadi jaksa dengan jabatan terakhir Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, 1966. "Sebelumnya, sudah saya katakan, vonis Mahkamah Agung mengalahkan Rochmulyati. Tapi Stella tak mau percaya, ia bersikeras menang," ujarya. Sebelum Moewardi, pengacara lain, O.C. Kaligis, 45 tahun, juga kena tilang "rambu-rambu" SKB. Kaligis dikenai teguran tertulis, karena dianggap berbuat tidak patut terhadap lawannya dalam kasus penyerobotan Hotel Chitra tanggal 25 Juni 1986. Kendati untuk sanksi teguran dalam SKB tak diatur soal banding administratif, Kaligis tetap akan menempuh upaya tersebut. Tak hanya itu, Kaligis juga mengirim surat ke Menteri Kehakiman dan Irjen Departemen Kehakiman. Ia tetap membantah melakukan penyerobotan itu. "Pada hari dan tanggal yang dimaksud, saya sama sekali tak berada di lokasi itu," tutur Kaligis. Setahu dia, kliennya Nyonya Rhumana Waty Manaf hadir ke Hotel Chitra berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham di hari itu. Lagi pula, selaku pemegang saham PT Ayu Kumala Lestari sebagai pengelola, kliennya itu memang berkantor di situ. Di samping kedua pengacara itu, Prof. Oemar Senoadji juga sempat disenggol SKB. Pengacara yang bekas ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman itu diadukan Askodar dengan tuduhan menyerobot kliennya Sudiman Tjipta. Askodar menjadi pengacara Sudiman dalam perkara coffee house Riung Gunung, Puncak. Hingga tingkat kasasi, kliennya itu menang, tinggal lagi eksekusinya. Dalam perjanjiannya, "Saya akan memperoleh bayaran 30% dari hasil kemenangan senilai Rp 1,5 milyar. Tapi, setelah klien saya diserobot Pak Oemar luntur sudah harapan itu," tutur Askodar. Tapi berbeda dengan Kaligis atau Moewardi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Oemar Senoadji tak perlu dikenai tindakan. Dengan kata lain, ya, dibebaskan, karena dinyatakan tidak melanggar etik profesi. Oemar Senoadji hanya tertawa pendek mendengar putusan itu. Kepada Agus Wahid dari TEMPO, guru besar FH UI itu berkata, "Saya ndak tahu bahwa Sudiman sudah pakai pengacara lain. Belakangan, saya ditegur Askodar. Ya, saya minta mundur saja. Tahunya Sudiman malah memilih saya." Bukan hanya pengacara saja setelah SKB lahir jadi saling mengadu. Jenis pengaduan pun agaknya tak pandang bobot. Cuma gara-gara berita koran, bisa pula pengacara berurusan dengan rambu administrati itu. Denny Kailimang akhir Juli lalu diadukan Kaderi Iwan. Menurut Kaderi, pemberitaan di sebuah harian Ibu Kota menyebutkan, perkara perdatanya bersumber dari Denny. Kaderi menganggap bahwa soal dia pernah ditahan polisi dalam berita itu mendiskreditkan namanya. "Kalau setiap laporan seperti itu tak diseleksi lagi, wah, bisa-bisa para pengacara jadi kelinci percobaan SKB," kata Denny Kailimang pada Sidartha Pratidina dari TEMPO. Yang dikhawatirkan para pengacara memang kemungkinan SKB itu menjadi "keranjang sampah". Sebab, berbagai tindakan pengacara, dari pelanggaran hukum, tidak menghormati sidang, sampai sikap tidak menyenangkan lawan berperkara bisa menyebabkan seorang pengacara diperiksa pengadilan. "Pokoknya, kini apa pun bisa dipakai untuk alasan mengadukan pengacara," kata seorang pengacara senior. Kekhawatiran lain adalah kemungkinan hakim akan pilih kasih: segera menindak pengacara yang banyak protes, tapi mendiamkan pengacara yang dianggap "baik". Sebab itu, sampai kini organisasi advokat Ikadin masih menolak keabsahan SKB itu. Happy Sulistyadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus