MEREKA kompak. Semua siswa kelas III SMAN III Bojonegoro, 90-an orang, Rabu pekan lalu mohon izin. "Kami berharap bapak-ibu guru memahami perasaan kami," tulis mereka di selembar kertas. Itulah salah satu reaksi atas terjadinya perkelahian guru di SMA di salah satu kota kabupaten di Jawa Timur tersebut, sekitar seminggu sebelumnya. Bila banyak orang berpendapat kewibawaan guru terhadap murid makin susut inilah salah satu contoh sebabnya. Suatu hari, siswa-siswa SMAN III itu disuguhi tontonan gratis: dua guru adu jotos dengan kepala sekolah. Kamis pagi dua pekan lalu Mochammad Imron, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP), menanyakan ihwal surat pemberhentian yang diterimanya pada Rabu malam. Rupanya, penjelasan Witana, Kepala Sekolah, tak bisa diterimanya. Tiba-tiba saja kepala sekolah berlari keluar dari ruangannya, dikejar oleh Imron. Tentu saja kepala sekolah yang sudah setengah baya itu repot menghadapi guru muda yang masih 25 tahun itu. Celakanya lagi, Yuri Sukendro, guru Keterampilan, ikut nimbrung, dan ternyata berpihak kepada Imron. Maka, Witana pun terpaksa menerima pukulan-pukulan. Wiwaha, 33 tahun, guru Matematika, mencoba melerai. Namun, pemegang sabuk Dan I Inkai ini pun tak berdaya. Sementara itu, mendengar ribut-ribut, siswa-siswa berhamburan keluar kelas. Mereka berteriak-teriak para siswi menjerit-jerit. Suasana di SMA yang punya 340 siswa itu tambah kacau lantaran beberapa siswa mungkin terbawa emosi, lalu melemparkan pot-pot kembang, menggebrak jendela dan pintu. Seorang guru cepat mengambil megaphone, lalu menyuruh murid-murid melerai pak guru mereka. Barulah ketiga guru yang baku hantam itu bisa dilerai. Rupanya, antara Imron dan kepala sekolah memang ada masalah. Sebagai guru tidak tetap, Imron seharusnya menerima honorarium Rp 25.000 per bulan. Tapi nyatanya ia cuma menerima Rp 16.250. Sarjana Jurusan PMP IKIP Malang ini, menurut seorang siswa, lalu sering menyindir di depan kelas. Misalnya, ketika menerangkan akibat kekuasaan absolut, ia sebutkan ada 4 hal. Sehabis menjelaskan hal ketiga, yang keempat akan dijelaskan di lain kesempatan, karena honorarium mengajarnya hanya Rp 16.250. Sementara siswa-siswa menyukai Imron karena gaya mengajarnya, Witana, bekas guru Imron, merasa gurauan guru itu sudah keterlaluan. Yang pasti, Senin sebelum hari perkelahian, ia menegur Imron karena memakai baju batik. Di SMA ini ada peraturan aneh, yakni yang boleh memakai batik cuma guru tetap. Imron menjawab, hari itu bajunya yang bersih memang tinggal yang batik. Witana lalu meminta bekas muridnya itu tak usah mengajar. Dan tiga hari kemudian Imron menerima surat pemberhentian, lalu meletuslah adu jotos. Kini Imron menganggur. Pihak SMAN III tak lagi mau memberi kesempatan, sementara ia menunggu surat pengangkatan. Ia pasrah dan siap menerima apa saja. "Saya menyesal, tapi sudah telanjur. Dan kalau tak diangkat-angkat, saya mau jualan bensin." Kepala sekolah tak bersedia diwawancarai. "Saya hanya menjalankan disiplin," hanya itu katanya. Dan itu berarti Yuri Iskandar, yang ikut memukulinya, dikembalikan ke SMAN II, sebab di SMAN III statusnya memang cuma diperbantukan. Menurut sebuah sumber, Yuri ikut memukul kepala sekolahnya karena ia pernah diancam akan diberhentikan. Adapun Wiwaha, guru tidak tetap yang mengajar Matematika, yang mencoba melerai, anehnya, juga diberhentikan. Inilah yang membuat siswa kelas III mogok sehari dan mengirim delegasi ke kantor P & K Kabupaten. Mereka minta Wiwaha dibolehkan kembali mengajar. Jawaban sementara dari kepala tata usaha, "Kami akan menyampaikan ini kepada atasan yang berhak memutuskan." Mungkin juga kepala sekolah punya alasan lain. Sebenarnya, Wiwaha bertugas di Jakarta, tapi karena istrinya mengajar di Bojonegoro, ia lalu pindah, meski cuma menjadi guru honorarium. Ia kini cuma menjadi pelatih karate di Inkai. Baik dari Kantor P & K Bojonegoro maupun Kanwil P & K Jawa Timur, belum ada reaksi. Baru Pengawas Pendidikan Menengah Umum Kanwil P & K Jawa Timur, yang pada hari itu kebetulan berada di Bojonegoro, yang langsung mengadakan pertemuan dengan guru-guru SMA tersebut. Mereka masing-masing diminta menuliskan keadaan sekolah yang baru menginjak tahun ketiga itu untuk dievaluasi. Sri Indrayati (Jakarta), Budiano Darsono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini