Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menambah Korban Ketertiban

Kekerasan oleh petugas Dinas Ketenteraman dan Ketertiban susul-menyusul. Selama tidak ada proses hukum, korban terus berjatuhan.

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUKA masih menggantung di rumah keluarga Saiming Saimad, warga Kelurahan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat. Tiga pekan sudah anak bungsunya, Irfan Maulana, meninggal tanpa kepastian sebab-musabab.

Pagi itu, 8 Januari lalu, Irfan keluar rumah sejak lepas subuh. Keluarga semula menduga, siswa kelas 5 Sekolah Dasar Kota Bambu 02 Petang itu akan main bola atau berenang. ”Minggu itu memang dia libur sekolah,” kata pria 56 tahun itu kepada Tempo pekan lalu.

Namun, hingga hari berganti, Irfan tak kunjung pulang. Esok malamnya, dari seorang tetangga yang kerap menjadi joki three in one, didapat berita, ada belasan joki ditangkap petugas Tramtib pada hari sebelumnya, dan salah seorang sempat dipukuli petugas. Anak itu diduga Irfan.

Mendengar cerita itu, Saiming bersama seorang anaknya lalu berencana mendatangi Kepolisian Sektor Kebayoran Baru dan Panti Rehabilitasi Kedoya, Jakarta Barat. Namun akhirnya mereka memilih mendatangi kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Di kamar mayat rumah sakit itu mereka menemukan sesosok mayat seumuran Irfan tanpa identitas. Namun, dari beberapa ciri, seperti potongan rambut dan bekas luka di antara kedua alis, serta celana dalam yang dikenakan, Saiming yakin itu mayat anaknya.

”Banyak lukanya,” kata Saiming, di antaranya lebam di bagian wajah, dada, dan ada sedikit goresan di bagian dagu. Juga, ada lelehan darah yang membasahi bantal dari bagian hidung. Jasad Irfan sempat difoto oleh Aries, anak Saiming.

Ketika mendatangi kantor polisi, Aries—sang kakak—menanyakan sebab kematian adiknya. Menurut polisi, Irfan mati karena sakit ayan. ”Padahal, keluarga kami tak punya riwayat sakit ayan,” kata Saiming.

Menurut teman-teman Irfan sesama joki, anak bertubuh bongsor itu memberontak ketika tertangkap petugas. Bahkan ia sempat menggigit tangan salah seorang anggota Tramtib. Ia sempat lolos dan lari ke arah kantor kecamatan, namun tertangkap kembali setelah dikejar dua petugas dengan sepeda motor.

Ketika itulah, menurut dua kawan Irfan yang menyaksikan kejadian itu dari jarak kurang dari 10 meter, Irfan ditampar. ”Elu bisa nyembuhin luka gue?” kata seorang petugas sambil memukul muka dan menendang Irfan.

Menurut hasil otopsi yang digelar Dr Djaja Surja Atmadja dan Mun’im Idris bersama Polsek Kebayoran Baru, dinyatakan ada pengentalan darah di usus Irfan. Ini bisa akibat gejala tifus atau demam berdarah. Adapun penyebab pastinya belum bisa disimpulkan.

Anak lelaki pasangan Saiming dan Sutihat ini adalah JakMania alias suporter berat kesebelasan Persija Jakarta. Bersama teman-temannya sekampung, anak belia itu pernah menonton laga Persija ke Surabaya. ”Saya menduga, ia menjoki lagi untuk ikut menonton Persija di Makassar,” kata Saiming. The Jak—sebutan Persija—memang akan bertandang ke Makassar.

”Kami percaya pada keterangan dokter,” kata Harianto Badjuri, Kepala Dinas Tramtib dan Linmas, dua pekan lalu. ”Tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuh korban.” Ia membantah anak buahnya telah menganiaya Irfan hingga tewas.

Menurut Henri Wijaya, petugas yang memimpin operasi penertiban joki three in one saat itu, ia dan delapan petugas Tramtib memang menangkap dua joki di Jalan Pakubowono, dan satu lagi ditangkap di Jalan Pati Unus. Ketiganya kemudian dibawa ke kantor kecamatan untuk dimintai keterangan.

Regu Tramtib dan Linmas itu kembali pergi berpatroli. Ketika hendak pulang ke kantor kelurahan dari patroli di Jalan Hang Tuah, mereka melihat Irfan berjalan sempoyongan. Mereka berinisiatif menolongnya. ”Irfan itu malah naik sendiri ke mobil petugas, dan ketika di mobil dia malah kejang-kejang kayak sakit ayan,” kata Henri. Petugas lalu membawa Irfan ke Puskesmas Kelurahan Gunung. Namun, meski sempat diperiksa Dokter Inggiawati, dokter di Puskesmas tersebut, nyawa Irfan tak tertolong.

Polisi telah memeriksa sembilan saksi dalam kasus Irfan, namun hingga sekarang kasus dan tersangkanya belum jelas.

l l l

SEPARUH tubuhnya tak lagi berfungsi normal. Tangan kanannya layu, bengkok ke dalam. Kaki kanannya hanya bisa diseret, telapaknya pun mati gerak. Pemuda itu kini menghabiskan hari-harinya menonton TV di rumah, seakan tanpa harapan.

Dua tahun lalu Viktor Jami, 26 tahun, masih seorang yang sibuk. Di kampus, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Jakarta, ia aktif dalam kegiatan pencinta alam dan senat mahasiswa. Di luar kampus, ia anggota tim Search and Rescue (SAR) nasional.

Apa hendak dikata, pada suatu siang, 17 Mei dua tahun lalu, ia menjadi korban penganiayaan petugas Tramtib Jakarta Timur. Siang itu, anak sulung dari dua bersaudara ini sedang mengudap di kantin. Kuliah baru saja usai dan ia bersiap pulang ke rumahnya di daerah Koja, Tanjung Priok.

Di luar kampus, saat itu sedang dilakukan penertiban pedagang kaki lima. Para pedagang, mahasiswa, dan petugas Tramtib itu sudah bentrok dan saling lempar di jalan raya di depan kampus UKI hingga perempatan lampu merah Cawang, Jakarta Timur. Para pedagang dan mahasiswa yang terdesak tiba-tiba berlari ke dalam kampus.

Umbu—demikian Viktor biasa dipanggil—merasa terusik. Ia berlari menyongsong Tramtib yang sedang mengejar pedagang. ”Stop! Stop!” kata Umbu, seperti diceritakannya kembali kepada Tempo. Lalu, katanya, dia tak ingat apa-apa lagi. Ada kemungkinan sebuah batu melayang ke kepalanya.

Menurut kesaksian beberapa mahasiswa, Umbu ditangkap Tramtib. Ia kemudian dipukuli hingga babak belur oleh petugas dengan menggunakan apa saja: pentungan, kaki, tangan, bahkan batu pembatas jalan. Akibatnya, tulang tengkoraknya remuk, telinga sobek, gigi rontok empat biji, dan dagu koyak.

Menurut Umbu, ia baru sadar setelah terbaring di rumah sakit. ”Dia koma satu setengah bulan,” kata Ariance Riwu, ibu Umbu. Menurut janda asal Sumba, Nusa Tenggara Timur, ini, pecahan tulang kepala anaknya berserakan masuk ke otak dan merusaknya.

Selama dua tahun kasus Umbu tak bergerak di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Polisi berdalih, mereka belum bisa memeriksa Umbu, yang selama dua tahun bolak-balik ke rumah sakit. Meski sudah dua kali dioperasi—sebagian ongkosnya ditanggung Dinas Kesehatan Pemda DKI—ia tak kunjung normal.

l l l

SETIAP tahun insiden kekerasan dan korban selalu berjatuhan. Pada 2005, pernah tercatat nama Abednego Kaseh, yang tewas ditembak oleh Chrisman Siregar, Kepala Seksi Operasi Tramtib Jakarta. Pada awal 2006, seorang joki wanita bernama Sugiarti digunduli rambutnya. Belum termasuk bentrok akibat penggusuran.

Pemerintah Jakarta juga terkesan ”boros” membiayai Tramtib. Dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah 2007, misalnya, tercatat biaya pos hukum dan Tramtib sebesar Rp 909,2 miliar. Angka ini jauh lebih besar ketimbang pos kesehatan, yang cuma Rp 906 miliar. Bahkan pos ekonomi jauh lebih kecil, hanya Rp 757 miliar.

Pos hukum dan tramtib termasuk lima besar pengeluaran Kota Jakarta, di luar anggaran sarana dan prasarana kota, pendidikan, sosial-budaya, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Biaya operasi penertiban lebih dari cukup. Di Suku Dinas Tramtib Jakarta Pusat, misalnya, untuk operasi penertiban dan pengawasan kawasan Senen untuk 2007 tertera rencana anggaran Rp 550 juta. Untuk penertiban sisi kiri Kali Angke di Jakarta Utara tersedia Rp 300 juta. Penertiban kali lima di Jakarta Barat biayanya Rp 254 juta.

Dalam Peraturan Daerah No. 11/1988 tentang Operasi Penertiban, maupun Perda No. 4/2004 tentang Tertib Administrasi Kependudukan, Tramtib tak diberi kewenangan melakukan penindakan. ”Kenyataannya, mereka bisa menggeledah, memeriksa, dan menahan orang,” kata Nurcholish Hidayat, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban.

Kalau begitu, mengapa aparat yang dibiayai begitu besar dari duit pajak dan retribusi masyarakat itu kerap bertindak buruk? Menurut Nurcholish, kebijakan eksekutif daerah amat berperan menentukan perilaku Tramtib. ”Mereka melindungi praktek-praktek kekerasan Tramtib dengan alasan ketertiban,” kata Nurcholish, yang sudah menangani masalah perkotaan di LBH Jakarta sejak 2004.

Menurut Ekolin Sitomorang, Kepala Divisi Litigasi dan HAM Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, kekerasan oleh Tramtib makin menjadi-jadi karena tidak pernah ada pengaduan yang ditangani polisi di Jakarta, kecuali dalam kasus Abednego, dan Chrisman akhirnya dihukum tiga tahun penjara. ”Selama tidak ada proses hukum, kekerasan itu tidak akan berhenti,” kata Ekolin.

Arif A. Kuswardono, Yudha Setiawan, Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus