Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran Penulis: Daoed Joesoef Penerbit: Kompas (November 2006) Tebal: viii+924 halaman
+ Saya minta mesin ketik. - Sudah ada yang mengetik, Pak.
+ Saya perlu untuk membuat pidato saya. - Sudah ada yang membuat, Pak.
+ Bagaimana sih, masa saya harus membaca pidato buatan orang.
Daoed Joesoef pintar menulis dan punya banyak pengalaman menarik. Percakapan di atas terjadi suatu hari, tahun 1978, saat ia pertama kali meninggalkan dunia akademis, masuk ke dunia birokrasi. Jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ya menteri yang menulis naskah pidatonya sendiri.
Tiga dekade lebih, di rumahnya di kawasan Bangka, Jakarta, ia mengemukakan salah satu kesannya terhadap dunia yang satu itu. ”Saya senang memakai baju safari, ya karena banyak kantong untuk menaruh catatan itu,” kata Daoed, dua pekan lalu.
Daoed, yang menghabiskan banyak waktunya untuk merekam dan mencatat kejadian di sekelilingnya itu, kini tidak muda lagi. Usianya 80 tahun. Dan bulan ini, catatan-catatannya diterbitkan dalam sebuah buku yang tebalnya hampir seribu halaman, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran. Buku yang ia kerjakan dalam dua tahun setelah pensiun dari CSIS (Center for Strategic and International Studies)— Daoed menjadi Ketua Dewan Direktur, 1972-1998. Ia mengaku ada lima map catatan yang sekarang tak ditemukan, hilang saat ia membangun rumahnya.
Dia dan Aku berisi catatan-catatan tentang apa saja. Tentang hal-hal penting yang hendak ia sampaikan dalam kunjungan kerja, tentang pelbagai konsep pembangunan ekonomi yang juga menjadi minatnya, tentang kenangannya bertemu dengan Bung Hatta yang ia sebut ”pahlawanku”, hingga tentang kenangannya pada Emak yang telah mendorongnya untuk menulis.
Emak, begitu Daoed memanggil ibunya, adalah orang pertama yang berjasa menumbuhkan minatnya pada dunia menulis. Di kampung halamannya di Medan, Sumatera Utara, Emak menekankan bahwa menulis sesuai dengan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Semangat untuk menulis juga ia dapatkan dari pamannya, Sulaiman. Sang paman, yang sempat diasingkan Belanda ke Digul, Papua, itu menyuruh Daoed belajar mengetik sepuluh jari sehingga ia bisa menulis lebih cepat dan rapi. Pada 1936, ia pun telah mengantongi sertifikat setelah mengikuti kursus mengetik sepuluh jari di Medan.
Dia dan Aku juga bercerita tentang Nek Darinah, janda asal Brebes yang merantau ke Aceh. Dari sang nenek, ia mendapat pelajaran sejarah. ”Sejarah itu lebih banyak ditentukan oleh sebagian besar orang kecil dan sedikit ditentukan oleh orang besar.” Ia mencontohkan soal sistem tanam paksa dan kerja rodi yang diberlakukan penjajah Belanda selama masa Gubernur Jenderal Van den Bosch. Karena keringat orang-orang kecil itulah, ekspor gula dari Jawa mendominasi pasar dunia dan Belanda kecipratan manisnya.
Yang paling menarik dari buku ini adalah bab ”Pak Harto dan Aku”. Daoed sangat kagum, ia menggambarkan bosnya ”bukan politikus yang biasa lempar batu sembunyi tangan”. Untuk itu, ia mengutip Bung Hatta ketika makan siang bersama Akbar Djoehana, kemenakan Sutan Syahrir, di sebuah restoran kecil di pinggiran Kota Paris, 1965. Setelah Nasution berkali-kali menolak, demikian Hatta, akhirnya Soeharto yang maju. Ia menerima permintaan MPRS, menjadi presiden.
”Di saat semua orang merunduk, menyingkir, tutup telinga terhadap panggilan tanggung jawab, Pak Harto tetap berdiri teguh,” tulis Daoed. Dari situlah, ia tak kuasa menolak pinangan Soeharto untuk menjadi menteri.
Daoed mempertahankan kebijakannya selagi menjabat menteri. Termasuk saat ia menghapus libur sebulan penuh selama Ramadan—keputusan yang membuat ia didemo Majelis Ulama Indonesia, sosok yang dilukiskannya ”para mualim yang memonopoli tafsir”.
Daoed menyadari proses ini semua akan berujung kepada Tuhan. Bab terakhir bukunya , ”Tuhan dan Aku”, mencoba mengurai hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat pribadi. Pada hati nuranilah, ada suara Tuhan. ”Karena itu, saya berani membantah nalar saya, tapi tidak berani membantah nurani saya,” kata Daoed.
Buku ini kaya dengan deskripsi detail, tapi kurang memerinci hubungan personal antara penulis dan narasumber. Kebosanan kadang hinggap lantaran penulis lebih berkutat pada konsep pemikirannya.
Setelah Emak (2003) dan Borobudur (2004), buku ini semakin memantapkan Daoed sebagai penulis. Ia pun bertekad terus menulis hingga akhir hayat. Kakek dua orang cucu ini selalu ingat perkataan dosennya di Universitas Indonesia, Profesor Djokosutono: ”Ilmu pengetahuan adalah cara berpikir sistematis melalui menulis.”
Faisal Assegaf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo