DESA Muara Kamang di Bungotebo, Jambi, mungkin satu-satunya desa yang sebagian besar laki-laki dewasanya ditangkap polisi. Sejak dua pekan lalu, 57 lelaki dari desa yang dihuni 150 kepala keluarga itu mendekam di tahanan. Mereka dituduh telah mengeksekusi tiga orang pendatang, yang mereka sangka maling kerbau di desa itu. Pembunuhan itu tergolong sangat sadistis. Ketiga korban itu, Herman, 24 tahun Efendy, 21 tahun, dan Nasaruddin, 16 tahun, misalnya, mereka karungi. Dengan batu pemberat, kemudian karung itu mereka purukkan ke Sungai Pelepat yang mengalir di pinggir desa itu. Polisi, yang mengangkat mayat itu pada 17 April lalu, menemukan pemandangan mengerikan. Misalnya, kepala Efendy sudah remuk sedangkan leher, tangan, dan badannya sudah hilang. Meski tubuhnya, mulai dari pinggang hingga ke kaki, masih dibalut celana jeans, tapi tulang-tulangnya berpatahan. Anehnya, jasad Nasaruddin ditemukan utuh denan Dosisi bersila dan kedua tangannya menempel di pipinya. Sedangkan Herman ditemukan dengan leher nyaris putus dan bekas torehan dalam di dadanya. Dan, ini segi yang dahsyat: ketiganya ditemukan tanpa alat kelamin, yang menunjukkan tanda bekas sayatan. Kisah dari pedalaman Jambi ini bermula pada 5 Maret lalu, ketika kawanan Herman datang untuk kedua kalinya ke desa itu dengan maksud membeli barang bekas. Tapi alasan mereka itulah yang mengundang kecurigaan penduduk. Maklum, barang bekas memang, boleh dibilang, langka di desa itu. Dengan logika dangkal itu, sebanyak 16 orang penduduk setempat menuduh kawanan Herman sebagai pencuri kerbau yang selama ini gentayangan di desa itu. Sejak akhir tahun lalu hingga seminggu sebelum kedatangan Herman cs itu, memang, sudah 60 ekor kerbau penduduk hilang. Tentu saja kawanan Herman menyangkal tuduhan itu. Tak syak lagi, perkelahian pun tak terelakkan antara ke-16 penduduk tadi dan ketiga pemuda tersebut. Ternyata kemenangan berada pada kawanan Herman. Inilah yang membikin jagoan desa itu, Helmi, 30 tahun -- yang menyuruh ke-16 anak buahnya itu mengusut kawanan Herman -- jadi berang. Pria berkumis tebal ini pun turun tangan. Ia mendatangi Herman. Tanpa banyak mukadddimah, ia langsung menusukkan pisau, persis mengenai ulu hati Herman. Darah pun muncrat hingga Herman tewas di tempat. Agaknya belum cukup puas, perut korban pun dibelahnya. Sementara itu, kawanan Helmy -- yang datang berbondong-bondong -- mengeroyok Nasaruddin dan Efendy. Lagi-lagi, Helmi membabi buta dengan pisaunya hingga kedua korban ini pun tewas bersimbah darah. Setelah itu, mayat korban mereka karungi dan dibuang di Sungai Pelepat tadi. Agaknya kisah ini akan terpendam begitu saja di Sungai Pelepat kalau saja ibu Herman, Hakkidatul rslamiyah, 51 tahun, tak menyusul anaknya ke Muara Kamang. Maklum, sudah 4 hari Herman tak pulang. Namun ketika ia muncul di desa itu, tak seorang pun penduduk setempat yang mau akrab dengannya. Padahal bertahun-tahun ia tinggal di desa itu sebelum pindah ke desa tetangganya pada 1983. Bagaikan ada gerakan tutup mulut, tak seorang pun penduduk yang mengaku pernah melihat Herman datang ke Muara Karang. Anehnya, bahkan semua orang menolaknya untuk menginap di situ. Apa boleh buat, terpaksa ia pulang dengan pertanyaan besar di benaknya: kenapa tiba-tiba penduduk Muara Kamang bersikap aneh terhadap dirinya. Kemudian pengalamannya itu dilaporkan Hakkidatul ke Polres Bungotebo di Muara Bungo. Segera polisi melakukan penyidikan ke Muara Kamang. Aksi GTM itu pun bocor dari mulut seorang penduduk yang berbisik bahwa pembunuhan itu diotaki Helmi. Helmi pun diciduk. Melalui Kepala Desa Muara Kamang Abbas, polisi mengumumkan bahwa Helmi telah mengaku tentang siapa saja yang terlibat dengan pembunuhan itu. Mendengar bahwa tokoh yang mereka segani telah diringkus, ke-56 penduduk itu pun menyerahkan diri. Tapi benarkah kawanan Herman itu maling kerbau? "Kami masih menyelidikinya," ujar Kasat Intelpam Polres Bungo Tebo Letda. Bachri M. Noor.Bersihar Lubis & Elprisdat (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini