NAMANYA Sahat Hutajulu. Konon ia mengaku sebagai pengacara asal Jakarta. Tapi, yang tak masuk akal, Rabu pekan lalu, ia diringkus di sebuah rumah di Jalan Balerejo, Yogyakarta, karena disangka sebagai pengedar ganja. "Nasib saya baru sial. Tapi mengapa polisi tahu kegiatan kami di sini," kata Sahat, 28 tahun, kepada TEMPO. Penggrebekan itu dilakukan polisi, setelah selama seminggu Unit Sidik Sakti Polda Jawa Tengah mengintip gerak-gerik mereka. Di rumah itu pula polisi menangkap komplotan Sahat, Osner Aritonang, dan Sugiwantoro. Selain itu, polisi juga menyita l00 gram ganja dan uang tunai Rp 270 ribu. "Kami sulit menangkap pengedar dengan jumlah ganja besar, karena perdagangan ganja sangat rapi," kata Kabag Serse Umum Polda Jawa Tengah Letkol. Iwan Panjiwinata. Tiga hari kemudian, "Hunter" Polda Jawa Tengah itu menangkap pula kelompok Ucok alias Darma, 22 tahun, yang sedang mangkal di Kampung Gowok, Yogyakarta. Ia ditangkap bersama rekan-rekannya Chairul Utoyo, 23 tahun, dan Suroso, 28 tahun, (semuanya mahasiswa pergunan tinggi swasta di Yogyakarta). Seperti juga Sahat, Ucok pun mengakui kesalahannya kepada polisi. "Kami terpaksa menjual garja untuk mencari uang tambahan. Uang saku dari orangtua kami sangat kurang," alasannya. Tapi, katanya kepada polisi, kelompoknya cuma pengedar ganja "kelas PKI" begitu istilah di kalangan mereka -- artinya "kelas teri". Mereka, tambahnya, baru sebulan berdagang ganja. Hanya saja, kelompok Ucok tak bersedia mengungkap jumlah daun ganja yang pernah mereka jual. "Cuma beberapa amplop senja. Saya lupa jumlahnya," kata Ucok, yang kini ditahan di Mapolda Jawa Tengah. Jika Ucok disebut "kelas PKI", kelompok Sahat dikenal sebagai pengedar "kelas negara" -- pembelinya model amplopan. Harga per amplop (kira-kira bisa dilinting jadi 70 batang) dijual sekitar Rp 40-50 ribu. "Per amplop, kami untung Rp 30 ribu," kata Sahat kepada polisi. Selain itu, Sahat juga mengaku bahwa ganjanya itu diperoleh dari orang yang bernama Hartono. Transaksi antara mereka, katanya, biasa terjadi di terminal Pulogadung, Jakarta. Ganja itu, kata Sahat, berasal dari Aceh. Tapi melihat beberapa daun ganja yang disita polisi masih basah, diduga barang itu berasal dari sekitar Yogyakarta saja. Dan tentu saja, kalau itu benar, nama Hartono itu hanya karangan Sahat saja untuk melindungi pemasok yang sebenarnya. Dari Sahat, ganja itu lalu disalurkan ke Ucok. Dan Ucok menyalurkan lagi ke pengecer, seperti Chairul dan rekan-rekannya. Para pengecerlah yang kemudian berhubungan dengan konsomen. Mereka mengedarkan ganja berupa paket per sepuluh linting dengan harga Rp 4-6 ribu. "Pelanggan kami adalah mahasiswa dan pelajar," pengakuan Chairul. Hampir bersamaan dengan ditangkapnya kelompok Sahat dan Ucok, Polresta Yogyakarta menangkap tersangka Sugiantoro, 27 tahun. Dari tangan warga Kampung Muja-muju, Yogyakarta, itu polisi menyita 100 gram ganja. Ia ditangkap di pusat perdagangan Jalan Malioboro ketika sedang melakukan transaksi. Jalan itu, selama ini, memang dikenal sebagai wilayah rawan ganja, terutama pada malam hari. Yang memprihatinkan, menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Tengah, Letkol. Imam Sunarso, adalah sasaran perdagangan ganja tersebut yang ternyata mahasiswa dan pelajar. "Mereka mendatangi rumah-rumah kost mahasiswa dan pelajar," kata Letkol. Iwan Panjiwinata. Sebab itu, sumber polisi di Yogyakarta berjanji akan lebih serius menangani kasus ini. Scbab itu, kini banyak intel-intel Polresta Yogyakarta membaur dengan remaja di sepanjang Malioboro, atau mangkal di tempat bilyar. "Kami bertekad memberantasnya. Kalau tak dicegah, korban akan berjatuhan terus," ujar sumber TEMPO ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini