Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jermal dan Anak-anak Itu

Sebuah film dengan lokasi menarik dan pemain anak-anak yang tampil alamiah. Kenapa harus jermal?

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERMAL
Sutradara: Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno
Skenario: Rayya Maakarim, Ravi Bharwani, Orlow Seunke.
Pemain: Didi Petet, Iqbal S.Manurung, Yayu A.W Unru
Produksi: Ecco Films Indonesia Production

SEHARUSNYA mereka memiliki dua hal. Langit dan laut yang mengelilingi hidup mereka sehari-hari. Seharusnya, ya seharusnya, mereka bisa menikmatinya seperti anak-anak seusianya: langit adalah rumah gugusan bintang; dan laut adalah rumah ikan. Dan seharusnya, seperti anak-anak lain yang bisa menempuh pendidikan dan bermain, mereka bisa menghitung bintang di langit dan ikan-ikan di lautan sebagai bagian dari masa kecilnya.

Tapi di jermal, nun di ujung Selat Malaka, langit itu pekat belaka. Dan ikan yang mereka jala sehari-hari adalah nafkah utama. Mereka berumah di tengah laut dan bekerja selama 19 jam menjaring ikan yang kemudian dikeringkan—dan kelak kita mengenalnya sebagai ikan teri. Jermal adalah ”rumah” bagi para ”buruh” anak yang dibangun di tengah laut. Ia berbentuk seperti sebuah galangan kecil seluas kira-kira 50 meter persegi, dan ditopang oleh tiang-tiang yang ditanam hingga ke dasar laut. Anak-anak ini ditugasi menjaring ikan dari ”lubang” yang sudah dibentuk di tengah lapangan kayu itu, kemudian menjalani proses pembersihan hingga pengeringan ikan yang kelak dijual sebagai ikan teri atau ikan asin.

Syahdan di salah satu jermal inilah seorang anak bernama Jaya (Iqbal S. Manurung) menemui Johar (Didi Petet), ayah yang selama ini tak dikenalnya. Ibu Jaya wafat dan sang ayah baru tahu hubungannya dengan sang ibu menghasilkan seorang anak lelaki yang sudah berusia 12 tahun. Sang ayah yang tambun dan masam itu menolak kehadirannya; menolak kenyataan, menolak segala sesuatu yang mengingatkan dia akan masa lalunya. Lantas kita melihat Jaya yang tidak hanya berusaha diterima ayahnya, tapi juga berusaha beradaptasi dengan segala kebrutalan yang terjadi di antara para pekerja anak. Dia bukan cuma diusir dan dibentak-bentak oleh sang ayah; tapi oleh sesama buruh anak, kawan-kawan barunya itu, ia ditelanjangi: diperintah ke sana-kemari, barang-barang miliknya, jangkrik peliharaannya, diutak atik dan dirusak…. Di jermal, Jaya menyadari bahwa dia bukan menemui seorang ayah. Dia bertemu dengan sebuah nasib yang buruk.

Di atas kertas, film yang disutradarai trio Ravi Bharwani, Rayya Makarim, dan Utawa Tresno ini seharusnya sebuah film yang dahsyat. Yang menarik perhatian. Yang menggugah. Paling tidak itulah kesan yang hadir. Jermal sudah menjadi persoalan puluhan tahun dan kasus yang dipersoalkan berulang-ulang oleh lembaga swadaya masyarakat serta pers Indonesia (termasuk majalah ini) dan internasional: dari kasus eksploitasi anak (buruk anak) hingga masalah pemerkosaan. Sejak awal, Rayya Makarim menekankan bahwa ketiga sutradara (yang juga menyusun cerita dan skenario film ini) memang ingin memfokuskan diri pada kisah pertemuan ayah dan anak. Dengan demikian, kita tak akan melihat persoalan eksploitasi buruh anak, apalagi pemerkosaan yang selama ini menjadi kasus yang terus-menerus dipersoalkan.

Tentu kita melihat gerombolan anak di bawah pimpinan Gion (Chairil A. Dalimunthe), pekerja remaja yang paling sontoloyo itu, yang mengarahkan plonco terhadap Jaya—sebuah rangkaian plonco yang kurang-lebih mirip dengan plonco di antara anak-anak kota. Artinya, jika ingin menyaksikan kebrutalan anak-anak remaja terhadap anak-anak yang lebih kecil seperti itu, Anda bisa menemukannya di sekolah-sekolah di kota besar. Tak perlu jauh-jauh berlayar ke jermal di Selat Malaka.

Tentu juga kita kadang-kadang menemukan humor. Jaya satu-satunya anak sekolahan yang nyasar ke ”neraka”—yang dalam film ternyata tak terlalu neraka—itu. Satu per satu ”penjahat” kecil mendekati Jaya dan meminta dia menuliskan surat kepada sang ibu yang jauh. Bagaimana tokoh Topan (Febri Hansah Pulungan) mendiktekan surat itu sembari mencak-mencak (untuk menunjukkan betapa dia jago bela diri) atau bagaimana anak-anak itu saling cebur. Bagian ini memang berhasil menunjukkan: pada akhirnya anak-anak brutal ini adalah anak-anak yang masih ingin bergurau dan bermain.

Tapi kita masih menemukan persoalan besar. Mengapa harus memilih jermal sebagai setting jika ceritanya adalah soal hubungan ayah dan anak? Mengapa hal-hal yang begitu spesifik tentang jermal (tempat yang begitu terisolasi, yang sangat memungkinkan manusia bertingkah laku keji, yang tak lagi peduli hak hidup anak-anak) tidak dililitkan dan dikawinkan menjadi satu sebagai bagian dari cerita? Ini memang pilihan. Tapi pilihan cerita itulah yang menjadi persoalan terbesar film ini.

Hal lain adalah—entah karena jumlah sutradara yang begitu banyak atau karena hal lain—dengan seni peran yang begitu alamiah dari anak-anak dan penampilan yang bagus dari Yayu A.W. Unru sebagai Bandi, sosok tunarungu (yang menjadi pemegang moral di antara mereka), dan rekaman sinematografer Claire Pijman N.S.C. yang bisa berbicara, kenapa hati saya tak kunjung tergerak, apalagi tersentuh? Setiap kali ada adegan yang siap merenggut hati, adegan itu langsung dipotong untuk menuju ke adegan berikutnya. Tak ada ruang dan tak ada ”penyelesaian” atas adegan-adegan puncak yang seharusnya menjadi ”mutiara” dari film ini. Adegan Johar yang sampai pada kesadaran tentang identitasnya sebagai seorang ayah dan pengakuannya seharusnya menjadi adegan puncak. Tapi hati ini tak kunjung bisa direbut apalagi dikoyak-koyak. Penyuntingan ini tak memberikan ruang emosi pada penonton. Penyuntingan yang melupakan bahwa adegan film bukan sekadar teori sinematografi; tapi diperlukan embusan nyawa, embusan jiwa.

Hingga akhir cerita, memang ada penyelesaian yang jelas antara ayah dan anak itu. Sesuatu yang memang sudah direncanakan dengan ketat dan bersih oleh para penulis cerita. Tapi, sekali lagi, cerita seperti itu bisa saja dipindahkan ke kampung kumuh di pojok Jawa atau sebuah pabrik sepatu pinggiran kota besar Indonesia. Kita tak kunjung tahu, kenapa harus menggunakan jermal sebagai judul dan setting cerita.

Bagaimanapun, Iqbal S. Manurung sebagai Jaya dan Chairil A. Dalimunthe sebagai Gion adalah dua mutiara temuan baru film ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum