PERSIDANGAN kasus manipulasi tanah negara seluas 13 ha atau senilai Rp 6,5 milyar, di Desa Jakasampurna, Bekasi, Jawa Barat, seakan berakhir dengan antiklimaks. Majelis hakim yang diketuai Soepranoto, Senin pekan lalu, di luar dugaan membebaskan tersangka utama perkara itu, H.M. Banjar bin Maat, 42 tahun, yang sehari-hari calo tanah, dari tuduhan korupsi. Padahal, Mei tahun lalu, majelis hakim memvonis Lurah Jakasampurna H.M. Toha Effendy, 52 tahun, dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Ia dinyatakan terbukti bekerja sama dengan Banjar melakukan korupsi sehingga merugikan negara Rp 6,5 milyar. Pada 1977 Perumnas membeli tanah di Desa Jakasampurna seluas 262 ha. Ternyata, belakangan Perumnas hanya memperoleh hak pengelolaan sekitar 248 ha tanah. Sisa tanah seluas 13 ha itulah, menurut jaksa, yang kemudian "dimainkan" Toha dan Banjar untuk keuntungan pribadinya. Semula, kata jaksa, Toha menjual girik tanah itu kepada penggarap. Belakangan, Toha bersama Banjar mengajukan 60 nama penggarap -- sebagian besar ternyata fiktif -- untuk memperoleh sertifikat. Berkat kerja sama Banjar dengan Suratman, Kepala Seksi Landreform Agraria Bekasi, terbitlah 24 sertifikat aspal atas tanah itu. Urusan dengan Camat Bekasi Selatan Lesmana pun lancar-lancar saja. Untuk itu, Banjar hanya membayar ganti rugi Rp 809 ribu ke kas negara. Rp 100 juta dikeluarkannya untuk pembebasan tanah hak pengelolaan lahan (HPL), dan Rp 35 juta untuk sumbangan pembangunan Pemda Bekasi. Sementara itu, Lurah Toha kebagian Rp 18 juta. Di persidangan, ketahuan pula Banjar memberi upeti masing-masing Rp 50 juta kepada kepala agraria yang lama dan penggantinya. Tanah bersertifikat fiktif itu belakangan dijual Banjar kepada Kusnadi seharga Rp 650 juta. Setelah berpindah-pindah tangan, tanah itu kini berada pada developer PT Duta Indocor Agung, yang akan membangun perumahan KPR BTN Jaka Sampurna Mas Permai. Kasus ini terbongkar ketika para penggarap yang sudah memiliki girik tanah melapor ke Kejaksaan Negeri Bekasi, September 1987. Mereka mengadu karena tanah yang mereka beli ternyata sudah dijual Banjar kepada pihak lain. Setelah sidang berjalan lebih dari 100 kali dalam waktu setahun lebih, majelis hakim yang diketuai R.M. Soepranoto ternyata membebaskan calo tanah ini. Padahal, Jaksa H.A.M. Kadir menuntut Banjar 10 tahun penjara, membayar ganti rugi pada negara Rp 75 juta, dan denda Rp 30 juta subsider 6 bulan kurungan. Banjar, menurut Soepranoto, yang juga menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Negeri Bekasi ini, tidak bisa dikaitkan dalam perkara korupsi. Sebab ia, kata hakim, hanya calo yang diminta oleh Toha untuk mengurus sertifikat tanah. Untuk urusan itu ia juga diberi kuasa para penggarap tanah untuk mengurus sertifikat tanah tersebut. Untuk mendapat sertifikat-sertifikat itu, menurut hakim, Banjar telah melalui prosedur dan membayar kewajibannya, sehingga negara tidak pernah dirugikan. "Jadi, ia tak bisa disebut korupsi. Lha ia bukan pengawai negeri, dan bukan pula pengusaha yang mendapat bantuan dari pemerintah," kata Soepranoto. Bahkan, menurut majelis, Banjar juga tidak terbukti membantu korupsi. "Ia bisa disebut membantu korupsi kalau dia tahu bahwa yang dilakukannya itu salah. Dalam hal ini ia kan cuma menerima kuasa, mengurus sertifikat dan kemudian menjualnya kepada orang lain. Ia baru tahu itu korupsi setelah ia diusut jaksa dalam kasus itu," tambah Soepranoto. Hakim Soepranoto, yang akhir April mendatang akan pindah ke Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, menganggap bahwa pelaku utama perkara korupsi ini adalah Toha, sementara pembantu kejahatan itu camat, aparat pemda, dan aparat agraria. Karena kelalaian Tohalah, kata Soepranoto, pemda mengeluarkan sertifikat untuk tanah-tanah negara itu. Banjar tentu saja lega mendengar putusan itu. Ketika ditemui di rumahnya, yang bertingkat dua di Desa Setia Mekar, ayah enam anak ini mengaku hanya sebagai calo yang mencari makan dari persenan. Dari Kusnadi, yang membeli sertifikat itu, misalnya, ia mengaku mendapat persenan Rp 580 ribu. "Sebagai calo saya cari makan dari persenan saja," katanya. Untuk bebas itu, ia mengatakan tak minta bantuan siapa-siapa kecuali pengacaranya. Dan ia mengaku bengong ketika divonis bebas. Kendati begitu, Banjar tak berniat menuntut balik karena pernah ditahan jaksa selama 9 bulan. "Kalau kita berbuat baik, Allah akan mengembalikan kebaikan itu kepada kita," kata Banjar, yang di desanya sempat membangun sebuah masjid dan empat musala. Selain itu di desanya, ia juga dikenal sebagai ketua yayasan yang mengelola madrasah sanawiyah dan aliyah. Mendengar Banjar divonis bebas, Toha kontan meradang. Sebab, Toha yakin benar bahwa Banjarlah yang membuat sertifikat fiktif untuk tanah-tanah negara di Desa Jakasampurna itu dan kemudian menjualnya ke pihak lain. "Lo, kok dia bisa bebas. Kan dia yang mengurus sertifikat ke camat dan agraria serta menjualnya?" kata Toha sengit. Tidak hanya Toha yang kecewa, tapi pihak kejaksaan pun ikut berang. Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi, Soehandjono, mengatakan keheranannya karena diktum putusan ini bertolak belakang dengan diktum putusan Toha. Pada diktum putusan untuk Toha, misalnya, jelas disebutkan bahwa Banjar mendapat keuntungan sekitar Rp 100 juta dari manipulasi itu. Tapi ia tak ingin berkomentar banyak. "Kami akan kasasi," katanya. Kendati begitu, seorang pejabat kejaksaan tetap tak habis mengerti keputusan hakim tersebut. "Bagaimana bisa Banjar disebut sekadar kuasa padahal kuasa yang dipegangnya itu jelas kuasa fiktif dari penggarap fiktif. Bayangkan, si pemberi kuasa fiktif itu adalah istri, adik-adik, dan saudara Banjar sendiri," kata pejabat itu. Diah Purnomowati, Adiran Taufik Gesuri, dan Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini