Gugatan pertama di PTUN Jakarta berujung perdamaian. Wali Kota terpaksa menarik undangannya. MENJADI pejabat pemerintah tiba-tiba jadi tak gampang. Bukan hanya keputusannya yang kini bisa diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tapi juga memo, nota, dan undangan. Hanya gara-gara membuat undangan bagi seorang warganya yang bersengketa tanah, Wali Kota Jakarta Barat diseret ke peradilan administrasi itu. Gara-gara itu sang wali kota terpaksa mencabut undangan tersebut. Imbalannya Rabu pekan lalu, PTUN berhasil menyelesaikan kasus itu dengan perdamaian. Bagaimanapun perkara yang diadili mejelis hakim yang diketuai Amarullah Salim itu tercatat sebagai sejarah "keputusan" pertama PTUN sejak beroperasi secara resmi pada 24 Januari 1991. Tak mengherankan kalau perkara yang dinyatakan terbuka untuk umum itu dipadati pengunjung dan diliput TVRI. Perkara "undangan" itu memang tercatat sebagai perkara pertama yang diterima PTUN Jakarta. Pengacara O.C. Kaligis, yang dikenal "jago" memanfaatkan momentum, menggugat hanya karena undangan dari Wakil Wali Kota Jakarta Barat, Nyonya Maemunah Chairan, kepada kliennya, seorang warga di Jakarta Barat Paulus Djaja Sentosa Tabeta. Dalam undangan tanggal 14 Januari 1991 itu Paulus diminta datang pada 16 Januari 1991. Undangan itu untuk membicarakan masalah tanah milik Paulus di Cengkareng, Jakarta Barat. Sebab, tanah itu juga diklaim seorang Nyonya Sriyanti sebagai miliknya. Padahal, Wali Kota harus memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah tersebut karena terkena proyek jalan. Rupanya, Paulus tak bisa menerima "upaya" Wali Kota. Sebab, sebagai pemegang sertifikat hak pakai tertanggal 23 November 1987, Paulus merasa dialah pemilik sah tanah tersebut. Sementara itu, sertifikat hak pakai atas nama Sriyanti sudah berakhir sejak 1982. Melalui Kaligis, Paulus menuntut agar pengadilan menyatakan surat undangan itu tidak sah. Ia juga menuntut ganti rugi Rp 10 juta dari Wali Kota. Sebab, akibat undangan itu, katanya, ia tak bisa menjual tanah itu ataupun memperoleh IMB. Perkara itu kemudian sampai lima kali disidangkan. Tapi persidangannya, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang PTUN tahun 1986, masih tertutup untuk umum termasuk pers. Hasilnya, kedua pihak bersedia damai. Wali Kota setuju mencabut undangan, dan menyatakan tak ada sengketa antara Paulus dan Sriyanti, sementara Paulus akan mencabut gugatannya. Namun, O.C. Kaligis merasa belum puas jika perdamaian itu tak dituangkan dalam keputusan hakim. Keinginan Kaligis ini keruan saja cukup "memusingkan" majelis hakim. Pasalnya, tata cara yang biasa berlaku di peradilan umum/perdata ini belum diatur dalam UU PTUN. Akhirnya, Rabu itu majelis hakim menempuh cara dengan membacakan akta perdamaian di persidangan, yang terbuka untuk umum. Dengan begitu, "Masyarakat akan mengetahui jika ada pihak yang kemudian ternyata mengingkari isi perdamaian," kata Amarullah Salim. Kaligis, yang gembira, menganggap "putusan" itu penting untuk membuat jera pejabat. "Anda tahu kan selama ini banyak sekali nota, memo, atau undangan, yang tak jelas maksudnya, dari pejabat atau instansi tertentu. Padahal, mereka tak berwenang mengeluarkan produk administratif itu, atau produk tertulis itu tak berdasar hukum," katanya. Jera? Kuasa hukum Wali Kota, Syarifuddin Zein Lubis, menyatakan bahwa instansinya tetap akan melanjutkan tata cara undangan semacam itu. Sebab, katanya, Wali Kota sebagai penguasa tunggal di wilayahnya memang berwenang menyelesaikan sengketa warganya. Apalagi selama ini belum ada risiko hukum akibat cara itu. "Kasus Paulus itu kan berakhir damai. Gugatannya dicabut, bukan diterima," kata Syarifuddin. Artinya, Pak Wali boleh mencoba lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini