Arswendo divonis 5 tahun penjara. Permohonan maaf Wendo dan pleidoi pengacara tak mengurangi vonis dan ancaman maksimal. TAMPAKNYA, tak sedikit pun tersisa maaf buat Wendo. Hanya tinggal sepekan menjelang Idul Fitri, atau Senin pekan ini, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sarwono memvonis bekas pemimpin redaksi tabloid mingguan Monitor bersalah menghina agama Islam (haatzaai) dan menghukumnya 5 tahun penjara. Vonis berat itu -- maksimal dari ancaman pasal 156 a huruf a KUHP (penghinaan agama) yang dianggap terbukti dilakukan Wendo -- membuat segenap pengunjung yang memadati ruang sidang, menghela napas panjang. Mereka terpana. Pengacara Wendo, 42 tahun, Prof. Oemar Seno Adji, menganggap vonis itu terlalu berat dan menyatakan akan naik banding. "Hukuman maksimum kan jarang sekali diterapkan hakim. Wong ancaman maksimum hukuman mati dalam kasus subversi saja jarang-jarang dijatuhkan hakim," kata guru besar Hukum Pidana FH UI itu. Namun, Arswendo Atmowiloto sendiri, yang berstelan abu-abu, tampak berusaha tenang dan menorehkan angka hukuman itu pada catatan hariannya. Bekas penulis dan wartawan kondang itu tampaknya sudah pasrah menerima puncak berbagai macam deraan yang menimpanya gara-gara kasus angket "Kagum 5 Juta" Monitor, yang menghebohkan umat Islam pada tahun silam. Dalam angket Monitor edisi 15 Oktober 1990 itu, Nabi Muhammad saw. dipasang pada peringkat ke-11, di bawah peringkat Presiden Soeharto, Menristek Habibie, bahkan di bawah Wendo, yang menduduki peringkat ke-10. Gara-gara angket itu Wendo didera "hukuman" yang tak kepalang banyak dan berat. Ia dipecat dari PWI, dicopot dari semua jabatan di Gramedia (grup perusahaan yang menerbitkan Monitor), sampai akhirnya SIUPP medianya itu dicabut. Di persidangan, Jaksa Soeryadi W.S. menuntut Wendo hukuman 5 tahun penjara plus denda Rp 10 juta. Menurut Soeryadi, Wendo bukan hanya melanggar pasal 156 a huruf a KUHP, tapi juga secara kumulatif melanggar ketentuan fungsi dan kewajiban pers seperti diatur pasal 19 Undang-Undang Pokok Pers (UUPP), tahun 1982, yang ancaman maksimalnya 4 tahun penjara dan/atau denda Rp 40 juta. Baik Wendo maupun tim pengacaranya, yang diketuai Oemar Seno Adji, sewaktu mengajukan pleidoi sudah berkali-kali meminta maaf kepada umat Islam, dan sekaligus memohon keringanan hukuman. Menurut Wendo, "musibah" angket itu sama sekali tak disengajanya. Oemar menganggap Wendo tak bisa dikatakan sengaja menghina Nabi. Sebab, kata Oemar, selain Wendo mengaku hanya sekadar lalai atau ceroboh, penghinaan yang dimaksud dalam KUHP itu harus berupa pernyataan (kata-kata) kasar. Namun, menurut majelis hakim, angket yang menyamakan Nabi Muhammad saw. dengan manusia biasa jelas merendahkan derajat Rasulullah. Perbuatan itu, kata majelis, terhitung suatu penghinaan (yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan) terhadap agama Islam dengan menggunakan penerbitan pers. Sebab, dalam ajaran dan akidah Islam, sambung majelis hakim, Allah, Rasulullah, dan Quran adalah satu kesatuan, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendapat majelis ini didasarkan pada Surat An Nissa ayat 59 dan 80, At Taubah ayat 33, dan Al Maidah ayat 32, yang dikutip saksi ahli guru besar Hukum Islam IAIN Jakarta, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, dan Prof. Drs. H. Achmad Khotif. Menurut majelis, sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 Juli 1976, penghinaan dimaksud tak perlu berbentuk pernyataan kasar. "Menempatkan posisi Nabi seperti manusia biasa itu sudah menyinggung agama Islam. Tak perlu sampai mengatakan Nabi bodoh, dan sebagainya," kata Hakim Sarwono. Wendo, kata majelis, juga terbukti sengaja menodai agama Islam. Sebab, sewaktu angket itu akan dimuat, dua orang bawahannya (antara lain Tayip Riyanto) sebetulnya sudah memperingatkan agar nama Nabi Muhammad saw. tak usah dicantumkan. Majelis hakim juga tak lupa mengulas hukum pers. Menurut majelis, kepada Wendo selaku pemimpin redaksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya sebagai pelaku, sesuai dengan ketentuan KUHP. Artinya, majelis mengesampingkan pertanggungjawaban pidana Wendo secara formal (fiktif dan suksesif), yang bisa dilimpahkan kepada bawahan seperti diatur UUPP. Hal itu, menurut majelis, sesuai dengan keterangan saksi ahli anggota pelaksana Harian Dewan Pers, Zulharman Said, dan Direktur Pembinaan Pers Departemen Penerangan, Widodo. Menurut kedua saksi itu, berdasarkan pasal 15 (3) UUPP, pemimpin redaksi bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional. Jadi, "Dalam penerbitan pers, kepada yang tinggi dikenakan ketentuan KUHP, kepada yang di bawah dikenakan delik pers menurut UUPP," kata Hakim Sarwono. Namun, Oemar menganggap vonis itu sangat berat. Kasus H.B. Jassin saja, pada 1970, kata Oemar, pengadilan hanya menjatuhkan hukuman percobaan. Di luar negeri, kasus delik agama serupa paling banter dihukum enam bulan. Oemar menduga vonis kasus itu, yang persidangannya terhitung cepat, tak lepas dari pressure di luar pengadilan. Selain itu, Oemar menganggap majelis hakim kurang mempertajam rumusan penghinaan agama dalam kasus Monitor. Begitu pula soal hukum persnya, baik tentang sistem pertanggungjawaban pidananya maupun masalah hak tolak saksi Tayip Riyanto. Memang, "Sampai kini belum ada yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban itu," kata bekas menteri kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung itu. Apa pun alasan Oemar Seno Adji atau Wendo, hakim tak sedepa pun beranjak dari ancaman hukuman maksimal. Vonis Wendo benar-benar tanpa maaf. Karni Ilyas, Happy S., dan Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini