Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi tak kunjung mengungkap otak kejahatan kerangkeng manusia di rumah Bupati non-aktif Langkat Terbit Rencana Peranginangin
Tiga penghuni kerangkeng tewas setelah disiksa.
Putra sulung Terbit diduga ikut menyiksa para tahanan.
RAPAT itu hanya digelar selama satu jam pada Selasa, pukul 12.00, 2 Maret lalu. Setengah jam sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin mendadak mengundang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk membahas perkembangan investigasi kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin-Angin.
Kedua lembaga memaparkan temuan nyaris serupa: terjadi kejahatan berat dan pelanggaran kemanusiaan terhadap ratusan orang yang pernah menghuni kerangkeng. Terbit diduga menjadi otak pembuatan terungku dengan dalih tempat rehabilitasi pecandu narkotik. Ia juga ditengarai melibatkan personel Tentara Nasional Indonesia, polisi, dan anak kandungnya, Dewa Perangin-Angin, untuk mengelola kerangkeng.
Pertemuan di kantor Menteri Mahfud turut mengungkap tiga penghuni tewas selama mendekam di kerangkeng. Fakta ini diperoleh tim Komnas HAM dan LSPK yang mengunjungi kerangkeng milik Bupati Langkat itu pada 26 dan 27 Januari 2022.
(Baca: Cerita Saksi Perbudakan di Rumah Bupati Langkat)
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, yang diundang dalam rapat tersebut, menyampaikan kerisauan terhadap jalannya penyelidikan Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Hampir dua bulan berlalu, polisi tak kunjung menetapkan satu pun tersangka kasus kerangkeng manusia. “Kami mendesak agar penyidikan kasus ini dipercepat,” ujarnya pada Senin, 7 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbit Rencana Perangin Angin (kiri) dan anaknya, Dewa Perangin Angin/Facebook.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, kata Edwin, bukti kejahatan kerangkeng sangat gamblang. Ada banyak saksi yang masih hidup. Apalagi investigasi LPSK dan Komnas HAM bisa melengkapi penelusuran polisi. “Penyidikan yang berlarut-larut dikhawatirkan bakal mempengaruhi sikap para korban untuk bersaksi.”
Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI bahkan ikut menangani perkara ini. Mereka mengirimkan tim, termasuk personel intelijen, sejak kabar kerangkeng manusia menyebar. Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Agus Andrianto tak menampik kabar tersebut. Tapi ia meminta penjelasan perkembangan kasus ini kepada Polda Sumatera Utara.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan pihaknya sudah memeriksa 70 saksi. Mereka juga sudah mengantongi hasil autopsi dua jasad korban yang diduga tewas akibat penyiksaan di dalam kerangkeng. Ia tak mengungkap hasil pemeriksaan dan autopsi tersebut.
Hadi menyampaikan timnya membutuhkan waktu untuk mengembangkan kasus ini. Ia tak mempermasalahkan kritik yang menyebut penyelidikan polisi di Langkat berjalan lamban. “Tudingan itu menjadi pelecut semangat para penyidik. Kami anggap cambuk agar kami terus bekerja di lapangan,” katanya.
Keberadaan kerangkeng manusia terungkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menciduk Bupati Terbit di rumahnya pada 18 Januari lalu. KPK menduga Terbit menerima suap Rp 786 juta dari sejumlah pengusaha yang menggarap proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Dinas Pendidikan.
Saat penangkapan terjadi, tim penyidik menemukan 65 orang yang mendekam dalam jeruji besi di sebuah bangunan persis di belakang rumah pribadi Terbit. Personel Polda Sumatera Utara ikut mendampingi tim KPK dalam operasi tangkap tangan tersebut.
Kerangkeng manusia di rumah Terbit Rencana Peranginangin terdiri atas dua unit bangunan. Setiap bangunan memiliki sel seluas 6 x 6 meter persegi. Lantainya dilapisi keramik berkelir cokelat. Terdapat tempat tidur papan kayu di kedua sisi ruangan. Di kalangan tahanan, penjara ilegal itu disebut dengan “kereng”.
Penampakan rumah Terbit Perangin-angin yang memiliki kerangkeng manusia/Pemkab Langkat
Para tahanan yang ingin buang air besar atau mandi harus bergantian menggunakan satu kamar mandi tanpa pintu. “Rumah tahanan ilegal itu dibangun sejak 2010,” ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Komnas HAM menemukan fakta bahwa semua tahanan mengalami berbagai penganiayaan di dalam kerangkeng. Mereka juga diperbudak karena dipaksa bekerja tanpa gaji dan jam kerja yang jelas di kebun kelapa sawit milik Terbit dan perusahaan lain. Makanan yang disediakan pun jauh dari menu gizi empat sehat-lima sempurna.
Terbit Perangin-Angin mengajak kerabatnya untuk mengelola kereng. Ia juga merekrut anggota salah satu organisasi massa tingkat nasional di Langkat. “Personel TNI, Polri, dan kepala desa juga ikut dilibatkan,” ucap Anam.
Kepada Tempo, juru bicara keluarga Terbit Rencana Perangin-Angin, Mangapul Silalahi, sempat menjanjikan waktu untuk wawancara. Rencana itu urung terjadi hingga Sabtu, 12 Maret lalu.
Saat menggelar konferensi pers pada Senin, 31 Januari lalu, Mangapul mengatakan keluarga Terbit akan mengikuti proses hukum yang ada. Ia mengatakan kerangkeng manusia itu adalah tempat pembinaan yang sudah lama berdiri dan diketahui pihak berwenang. “Ada niat dari keluarga untuk melegalkan tempat pembinaan itu, meski prosesnya masih belum terlaksana hingga saat ini,” ucapnya.
Di gedung KPK, Terbit Perangin-Angin juga menyatakan kerangkeng manusia itu merupakan tempat pembinaan. “Awalnya itu pembinaan untuk organisasi. Saya sebagai tokoh Pemuda Pancasila ingin menghilangkan pecandu narkotik,” ujar pria 49 tahun itu kepada wartawan, Senin, 7 Februari lalu.
Menurut politikus Partai Golkar ini, ia mempekerjakan para penghuni kerangkeng untuk menambah skill. Itu sebabnya ia membantah kabar adanya penyiksaan tahanan di dalam kerangkeng. “Bukan penyiksaan.”
•••
TEKA-TEKI kematian Abdul Sidik Isnur dan Sarianto Ginting terungkap lewat hasil autopsi Rumah Sakit Bhayangkara Sumatera Utara. Mereka menggali makam kedua mantan penghuni kerangkeng manusia Bupati Langkat itu di Tempat Pemakaman Umum Kecamatan Sawit Seberang dan Sei Bingei pada Sabtu, 12 Februari lalu. Hasil autopsi mengungkap kedua korban diduga meninggal tak wajar.
Sarianto Ginting diduga tewas akibat dianiaya empat petugas kerangkeng dan putra sulung Terbit Rencana Perangin-Angin, Dewa Perangin-Angin. Dewa berusia 20-an tahun dan jebolan sarjana kedokteran dari salah satu kampus ternama di Kota Medan.
Sarianto disiksa sejak hari pertama menghuni kerangkeng pada 7 Juni 2021. Salah seorang saksi yang enggan mengungkap identitasnya mengatakan Dewa ikut menganiaya korban pada 11 Juni 2021, sekitar pukul 16.00 WIB. “Tiga pengurus kerangkeng bernama Rajes Ginting, Bintang Andika alias Kentung, dan Dino, ikut membantu Dewa,” ujarnya.
Ia mengaku ingat betul kejadian tersebut. Kala itu, Dewa meminta para pengurus mengikat kedua tangan Sarianto. Matanya ditutup lakban berwarna cokelat. Dewa menginterogasi sambil memukuli Sarianto dengan tongkat kayu sepanjang satu meter.
Dewa memaksa Sarianto mengaku dimasukkan kerangkeng karena kecanduan narkotik. Saat disiksa, Sarianto mengaku dijebloskan ke kereng karena gemar minum tuak.
Dewa memerintahkan ketiga anak buahnya memasukkan Sarianto ke dalam kolam yang berada di depan kerangkeng. Lima menit dalam air, Sarianto tak kunjung muncul ke permukaan. Beberapa saat kemudian, tubuhnya ditemukan dekat saluran air kolam dalam kondisi sekarat.
Dewa memerintahkan salah seorang anak buahnya, Rajes Ginting, membawa Sarianto ke klinik terdekat. “Sekitar lima menit kemudian Rajes datang dan mengabarkan bahwa Sarianto sudah mati,” tutur saksi yang juga mantan penghuni kerangkeng tersebut.
Bagi para penghuni “kereng”, sosok Dewa dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa. Mantan tahanan di kereng, Rian—bukan nama sebenarnya—mengatakan para penghuni kerangkeng selalu bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, pura-pura salat, atau mencuci pakaian setiap kali melihat kehadiran Dewa. “Dia gemar menyiksa tahanan,” ujar Rian sambil menunjukkan luka bekas penganiayaan oleh Dewa.
Rian pernah kabur dari kerangkeng karena tak tahan disiksa. “Saya lari setelah enam bulan menghuni tempat itu. Sudah tidak kuat. Tidak salah pun disiksa, kapan mereka mau pasti kami kena siksa,” ucapnya.
Ia bernasib nahas. Berselang beberapa pekan, ia ditangkap anak buah Terbit Perangin-Angin dan kembali menghuni kerangkeng. Di tahanan, ia kembali disiksa dengan menggunakan potongan selang. “Dewa bahkan meneteskan plastik yang dibakar ke tubuh saya,” katanya.
Perilaku Dewa diamini Binsar—juga bukan nama sebenarnya. Ia menghuni kerangkeng pada Juni 2020. Di hari pertama, Dewa memukulinya dengan menggunakan potongan selang. “Dia bilang waktu itu untuk salam perkenalan,” tutur Binsar.
Binsar juga sempat melarikan diri selama delapan bulan. Nasibnya tak jauh berbeda dengan Rian. Ia juga dijemput paksa oleh petugas kerangkeng. Setelah ditahan lagi, Dewa menyiksanya lebih sadis. Ia pernah dipaksa mengunyah cabai lalu disemburkan ke wajah penghuni kerangkeng lain yang juga pernah melarikan diri.
Namun penyiksaan tahanan bukan hanya dilakukan Dewa dan petugas kerangkeng. Seorang mantan penghuni kerangkeng yang ingin dipanggil Ramses mengatakan Terbit Perangin-Angin juga pernah menyiksa tahanan pada Desember 2021. “Korbannya waktu itu ada tiga, warga sekitar Namu Ukur, Sei Bingai, dan Langkat,” ucapnya.
Laporan investigasi Komnas HAM dan LPSK mengungkapkan para tahanan dijebloskan ke dalam kerangkeng karena berbagai alasan dan latar belakang masalah. Kedua lembaga juga sudah mengumpulkan saksi yang disiksa Terbit dan Dewa. “Penyiksaan kerangkeng diduga melibatkan keluarga Bupati,” ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
Tak semua saksi berani melapor. LPSK membuka layanan perlindungan terhadap para saksi dan korban dalam perkara itu. Selain memberi perlindungan, Komnas HAM dan LPSK menyurati pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia karena mensinyalir ada enam prajurit yang menjadi anak buah Terbit. Personel TNI yang terlibat berpangkat sersan dua hingga pembantu letnan satu.
Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna menjelaskan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat dan Pusat Polisi Militer Komando Daerah Militer I Bukit Barisan sudah merespons kasus itu dengan memeriksa sejumlah anggota TNI yang diduga terlibat. TNI juga terus menjalin koordinasi penyelidikan dengan sejumlah lembaga negara, seperti kepolisian dan Komnas HAM. “TNI memastikan persoalan itu akan ditindaklanjuti secara tuntas dan obyektif,” tuturnya.
Dokumen yang diperoleh Tempo mencantumkan keenam prajurit bertugas di Komando Distrik Militer 0201/Medan, Komando Distrik Militer 0203/Langkat, dan Batalyon Infanteri Raider 100 PS. Dari hasil pemeriksaan, mereka membenarkan ada penyiksaan dan kematian tahanan saat berada dalam pengawasan petugas kerangkeng.
Pemerintah juga bergerak cepat. Beberapa jam setelah digelarnya rapat Menkopolhukam Mahfud Md. dengan LSPK dan Komnas HAM, Polda Sumatera Utara menerbitkan dua surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Surat pertama bernomor Sp.Sidik/62/III/2022/Ditreskrimum atas terlapor Hemanto Sitepu dan kawan-kawan pada 2 Maret 2022.
Rian, nama samaran, salah satu korban menunjukkan bekas luka dari siksaan Dewa Perangin Angin sewaktu berada di kerangkeng manusia milik Terbit Rencana Perangin Angin, 10 Maret 2022/Jufri Pangaribuan
Dua hari kemudian, polisi mengeluarkan surat kedua bernomor Sp.Sidik/63/III/2022/Ditreskrimum yang berisi SPDP untuk terlapor Rajes Ginting dan kawan-kawan. Kedua surat itu diteken Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja. Meski begitu, polisi belum menetapkan siapa saja tersangka dalam kasus kerangkeng ilegal ini.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Yos Arnold Tarigan mengatakan sudah menerima kedua SPDP itu dari polisi. Kejaksaan sudah menunjuk tiga jaksa peneliti guna berkoordinasi menyelesaikan berkas penyidikan dengan polisi. “Sudah ada penetapan jaksa peneliti untuk terlapor Rajes Ginting dan Hermanto Sitepu,” ujarnya.
Edwin meminta polisi menyeret semua pelaku kekerasan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat. Menurut dia, bukti keterlibatan para pelaku kekerasan tak sulit didapat karena kejahatan itu terjadi secara kasatmata dan didasari kesaksian para korban. “Ini bukan mencari harta karun di palung lautan,” katanya.
SAHAT SIMATUPANG (MEDAN), JUFRI L. PANAGARIBUAN (LANGKAT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo