RAUT wajah Edese de Groote dan Ceheye Leo semringah. Dua warga negara Belgia itu riang bukan buatan mendengar putusan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, Riau. Rabu dua pekan lalu, setelah menyidang kapal pengeruk pasir ilegal yang ditangkap TNI Angkatan Laut, majelis yang diketuai Hakim Unardi hanya menjatuhkan vonis ”kelas bulu” buat mereka. De Groote dan Leo, nakhoda kapal MV Lange Waper dan kapten MV Alexander von Humbold, cuma dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 21/1992 tentang Pelayaran, antara lain karena tak memiliki buku harian perjalanan (log book). Atas kesalahan itu, mereka didenda masing-masing Rp 30 juta atau subsider enam bulan penjara.
Ketimbang sebuah hukuman, denda Hakim Unardi jelas lebih tampak sebagai megabonus. Mari kita hitung. Katakanlah dua kapal liar ini mulai beroperasi tahun 2000. Sekali angkut, tiap kapal mampu menampung 10 ribu meter kubik. Sehari satu kapal bisa turun muatan tiga kali. Jadi, dengan harga jual pasir laut sekitar 1,3 dolar Singapura per meter kubik, atau setara dengan Rp 6.500, dalam tempo sehari duit Rp 195 juta bisa dikeruk. Dengan kata lain, denda dari Pak Hakim bisa enteng dilunasi hanya dengan setengah muatan kapal.
Jadi, janganlah disalahkan jika Angkatan Laut yang telah jungkir balik menangkapi kapal ”perompak” itu di perairan Karimun dan Kepulauan Riau jadi geram tak alang kepalang. Vonis miring ini jelas bisa dijadikan modal berkelit buat lima kapal lainnya yang juga telah dicokok. Dengarlah keluhan Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat, Laksamana Pertama Tedjo Eddy, ”Saya kecewa kenapa dakwaan tak dilakukan secara kumulatif.”
Kekecewaan Tedjo tak mengada-ada. Sebelumnya, telah ada kesepakatan antardepartemen, termasuk kejaksaan, supaya perkara penggarongan pasir didakwa berlapis. Yang terjadi, dalam perkara ini dakwaan jaksa hanya memasukkan dua unsur: tak mengantongi surat izin berlayar dan tak mengisi log book. Yang menjadi inti soal, pencurian dan pelanggaran undang-undang kepabeanan malah digugurkan karena dianggap tak terbukti.
Tak hanya mengecewakan Tedjo, vonis itu juga membuat geram Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri. Tak tanggung, Rokhmin bahkan mencurigai ada permainan di balik putusan itu. ”Ada apa ini?” katanya. Sejak awal ia telah mencium gelagat tak beres: aparat kejaksaan berkesan selalu mempersulit penuntasan kasus.
Aroma kongkalikong memang menyengat. Sumber TEMPO yang tahu seluk-beluk bisnis gelap ini berkisah, seminggu sebelum vonis, ada pertemuan antara Tim Pengendalian Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut setempat dan para bos penyewa kapal yang ditangkap di Hotel Novotel Batam. Sebuah kesepakatan lalu dicapai: duit miliaran rupiah akan dikucurkan asalkan kapal dilepas.
Karena itulah Laksamana Tedjo dan Menteri Rokhmin bersepakat akan tetap menahan kapal untuk kepentingan penyidikan selanjutnya. Saat ini mereka menyiapkan dakwaan baru yang akan segera disusulkan.
Menurut Rokhmin, selain didakwa melakukan pelanggaran kepabeanan, pencurian, dan pelanggaran undang-undang lingkungan hidup, kapal gelap itu akan didakwa telah memanipulasi volume ekspor pasir laut. Data di Bea Cukai menunjukkan pemberitahuan ekspor kedua kapal jauh lebih rendah volumenya dibandingkan dengan yang tertera di dokumen Maritime Port Authority Singapura.
Tapi tudingan tak sedap itu dibantah mati-matian oleh jaksa penuntut umum Soemarsono. Menurut dia, dakwaan disusun sesuai dengan bukti yang diajukan penyidik. Seperti lagi main lempar bola, Hakim Unardi juga berdalih bahwa vonis ringan dijatuhkan karena cuma sebegitulah dakwaan jaksa. Ia juga menyangkal telah disumpal suap. Suara lebih keras datang dari koleganya, hakim anggota Syahlan. Tak sekadar menyanggah, dengan nada tinggi Syahlan balik menuding Menteri Rokhmin telah mengintervensi pengadilan. Dan simaklah tantangannya, ”Jangankan dipanggil Menteri Kehakiman, dipanggil ke langit pun kami sanggup.”
Fajar W.H., Purwanto, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini