Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISI surat itu membuat dahi Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bekernyit. Dikirim seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, surat itu menanyakan kelengkapan dokumen sebidang tanah yang tercatat sebagai aset milik daerah. Wakil Gubernur pun segera waspada. Dia menduga ada kepentingan pihak tertentu di balik pertanyaan sang legislator. "Itu mencurigakan. Kalaupun tahu, tak akan saya jawab," kata Basuki ketika menceritakan keganjilan surat itu kepada Tempo dua pekan lalu.
Tak lama setelah dilantik mendampingi Gubernur DKI Joko Widodo, Basuki memang mendapat tugas khusus: mendata semua aset daerah dan memperkuat status hukumnya. Maklum, ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan Ahok—demikian panggilan Basuki—diwanti-wanti banyak pihak soal amburadulnya pendataan dan pengelolaan aset daerah itu.
Sejak akhir tahun lalu, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) ditugasi menggelar sensus aset. Pendataan itu melibatkan akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara serta didampingi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Sekarang dalam tahap evaluasi hasilnya," ujar Kepala BPKD Endang Widjajanti, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.
Hasil sementara sensus telah dilaporkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk diaudit. Total nilai aset pemerintah DKI sebelum audit Rp 405 triliun. Sebesar 51 persen aset—bernilai Rp 207 triliun—berupa tanah yang menyebar di seluruh penjuru Ibu Kota.
Bersamaan dengan sensus aset, pemerintah DKI juga mengajukan permohonan penerbitan sertifikat 130 bidang lahan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sejauh ini BPN sudah menerbitkan sertifikat baru untuk 63 bidang tanah milik pemerintah DKI.
Meski pemerintahan Jokowi-Ahok sudah tancap gas, menurut beberapa sumber Tempo, tanah milik pemerintah DKI yang bersertifikat sebenarnya tak lebih dari 30 persen. Tanah-tanah tanpa sertifikat itulah yang menjadi incaran jaringan mafia tanah di Ibu Kota. Bekerja sama dengan politikus dan orang di dalam pemerintahan, mereka menggugat tanah-tanah yang lemah dokumen kepemilikannya ke pengadilan. "Di luar memang banyak pihak yang mengincar aset daerah," kata Ahok. Khawatir informasi tanah dipakai sebagai senjata untuk menggugat, Ahok pun tak meladeni pertanyaan sang legislator.
Lepasnya lahan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat menjadi pelajaran pahit buat pemerintah DKI. Lewat putusan Mahkamah Agung pada 2006, lahan di Jalan S. Parman Nomor 2, Jakarta Barat, itu beralih tangan ke Yayasan Sawerigading, yang berkantor pusat di Kota Makassar.
Pemerintah DKI memperoleh lahan itu dari Yayasan Kongkoan pada 1972. Luas lahan keseluruhan sekitar 66.700 meter persegi. Lalu pemerintah DKI membagi-bagi peruntukan lahan, antara lain buat kantor wali kota, markas komando distrik militer, dan kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
Khusus untuk lahan kantor wali kota, seluas 11.765 meter, pemerintah DKI mengajukan sertifikat hak pakai ke Badan Pertanahan Nasional. Pada 1980, BPN menerbitkan sertifikat Nomor 411/Tomang untuk lahan kantor wali kota. Dua tahun kemudian, BPN menerbitkan sertifikat Nomor 412/Tomang untuk lahan kantor kejaksaan.
Pemerintah DKI mulai membangun kantor wali kota pada 1982. Ada tiga blok perkantoran setinggi enam lantai yang dibangun di sana. Ketika pembangunan sedang berjalan, seorang pengurus Yayasan Sawerigading, Profesor Nurudin Sjahadat, melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Sewaktu menggugat, Yayasan Sawerigading mengajukan bukti berupa surat pembebasan lahan dari penggarap lahan. Yayasan itu pun mengklaim sedang mengurus dokumen kepemilikan lahan ke BPN. Namun, pada 1988, Pengadilan Negeri mengalahkan Yayasan Sawerigading.
Pada 1995, Sawerigading kembali menggugat pemerintah DKI. Kali ini bukti yang mereka bawa antara lain surat keterangan dari Lurah Tomang pada 1989. Ki Lurah menyebutkan lahan itu milik Sawerigading. Tapi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi kembali memenangkan pemerintah DKI.
Pada 2002, Mahkamah Agung mengubah arah angin. Majelis kasasi memenangkan gugatan Sawerigading. Upaya pemerintah DKI mengajukan permohonan peninjauan kembali pun ditolak. Pada 2006, Mahkamah Agung malah menghukum pemerintah DKI membayar sewa tanah selama 29 tahun—sebesar Rp 40 miliar—ke Yayasan Sawerigading. "Bukti kami kuat, tapi kalah. Sepertinya ada mafia," ujar Ahok.
Nasib berbeda dialami Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Sama-sama digugat Sawerigading, dengan dalil dan dokumen yang sama, kejaksaan sempat kalah di tingkat kasasi dan diwajibkan membayar sewa Rp 9 miliar. Tapi permohonan peninjauan kembali oleh kejaksaan dikabulkan MA. Tanah seluas 2.000 meter persegi pun kembali ke pangkuan kejaksaan.
Kekalahan pemerintah DKI melawan Sawerigading ini tak lepas dari isu suap. Pada 2003 dan 2004, pengacara Sawerigading bernama Datika membuat dua pernyataan tertulis di kertas bermeterai. Surat pernyataan pertama bertanggal 28 Maret 2003. Dalam surat yang ditulis tangan itu, Datika menyebutkan dia pernah menemani Sudharma, Ketua Yayasan Sawerigading, untuk memberikan uang kepada seorang hakim agung yang menangani perkara mereka.
Pada surat kedua yang diketik komputer, bertanggal 24 April 2004, Datika bahkan menyebutkan uang sebesar Rp 500 juta diserahkan secara bertahap kepada hakim agung itu. Namun, pada 2007, Datika membuat surat yang menganulir kedua surat pernyataan dia.
Rabu pekan lalu, Tempo menelusuri alamat rumah Datika di Jalan Bratasena Raya, Reni Jaya, Pamulang, Tangerang Selatan. Ternyata rumah tipe 36 dengan dua garasi mobil itu telah berganti penghuni. Menurut para tetangga, Datika menjual rumah itu pada 2004. Tetangga tak tahu ke mana orang itu pindah.
Untuk meminta tanggapan Sudharma, Kamis pekan lalu Tempo pun mendatangi rumahnya di Jalan Pekapuran II, Tanah Sereal, Jakarta Barat. Tapi, di rumah berlantai dua itu, Tempo hanya menemui dua lelaki yang mengaku penjaga rumah dan anak Sudharma. Sejauh ini surat yang dititipkan Tempo kepada mereka belum ditanggapi Sudharma. Ketika kasus ini ramai diberitakan, kepada sejumlah wartawan, Sudharma pernah membantah menyuap hakim.
Dugaan suap kepada hakim agung itu pernah dilaporkan sejumlah pengacara dan tokoh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah seorang pengacara yang melapor, Sugeng Teguh Santosa, mengatakan pernyataan yang dibuat Datika bisa menjadi petunjuk untuk menguak dugaan mafia peradilan. "Meskipun surat itu dianulir, substansinya tak boleh diabaikan," kata Sugeng.
Laporan Sugeng dan kawan-kawan tak berlebihan. Modus merebut lahan pemerintah DKI dengan menyuap hakim terbukti dalam kasus sengketa lahan kebun bibit di Jalan Raya Lingkar Luar, Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Di atas lahan seluas 9,05 hektare itu, pemerintah DKI berseteru dengan PT Sabar Ganda, perusahaan milik pengusaha D.L. Sitorus.
Pemerintah DKI menuding PT Sabar Ganda menyerobot, menguruk, dan memagari lahan tanpa izin. Di tingkat kasasi, kasus ini dimenangi pemerintah DKI dan sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht). Tapi PT Sabar terus melawan. Mereka menggugat Kepala BPN Jakarta Barat, yang menerbitkan sertifikat hak guna usaha atas nama pemerintah DKI, ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada akhir Maret 2010, ketika proses di PTUN sedang berjalan, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap pengacara PT Sabar Ganda, Adner Sirait. Dia ditangkap ketika hendak menyuap Ibrahim, hakim di PTUN Jakarta, dengan uang tunai sebesar Rp 300 juta.
Gugatan atas lahan yang terdaftar sebagai aset pemerintah DKI tak hanya datang dari satu arah. Ketika pemerintah DKI bersengketa dengan pihak tertentu, bisa saja tiba-tiba muncul pihak lain yang menggugat tanah yang sama. Hal itu, misalnya, terjadi dalam kasus tanah di Pulo Mas, Jakarta Timur.
Sejak 1988, pemerintah DKI berebut lahan dengan keluarga ahli waris mantan wakil presiden Adam Malik. Pemerintah DKI, yang diwakili PT Pulo Mas Jaya, mengklaim sebagai pemilik sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2 Tahun 1964 atas lahan seluas 4 hektare—dari 25 hektare—di area Waduk Ria Rio itu. Sebaliknya, ahli waris Adam Malik mengklaim sebagai pemilik 5 hektare lahan di lokasi yang sama.
PT Pulo Mas telah memenangi perkara ini dari tingkat pengadilan negeri sampai peninjauan kembali di Mahkamah Agung pada 2002. Namun keluarga Adam Malik berencana menggugat kembali ke pengadilan. Pengacara keluarga Adam Malik, Ulung Purnama, mengatakan kliennya memiliki bukti baru berupa dokumen Eigendom (bukti kepemilikan lahan zaman Belanda) Nomor 5725 yang dibeli dari Njoo Seng Ho pada 1961. "Kami pun membayar pajak bumi dan bangunan sejak 1997 hingga 2007," ucap Ulung.
Ketika sengketa dua arah itu belum benar-benar padam, tiba-tiba muncul PT Bintang Unggul Jaya sebagai penggugat baru. PT Bintang Unggul mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 39,9 hektare, termasuk di dalamnya Waduk Ria Rio serta lahan yang diperebutkan Pulo Mas dengan keluarga Adam Malik.
Pengacara PT Bintang Unggul dari LBH Gedung Joang 1945, Suspa Rudiyanto, mengklaim kliennya telah diserahi pelepasan hak oleh ahli waris keluarga Siti Aminah. Buktinya berupa Akta Pelepasan Hak atas Tanah Nomor 06 Tanggal 25 September 2013. Akta itu dibuat di hadapan notaris Endah Sri Wahyuni, yang beralamat di Bogor. "Sifatnya rahasia," ujar Suspa.
Menurut Suspa, akta itu dibuat berdasarkan dokumen Eigendom Nomor 5243 atas nama Samoel de Meyyer. Dokumen eigendom atas lahan di Kampung Pedongkelan itu dimiliki W.L. Gerald Tugo Faber, bangsawan asal Jerman yang bekerja pada zaman Belanda. Faber menikahi dua perempuan—salah satunya Siti Aminah. Dari pernikahan dengan Aminah, Faber memiliki tiga anak.
Meski gugatan datang dari berbagai jurusan, menurut Wakil Gubernur Basuki, pemerintah DKI tak akan mundur selangkah pun. Pemerintah DKI akan mempertahankan semua tanah milik daerah, termasuk tanah yang belum bersertifikat. Tidak adanya sertifikat, kata dia, bukan alasan orang untuk seenaknya menggugat. "Monas saja tak bersertifikat. Apa itu juga mau digugat?" ujar Ahok. Sembari memperkuat dokumen lahan milik daerah, Ahok menyiapkan jurus khusus untuk menghalau para penyerobot. "Biar kapok, mereka akan saya laporkan secara pidana ke polisi," tuturnya.
Yuliawati, Muhammad Kurnianto, Ninis Chairunnisa, Dimas Siregar
Sengketa Lahan di Seluruh Penjuru Kota
Aset tanah DKI Jakarta menjadi incaran banyak pihak. Berdasarkan data 2013 yang belum diaudit, dari total aset Rp 405 triliun, sekitar Rp 271 triliun berupa tanah. Akibat lemahnya pendataan dan bukti hukum, banyak lahan milik pemerintah DKI yang "lepas" di pengadilan.
Jakarta Pusat
Pemerintah DKI menang
SMK 34 (semula STM Negeri 6) Jakarta di Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen. Luas: 3.018 meter persegi. Penggugat: PT Citra Kurnia Megah. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang, sudah berkekuatan hukum tetap.
Pemerintah DKI menang
Eks kantor Kelurahan Paseban di Jalan H. Murtadho, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen. Luas: 158 meter persegi. Penggugat: Yayasan Al Murtadho dan Achmad Fahmi. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang dan gugatan lain dalam proses.
Pemerintah DKI kalah
Lapangan bola di Jalan Danau Tondano, Kelurahan Bendungan Hilir, Kecamatan Tanah Abang. Luas: 6.125 meter persegi. Penggugat: Ihwati dkk. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan mengajukan permohonan banding.
Pemerintah DKI menang
Tempat penitipan anak dinas sosial di Kelurahan Petojo, Kecamatan Gambir. Luas: 1.052 meter persegi. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang dan kontra-kasasi.
Posisi hukum dalam proses
Lahan PT Bank DKI di Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng. Luas: 8.710 meter persegi. Penggugat: Achmad Budhi Patria dkk. Posisi hukum: Dalam proses di tingkat pertama.
Jakarta Barat
Pemerintah DKI kalah
Lahan di Kelurahan Meruya Selatan. Luas: 208.975 meter persegi.
Penggugat: PT Portanigra. Ada dua gugatan. Pertama, pemerintah DKI menang dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Kasus berkekuatan hukum tetap (in kracht). Gugatan kedua, pemerintah DKI kalah dari pengadilan negeri sampai MA. Sedang dalam proses peninjauan kembali.
Posisi hukum dalam proses
Kebun bibit di Jalan Raya Lingkar Luar, Kelurahan Cengkareng. Luas: 90.541,72 meter persegi. Penggugat: PT Sabar Ganda. Posisi hukum: Dua gugatan dengan hasil akhir di tingkat MA memenangkan pemerintah DKI.
Jakarta Utara
Pemerintah DKI menang
Taman BMW di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok. Luas: 265.339 meter persegi. Penggugat: Donald Guilamme Wolfe, Ny Umroh dkk, Ny Lim Kit Nio. Posisi hukum: DKI menang dan in kracht atas gugatan Donald serta masih dalam proses atas penggugat lainnya.
Posisi hukum dalam proses
Stadion olahraga di Kelurahan Rawabadak Selatan, Kecamatan Koja. Luas: 104.255 meter persegi. Penggugat: Ari Muhamad Sobari Hidayat Faber dkk. Posisi hukum: Dalam proses di tingkat pertama.
Jakarta Timur
Pemerintah DKI menang
Kawasan Perkampungan Industri Kecil Pulo Gadung di Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung. Luas: 4.500 meter persegi. Penggugat: Bentong bin Kusan, ahli waris Kusan bin Kesod.
Posisi kasus: Pemerintah DKI menang sampai MA. Kini tahap kontra-PK.
Pemerintah DKI kalah
Lapangan bola Kramat Jati di Jalan Raya Bogor, Kecamatan Kramat Jati. Luas: 7.200 meter persegi. Penggugat: Rosana alias Mulya Rosana. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah, sudah berkekuatan tetap.
Pemerintah DKI kalah
Tanah Dinas Kelautan di Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung. Luas: 2.430 meter persegi. Penggugat: Sondang Siagian Baringbing. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan proses kasasi.
Pemerintah DKI kalah
Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cilangkap, Kecamatan Cipayung. Luas: 8.592 meter persegi. Penggugat: H Naih bin Madjar. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan dalam proses kasasi.
Pemerintah DKI kalah
TPU Pondok Kelapa/Malaka di Kampung Rawadas RT 10 Rw 05, Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit. Luas: 3.203 meter persegi.
Penggugat: Deddy Mizwar.
Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan dalam proses kasasi.
Pemerintah DKI menang
Situ Rawa Rorotan di Kelurahan Cakung. Luas: 250 ribu meter persegi. Penggugat: Trimulyo Tjahyono Harsono. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang, kini dalam proses kasasi.
Pemerintah DKI menang
Dinas Pertamanan dan Pemakaman, RT 1 RW 4, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung. Luas: 34.302 meter persegi. Penggugat: Aang Rusmana. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang, berkekuatan hukum tetap.
Pemerintah DKI kalah
Tanah di Pulo Gadung di Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung. Luas: 2.960 meter persegi. Penggugat: Rodiyah dkk. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan mengajukan permohonan banding.
Posisi hukum dalam proses
Waduk Ria Rio dan lahan sekitar milik PT Pulo Mas Jaya di Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung. Luas: 399.721 meter persegi. Penggugat: PT Bintang Unggul Jaya. Posisi hukum: Dalam proses di pengadilan negeri.
Jakarta Selatan
Pemerintah DKI menang
Tanah kantor Kecamatan Cilandak dan Balai Kerajinan di Kampung Terogong antara Jalan Kartini dan Jalan T.B. Simatupang, Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak. Luas: 18.287 meter persegi. Penggugat: Ahmad Solihin, Samad bin Melin. Posisi hukum: Pemerintah DKI menang dan dalam proses kontra-kasasi.
Pemerintah DKI kalah
Dinas Kebersihan di Jalan Bintaro Puspita RT 9 RW 2, Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Pesanggrahan. Luas: 2.679 meter persegi. Penggugat: Mokh Soleh bin Damin. Posisi hukum: Pemerintah DKI kalah dan dalam proses kontra-kasasi.
Posisi hukum dalam proses
Tanah di Jalan Harsono, Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu. Luas: 182.050 meter persegi. Penggugat: Ari Muhamad Sobari Hidayat Faber. Posisi hukum: Dalam proses di tingkat pertama.
Posisi hukum dalam proses
Dinas Kelautan dan Pertanian di Kelurahan Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan. Luas: 6.611 meter persegi. Penggugat: ahli waris H Asmat. Posisi hukum: Dalam proses.
Posisi hukum dalam proses
Kantor Camat Pesanggrahan, Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Pesanggrahan. Luas: 4.020 meter persegi. Posisi hukum: Dalam proses.
Posisi hukum dalam proses
Gudang Satpol PP di Kampung Tanah Kusir, Kelurahan Kebayoran Lama, Kecamatan Kebayoran Lama. Luas: 2.700 meter persegi. Penggugat: R. Siti Robiyah. Posisi hukum: Dalam proses di tingkat pertama.
Modus Penguasaan Lahan
1. Menyasar lahan pemerintah yang status hukumnya masih lemah, misalnya belum bersertifikat. Informasi tentang status lahan diperoleh dari orang dalam pemerintah DKI, mantan pejabat, atau politikus.
2. Memanfaatkan ahli waris yang masih memegang dokumen "kuno" kepemilikan tanah, termasuk yang dikeluarkan zaman penjajahan Belanda, seperti bukti hak eigendom (hak milik), letter C, verponding (surat nomor tagihan pajak), dan girik.
3. Memalsukan dokumen lahan, seperti eigendom, girik, peta lahan, dan sertifikat.
4. Menggugat ke pengadilan. Agar menang, penggugat menyuap hakim dan panitera.
5. Melibatkan jaringan mafia tanah, pegawai pemerintah daerah, petugas Badan Pertanahan Nasional, politikus, hakim, dan panitera pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo