Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Crimea dan Separatisme di Indonesia

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arif Havas Oegroseno*

SIDANG Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 27 Maret lalu telah menerima Resolusi A/RES/68/262 tentang Integritas Teritorial Ukraina, yang menyatakan referendum Crimea merupakan suatu tindakan inkonstitusional dan ilegal. Indonesia beserta 100 negara anggota PBB lainnya, yang mendukung resolusi ini, meminta masyarakat internasional tidak mengakui perubahan Crimea. Konstitusi Ukraina menyatakan secara tegas bahwa perubahan wilayah Ukraina hanya dapat dilakukan melalui referendum yang melibatkan semua warga Ukraina.

Melalui resolusi ini, dunia kembali menekankan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, dan integritas wilayah dalam batas-batas wilayah yang diakui secara internasional.

Keutuhan wilayah adalah hal mendasar dalam kehidupan bernegara sehingga elemen-elemen ini biasanya diatur di dalam konstitusi. Kemungkinan pengubahan keutuhan wilayah terkadang juga diatur dalam konstitusi, seperti konstitusi Ukraina, yang kewenangannya selalu diserahkan kepada suara rakyat dan kedaulatan bangsa melalui parlemen nasional. Mahkamah konstitusi juga berperan dalam hal ini.

Mahkamah Konstitusi Spanyol, misalnya, pada 25 Maret 2014 menyatakan Deklarasi Pemisahan Catalonia dari Spanyol yang dibuat parlemen Catalonia pada 2013 tidak sah dan inkonstitusional. Mahkamah Konstitusi Spanyol juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat memecahkan prinsip kesatuan bangsa Spanyol.

Sementara itu, di Inggris, sesuai dengan penyerahan kewenangan oleh parlemen Inggris kepada parlemen Skotlandia untuk melakukan referendum kemerdekaan serta Perjanjian antara Pemerintah Inggris dan Skotlandia 2012, warga Skotlandia akan melakukan referendum kemerdekaan pada September 2014. Referendum Skotlandia tidak datang tiba-tiba, tapi melalui keputusan konstitusional.

Undang-Undang Dasar 1945 dan amendemennya mengatur kesatuan wilayah Indonesia dengan berbagai rumusan, yakni "bersatu", "persatuan", dan "kesatuan", yang menunjukkan bahwa secara konstitusional tidak ada ruang dalam pelaksanaan bernegara di Indonesia untuk mengurangi integritas teritorial. UUD 1945 juga secara tegas mendefinisikan wilayah Indonesia sesuai dengan Pasal 25A: "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan UU."

Kesatuan wilayah Indonesia yang diproklamasikan Indonesia adalah sesuai dengan doktrin hukum internasional uti possidetis juris: negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas wilayah yang sama dengan batas wilayah kekuatan kolonial sebelumnya. ICJ dalam keputusan Burkina Faso/Mali menegaskan, "Uti possidetis juris applies to the new State immediately and from moment onwards. It applies to the State as it is, i.e. to the photograph of the territorial situation then existing. The principle uti possidetis freezes the territorial title; it stops the clock and does not put back the hand."

Anggapan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia sejak 1945 adalah salah karena Konstitusi Belanda 1922, yang diamendemen pada 1948 dan ditegaskan Belanda di PBB pada 1949, menyatakan, "Indonesia consists of a series of island groups in the region of the equator extending from the mainland Asia to Australia. The principal groups are the Greater Sunda Islands, the Moluccas and New Guinea, west of 141 degrees east longitude."

Diperkuat oleh "Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian)" yang diratifikasi parlemen demokratis Indonesia dan Belanda serta diperkuat oleh Resolusi Sidang Majelis Umum PBB 2504 (XXIV) dan sejumlah perjanjian perbatasan internasional di Kalimantan, Timor, dan Papua yang diakui hukum internasional, kesatuan wilayah Indonesia yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah tegas dan kuat.

Selain itu, Perjanjian Kerangka Kerja Sama Keamanan Indonesia-Australia 2006 dan Perjanjian Kerja Sama dan Kemitraan Komprehensif Indonesia-Uni Eropa 2009, yang telah ditandatangani 27 negara Uni Eropa dan diratifikasi parlemen Eropa pada 2014, memberikan tanggung jawab hukum kepada para pihak untuk menghormati integritas teritorial tiap pihak.

Secara regional, ASEAN TAC 1967 juga mengatur secara jelas penghormatan atas keutuhan wilayah negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Lima belas negara non-ASEAN dan satu organisasi regional, Uni Eropa, telah melakukan aksesi terhadap ASEAN TAC.

Namun upaya manuver politik dengan mengajukan ancaman untuk merdeka apabila suatu kepentingan tertentu tidak diluluskan pemerintah pusat ternyata masih sering dilakukan di Indonesia. Fenomena ini bukan hal baru. Hal ini telah dianalisis oleh Profesor Cass. R. Sunstein, alumnus dan guru besar Harvard Law School, yang akhirnya berkesimpulan bahwa konstitusi negara sewajarnya tidak memberikan ruang kepada upaya untuk melakukan pemisahan atau secession karena pada prakteknya akan menciptakan ancaman merdeka atau pemisahan sebagai suatu alat tawar dan bahkan political blackmail.

Ia berpandangan hal ini merupakan pelanggaran prinsip democratic constitutionalism, karena membuat sebagian elemen bangsa menjadi malas bekerja keras dalam melaksanakan konstitusi dan justru malah melakukan jalan pintas menggunakan ancaman merdeka sebagai strategi politik.

Karena itu, dalam suasana dunia yang menentang referendum merdeka secara unilateral dan inkonstitusional serta pada saat yang sama ada jaminan hukum internasional yang solid terhadap keutuhan NKRI, untuk semakin memperkukuh keutuhan wilayah Indonesia, kiranya Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca-pemilu 9 April 2014 perlu mempertimbangkan melakukan Perubahan Kelima UUD 1945 dengan memasukkan ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas penolakan terhadap upaya pemisahan wilayah atau secession atau separatisme dari NKRI.

Selain itu, parlemen kita perlu mempelajari kemungkinan penggolongan tindakan separatisme ke dalam tindak pidana terorisme, seperti yang terjadi di Uni Eropa saat ini. Dalam laporan Europol 2013, Uni Eropa secara total telah memenjarakan 257 orang atas tuduhan separatis teroris. Bahkan Ukraina telah menangkap 70 anggota kelompok separatis di Ukraina Timur atas tuduhan terorisme. Apabila demokrasi Uni Eropa yang lebih tua daripada demokrasi kita dapat mengkategorikan separatisme sebagai terorisme, tentunya kita juga bisa.

*) Alumnus Harvard Law School 92

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus