Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Ringan Hakim Sejawat

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang memvonis dua hakim masing-masing hanya lima tahun penjara. Masih ada rasa segan dalam memvonis sesama hakim.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk berjam-jam di ruang pengadilan bukan perkara asing untuk Asmadinata. Itu telah menjadi rutinitasnya sejak dia menjadi pengacara sampai menjabat hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang.

Selasa pekan lalu, Asmadinata muncul di pengadilan. Namun kali ini bukan sebagai hakim—jabatan yang dipegangnya setelah ia lolos tes sebagai hakim tindak pidana korupsi—melainkan terdakwa. Hari itu, duduk di kursi terdakwa, Asmadinata mendengarkan majelis hakim yang membacakan putusan untuk dirinya.

Di akhir sidang, setelah hakim mengetukkan palu, Asmadinata tertunduk lesu. Majelis hakim menghukum dia lima tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Jika Asmadinata tak membayar denda, hukumannya ditambah dua bulan kurungan. "Saya masih pikir-pikir, yang mulia," kata Asmadinata ketika ditanya apakah akan naik banding atau tidak atas putusan itu. Tanggapan senada disampaikan tim jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kasus yang menyeret Asmadinata ke balik bui bermula pada 17 Agustus 2012. Selepas upacara ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-67, sepuluh penyidik KPK mencokok dua hakim tipikor, Kartini Juliana Mandalena Marpaung dan Heru Kusbandono. Keduanya ditangkap saat melakukan transaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang. Selain menyita mobil Heru dan Kartini yang dipakai bertransaksi, KPK merampas duit suap Rp 150 juta di dalam tas kertas cokelat.

Kartini adalah hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang. Adapun Heru hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak yang pernah menjadi pengacara di Semarang. Heru diduga menjadi makelar perkara sekaligus kurir yang mengantar uang ke Kartini.

Dua jam sebelumnya, penyidik meringkus Sri Dartuti di dekat Bank BCA Kota Semarang. Sri adalah adik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan Muhammad Yaeni. Sri ditangkap tak lama setelah menyerahkan uang suap kepada Heru untuk diantar ke Kartini. KPK menduga duit dari anggota DPRD Grobogan itu untuk menyogok majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang agar memvonis bebas Yaeni. Ketua DPRD nonaktif itu menjadi tersangka perkara korupsi pemeliharaan mobil dinas pada 2006-2008 senilai Rp 1,9 miliar.

Di samping Kartini, hakim perkara Yaeni adalah Pragsono dan Asmadinata. Pragsono menjadi ketua majelis perkara menggantikan Lilik Nuraini, yang dipindahkan ke Pengadilan Negeri Tondano, Sulawesi Utara karena kasus pelanggaran kode etik lantaran kerap membebaskan terdakwa korupsi di Semarang.

Setelah penangkapan Kartini, Pragsono pernah mendatangi Mahkamah Agung. Dia mengaku bersalah di depan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan sejumlah ketua muda MA. Pragsono mengaku sebagai hakim yang pertama kali bertemu dengan Heru guna "mengatur" perkara Yaeni. Petinggi MA semakin dibuat geleng-geleng ketika Pragsono mengaku pernah memprotes jumlah duit suap yang awalnya hanya Rp 100 juta. Karena protes itu, Heru menaikkan angkanya menjadi Rp 150 juta.

Pada Mei 2013, Pengadilan Tipikor Semarang memvonis Kartini delapan tahun penjara. Adapun Heru dihukum enam tahun kurungan. Di tingkat kasasi, hukuman untuk Kartini bertambah menjadi sepuluh tahun penjara. Adapun Heru, ketika banding, hukumannya naik menjadi delapan tahun penjara.

Majelis perkara kasus Yaeni yang tersisa langsung tampil garang. Majelis yang dipimpin Pragsono memvonis Yaeni 2 tahun 6 bulan penjara. Toh, vonis atas Yaeni itu tak menghapus jejak hitam dan hukuman bagi Pragsono dan Asmadinata. Keduanya dimutasi ke daerah dan tak boleh mengadili perkara. Asmadinata dimutasi ke Pengadilan Tipikor Palu, Sulawesi Tengah. Adapun Pragsono dimutasi jadi hakim "non-palu" di Pengadilan Tinggi Sumatera Barat.

Akhirnya Asmadinata pun ditahan KPK pada September 2013 setelah beberapa kali mangkir dari pemeriksaan. Adapun Pragsono ditahan tiga bulan kemudian.

Di Pengadilan Tipikor Semarang, jaksa KPK menuntut Pragsono dan Asmadinata dihukum sebelas tahun penjara. Yang berbeda, Asmadinata dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider lima bulan kurungan. Sedangkan Pragsono dituntut membayar denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.

Berkas tuntutan jaksa menyebutkan Asmadinata dua kali bertemu dengan Heru dan Kartini di luar sidang untuk membahas kasus Yaeni. Pertemuan pertama berlangsung pada 8 Mei 2012 di Restoran Gama Candi, Semarang. Waktu itu Asmadinata menyanggupi permintaan Heru untuk memutus bebas Yaeni. Pertemuan kedua berlangsung di Hotel Agas, Solo. Kali ini Asmadinata kembali menyatakan akan membebaskan Yaeni dengan memanfaatkan keterangan saksi yang meringankan. Namun, bila ketua majelis hakim tak berani memutus bebas, Yaeni dijanjikan akan diputus ringan.

Semua janji itu tentu saja ada ongkosnya. Tarif suap yang disepakati untuk vonis bebas Rp 500 juta. Duit itu rencananya akan dibagikan kepada semua anggota majelis hakim. Jika vonis ringan, tarifnya Rp 100 juta untuk setiap anggota majelis. Akhirnya, pilihan kedua yang disepakati.

Selain meminta uang suap, Asmadinata dan Kartini meminta tambahan dana Rp 36 juta untuk melobi Mahkamah Agung. Sewaktu mengadili kasus Yaeni, Kartini dan Asmadinata rupanya sudah mendengar kabar bahwa mereka akan dimutasi ke pengadilan tipikor lain. Permintaan "uang lobi" itu menjadi alasan jaksa menuntut denda lebih besar kepada Asmadinata. Adapun Pragsono dianggap tak terlibat permintaan uang lobi itu.

Pada 8 April lalu, Pengadilan Tipikor Semarang memutus Pragsono bersalah dan menghukum dia lima tahun penjara. Dia juga dihukum denda Rp 200 juta atau tiga bulan kurungan tambahan. Ketua majelis hakim perkara itu, Mariyana, menyatakan Pragsono terbukti melakukan korupsi bersama-sama dengan hakim lainnya.

Selasa pekan lalu, Pengadilan Tipikor Semarang juga memvonis Asmadinata bersalah dan menghukum dia lima tahun penjara. Asmadinata dihukum denda Rp 200 juta atau menjalani hukuman tambahan dua bulan penjara. Perkara Asmadinata diadili majelis hakim lain, yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto.

Menurut kedua majelis hakim, Asmadinata dan Pragsono terbukti bersama-sama menerima hadiah atau janji untuk mengatur vonis perkara Yaeni. Kedua bekas hakim itu dianggap melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Vonis lima tahun yang dijatuhkan hakim itu tak hanya jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa. Vonis itu nyaris di ambang batas minimal hukuman menurut pasal 12 huruf c. Menurut pasal itu, hakim penerima hadiah atau janji terkait dengan perkara yang mereka tangani dihukum minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara, atau bahkan penjara seumur hidup. Dendanya pun bisa sampai Rp 1 miliar.

Putusan lima tahun ini membuat banyak aktivis antikorupsi kecewa. Eko Haryanto, Sekretaris Komite Penyelidik dan Pemberantasan KKN Semarang, menilai putusan majelis hakim atas Asmadinata dan Pragsono itu terlalu ringan. "Kesan yang muncul, masih ada rasa segan memberi vonis berat bagi sesama hakim," kata Eko.

Sebaliknya, penasihat hukum Asmadinata, Susilowati, menganggap hukuman kliennya terlalu berat. Susilowati berkukuh Asmadinata tak terlibat langsung dalam pembicaraan suap dan upaya merekayasa hukuman. "Duit yang dijanjikan pun belum diterima," ujar Susilowati

Kepada Tempo, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan masih menunggu laporan ada-tidaknya "sesuatu" di balik vonis ringan untuk Asmadinata dan Pragsono. "Kalau ada temuan mencurigakan, pasti ditindaklanjuti," ujarnya.

Suparman menyatakan komisinya sudah mengantisipasi kemungkinan ewuh pakewuh antara hakim dan terdakwa yang pernah menjadi teman sejawat itu. Karena itu, Komisi Yudisial, menurut Suparman, pernah mengusulkan perkara Asmadinata dan kawan-kawan disidangkan di Pengadilan Antikorupsi Jakarta. Kalaupun disidangkan di Semarang, Komisi Yudisial mengusulkan hakimnya dari Jakarta. Usul Komisi Yudisial itu tak digubris pihak pengadilan. "Di tingkat banding atau kasasi, siapa tahu nanti hukumannya diperberat," kata Suparman.

Jajang Jamaludin (Jakarta), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus