Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggodam

Persatuan wredatama indonesia dan berbagai organisasi wanita mengusulkan agar pemerkosa dihukum mati atau seumur hidup. vonis hakim dituding terlalu ringan.amarullah & j.e.sahetapi memberi tanggapan.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menggodam "Pemetik Bunga" Pemerkosa diusulkan agar dihukum mati. Vonis hakim dituding sebagai penyebabnya. Bagaimana dalam KUHP baru? PERKOSAAN tiba-tiba seakan-akan mengancam wanita mana saja, tak peduli di kota atau di desa. Hampir setiap hari, cerita kejahatan menakutkan itu menghiasi media massa kita. Ketakutan kaum wanita itu semakin memuncak setelah polisi mengumumkan bahwa setiap hari terjadi lima kasus perkosaan di Indonesia. Tak mengherankan bila tiba-tiba santer tuntutan agar makhluk "pemetik bunga" perlu dibikin jera dengan hukuman berat. "Mengingat trauma perkosaan bagi korban bisa terasa seumur hidup, kami mengusulkan agar pemerkosa dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup," kata Nyonya K. Soebekti, juru bicara Persatuan Wredatama Indonesia. Usul organisasi itu, yang juga didukung berbagai organisasi wanita lainnya yang tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani) -- seperti Wirawati Catur Panca, Kerukunan Wanita Persahi -- mencuat dalam acara tanya jawab dengan Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada Musyawarah Kerja I Kowani di Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Ismail Saleh, yang membawakan makalah "Keluarga Sadar Hukum" di acara musyawarah kerja itu, mencatat usul itu sebagai masukan berharga. Hanya saja, tambahnya, perlu diteliti secara saksama apakah hukuman berat itu memang benar-benar sudah tuntutan rasa keadilan dari masyarakat. Belum jelas, bagaimana tindak lanjut Menteri Kehakiman dalam soal itu. Para anggota Kowani sendiri mengaku bahwa usul mereka itu tak berangkat dari sebuah penelitian. Ketua Persatuan Wredatama Indonesia, Nyonya Endang Sulbi Suska, mengaku melihat meningkatnya kasus perkosaan, baik kuantitas maupun kualitas, hanya dari berita-berita media. Tapi pihak kepolisian pernah menggambarkan "kegawatan" kejahatan yang saat ini. Setiap hari, dalam catatan polisi, rata-rata terjadi lima perkosaan di Indonesia. Sebagian dari korban ternyata masih di bawah umur. Tentu ini belum termasuk dark number, misalnya karena korban malu, kasus itu tak dilaporkan ke polisi. Para korban, kata Nyonya Endang, bukan hanya menderita fisik, tapi juga jiwa. Bahkan mungkin korban mengalami trauma sepanjang hidup. Sementara itu, si pelaku sesampainya di pengadilan cuma divonis ringan. "Itukan kebangetan sekali," ujar sekjen DPA di masa Wilopo itu. Berdasarkan itu, Kowani mengusulkan agar KUHP -- menyangkut ancaman hukuman pemerkosa -- segera diubah. Dengan kata lain, para pemerkosa tadi diancam hukuman mati atau seumur hidup, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Pakistan, Cina, dan Filipina. Apa yang diutarakan kaum hawa itu agaknya tak berlebihan. Selama ini, dari pengadilan memang sering terdengar bahwa vonis untuk pemerkosa cuma 1 sampai 2 tahun penjara. Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengancam si pemerkosa maksimum 12 tahun penjara (pasal 285 KUHP). Contoh terbaru terjadi Kamis pekan lalu, di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara. Seorang guru SMP di situ, Luhut Simangunsong, hanya diganjar 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 6 bulan. Padahal, ia terbukti "menggauli" dua gadis cilik di bawah umur. Begitu juga seorang guru agama di Medan, Rusman, yang hanya divonis 10 bulan penjara karena "menggagahi" muridnya yang baru berusia 8 tahun. Untuk mengatasi masalah itu, ahli hukum pidana, Prof. Oemar Senoadji, mengusulkan agar kasus perkosaan ditangani polisi, jaksa, dan hakim wanita Sebab, "Wanita lebih tajam perasaannya dalam menangani kasus itu," kata Oemar. Menurut bekas ketua Mahkamah Agung itu, sebetulnya hakim bisa saja menjatuhkan vonis tinggi. Yakni dengan pertimbangan faktor korban (victimology), unsur kekerasan dalam kasus perkosaan itu. Sementara itu, terhadap korban, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, Jepang, Belanda, dan Australia, bisa diberikan ganti rugi oleh negara. Adapun soal hukuman maksimum, yang diusulkan Kowani, kata Oemar, itu sudah menyangkut politik perundang-undangan. "Biarlah pemerintah dan DPR yang menyelesaikan dan mengujinya, apakah tuntutan itu memang sudah merupakan pandangan masyarakat," kata Oemar. Sekjen organisasi hakim (Ikahi), Amarullah Salim, setuju-setuju saja dengan usul Kowani itu. Tapi, katanya, jangan semata-mata mengaitkan tingginya angka kasus perkosaan dengan keputusan hakim. "Jangan menyamaratakan adil-tidaknya berbagai keputusan hakim, yang sifatnya kasuistis," kata Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu. Kecuali itu, ujar Amarullah lagi, di persidangan kenyataannya sulit sekali membuktikan kasus perkosaan murni. "Bisa saja terbukti mau sama mau, atau pelaku dan korban sudah kenal. Jika mereka belum kenal, korban masih di bawah umur, atau korban juga dibunuh, hukumannya bisa diperberat dengan adanya delik kekerasan itu," kata Amarullah. Lebih keras lagi tanggapan guru besar hukum pidana Universitas Airlangga, Prof. J.E. Sahetapy. Menurut Sahetapy, apa yang diungkapkan Kowani itu hanya berdasarkan dugaan semata-mata. Sampai kini, katanya, belum ada penelitian yang akurat untuk masalah perkosaan dan vonisnya. Begitu pula usul hukuman mati, kata Sahetapy, agaknya cuma bersifat dendam belaka. Lagi pula, ancaman hukuman tinggi belum tentu bisa menghapuskan ataupun meredam tingkat kejahatan perkosaan. Sahetapy sendiri lebih cenderung pada hukuman lebih berat -- bukan hukuman mati. Sebab, dengan hukuman yang lebih panjang, faktor pembinaan terhadap si terhukum bisa lebih lama. Agaknya, harapan organisasi-organisasi di bawah Kowani itu masih akan jauh dari kenyataan. Sebab, menurut Sahetapy, yang menjadi anggota tim penyusun KUHP baru -- sedang digodok BPHN -- dalam KUHP baru ancaman hukuman maksimum terhadap pemerkosa masih tetap dipertahankan 12 tahun penjara. Hanya saja, dalam KUHP baru itu ada ancaman hukuman minimum -- hal yang sebelumnya tak pernah ada. Happy S., Ardian T.G. (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Sarluhut Napitupulu (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus