KREDIT Panin Bank memercikkan bunga perkara. Pekan lalu, 11 penerima kredit profesi (7 dokter dan 4 apoteker), digugat Panin Bank, lewat Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka bandel tak mengangsur pinjamannya. Langkah ini, baru gebrakan awal Panin Bank Surabaya. Panin menyebutnya shocking therapy. Tujuannya, agar nasabah lain sadar. Tercatat sudah 60 debitur tak bisa mengembalikan pinjamannya. "Kami terpaksa mengajukannya ke Pengadilan karena mereka sudah tak menggubris lagi peringatan-peringatan Bank," tutur Edy Sulivan, kuasa hukum Panin Bank. Panin Bank telah menyalurkan kredit profesi sekitar Rp 2 milyar kepada 236 pekerja profesional, antara lain dokter, apoteker, notaris, dan dosen. Kreditnya Rp 10 juta - Rp 20 juta dengan bunga 2,75% per bulan. Dalam akta perjanjian disepakati bahwa jika debitur menunggak, pihak bank berhak mendenda bunga 4% per bulan dari jumlah tunggakan. Menurut Direktur Panin Bank, Johnny N. Wiraatmaja, kredit profesi diperkenalkan pada tahun 1988. Saat itu bank sedang jor-joran berlomba meluncurkan produk baru untuk menarik minat nasabah. Di tengah persaingan ketat dunia perbankan itulah, Panin memperkenalkan kredit profesi. Kredit itu bisa diperoleh dengan cara sangat mudah. Pemohon tak dibebani persyaratan menyertakan agunan sebagaimana layaknya pengajuan kredit. Yang menjadi agunan profesinya. Syarat lain, mereka hanya diminta menyerahkan ijazahnya dan surat rekomendasi dari organisasi profesi atau atasan. Kalau dokter, harus ada rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sementara untuk dosen dari atasan. Barangkali karena persyarata yang ringan itu Panin Bank diserbu pemohon kredit. Menurut Edy Sulivan, tadinya ada upaya melibatkan organisasi profesi yang dulu merekomendasikan anggota. Tapi ternyata, organisasi profesi juga tak bisa apa-apa. Maka, Edy bertekad menggebrak seluruh penunggak lewat Pengadilan. Yang diminta dalam gugatan ini, penunggak menyerahkan agunan (peralatan yang dibeli dengan kredit). Jika tak mau, penggugat akan minta pada Pengadilan menyita harta milik penunggak sebagai jaminan. "Karena ini hubungan bisnis, apa boleh buat, kami harus tegas," ujar Edy. Para penunggak, menurut Edy, mengaku tak mampu mengangsur, karena penghasilannya dari praktek dokter, atau buka apotek, tak cukup. Tapi menurut Edy, tak semua penunggak jujur menggunakan kredit untuk keperluan profesinya. Ia menunjuk salah seorang tergugat, dr. Lukito (bukan nama sebenarnya), yang sudah lama tak berpraktek sebagai dokter. Saat TEMPO berkunjung ke rumah dokter itu di kawasan Darmo Permai, Surabaya, Lukito sedang berada di luar kota, menggarap proyek bangunan. Memang tak ada lagi papan praktek dokter. Istrinya mengakui bahwa sudah lama Lukito meninggalkan profesi dokter karena asyik menjadi kontraktor."Kami bukannya tak mau bayar. Saat ini keuangan kami sedang kalut, jadi terpaksa belum bisa mengangsur," jawab sang istri. Seorang dokter spesialis yang digugat menyatakan bahwa pihak Panin terlalu kaku dan asal gugat. Ia katanya, mula-mula rajin membayar bunga Rp 600.000 tiap bulan. Tapi, catatan bank menunjukkan pinjamannya yang Rp 20 juta membengkak menjadi Rp 28,8 juta. Pengembalian pun lalu macet. Ia berterus terang bahwa seretnya pengembalian kredit memang karena sepinya pasien. Ketua IDI Cabang Surabaya, dr. H. Soeroto, menyatakan bahwa organisasinya tak bisa berbuat apa-apa menghadapi anggotanya yang menunggak. Secara moral diakui, IDI ikut bertanggung jawab. IDI berkali-kali ikut menegur anggotanya. Tapi,"Yang bisa dilakukan hanya sebatas itu," kata Soeroto. Sebenarnya tak cuma Panin yang kena "kemplang" nasabah gara-gara kredit gampangan. Bank BNI malah lebih parah. Pada 1981, Bank pemerintah itu mengeluarkan paket yang disebut Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Hingga KMI dihentikan pada 1989 -- akibat cicilan macet -- BNI sudah menyalurkan Rp 64 milyar kepada 85.000 mahasiswa. Persyaratan kredit mashasiswa itu pun sangat longgar. Mahasiswa hanya diwajibkan menyerahkan salinan ijazah sarjananya jika lulus. Dengan masa tenggang dua tahun (setelah lulus) dan beban bunga 0,5% per bulan, penerima kredit terkena kewajiban mencicil sekitar Rp 10.000 sebulan, selama 10 tahun. Seorang pejabat bagian kredit BNI mengemukakan kepada TEMPO, dari jumlah kredit yang disalurkan, hanya sekitar 10% yang melunasi utangnya. Sementara sisanya, sampai kini belum jelas nasibnya. Apakah Bank BNI akan mengikuti jejak Panin Bank? "Belum terpikirkan," jawab pejabat BNI tadi. "Jumlah penunggaknya ribuan. Jadi akan makan waktu, dan mahal. Padahal, kredit per kasus hanya 750 ribu rupiah." Jadi untuk sementara BNI hanya bisa mengeluarkan terus surat-surat peringatan. Sebuah sumber TEMPO di BNI berpendapat bahwa persyaratan kredit profesi dan kredit mahasiswa memang terlalu longgar. Paling tidak, sebagai jaminan kredit seharusnya ijazah asli yang diserahkan, bukan sekadar salinan. Apakah kaum profesional tidak lagi bisa dipercaya? Mungkin. Aries Margono, Iwan Qodar dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini