BUPATI Tapanuli Utara, Gustav Sinaga, yang dianggap sukses membangun daerahnya, dan bahkan, awal Agustus lalu, diminta DPRD setempat untuk kembali memimpin daerah itu, kini digugat rakyatnya. Dua belas orang penduduk Hutaginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, mewakili marga Simaremare, menuntut ganti rugi Rp 1 milyar karena tanah marga mereka, katanya, diambil pemerintah secara tidak sah. Gugatan itu bermula dari niat luhur Yayasan Asih Nehemia (YAN) Jakarta untuk membeli tanah di Hutaginjang itu, pada Agustus 1987. Di atas tanah di pinggir Danau Toba itu, YAN merencanakan akan membangun perguruan tinggi dengan enam buah fakultas. Semula empat marga, Ompusunggu, Rajagukguk, Siregar, dan Simaremare, mengangguk setuju melepaskan tanah ulayat mereka seluas 171,47 hektar untuk rencana mulia itu. Harganya pun supermurah, hanya Rp 35 per meter. Maklum, transaksinya bukanlah bisnis ala kota, tapi melalui pago-pago, suatu cara ganti rugi menurut adat Batak, yang lebih bersifat kekeluargaan. Hanya saja marga Simaremare memberi syarat untuk menyetujui penyerahan tanah ulayat itu: asal saja YAN bersedia memasukkan listrik dan air minum ke desa itu. YAN tak menyanggupinya. Sebab itu, marga Simaremare menolak rencana itu. Buntutnya, Ketua Umum YAN itu, K.M. Sinaga, turun ke Hutaginjang bersama Bupati Gustav dan Ketua DPRD, Firman Sianturi. Saat itulah Bupati mengklaim tanah ulayat itu harus digunakan untuk kepentingan pembangunan. "Jika rencana itu macet, kau akan, dicopot," begitu ancaman Firman, kepada kepala desa M.T. Rajagukguk. Kepala Kantor Sosial Politik Tapanuli Utara, Mariden Aritonang, kata penduduk, bahkan menakut-nakuti penduduk agar jangan ada yang coba-coba anti pada pembangunan itu. Begitulah, tanpa halangan berarti, pada 24 Oktober 1987, tanah adat seluas 171,47 hektar itu berpindah ke tangan YAN, termasuk 25 hektar milik marga Simaremare. Pembayaran ganti ruginya untuk marga Simaremare, melalui orang-orang yang dianggap mewakili marga itu, sebesar Rp 8,75 juta, berlangsung di kantor Gustav. Ganti rugi untuk marga lain sedang diproses. Transaksi itulah yang membikin marga Simaremare berang. Selain karena harganya kelewat murah, mereka menuduh upacara pago-pago itu tidak sah. Pasalnya, Saudara Simaremare dan Ompu Dimpos Simaremare, dua orang warga Simaremare, yang hadir di upacara itu, dinilai orang semarganya telah menyerahkan tanah itu tanpa mufakat marga. Sebab itu, selain menggugat Gustav, Firman, Mariden, dan K.M. Sinaga, penduduk juga menggugat kedua orang warga Simaremare itu ke meja hijau. Gustav ternyata kalem saja menghadapi gugatan itu. Ia hanya mengaku membujuk rakyat Hutaginjang agar mau melepas tanah adat itu. "Dan mereka ikhlas tanpa intimidasi," katanya pada TEMPO. Firman juga menyangkal main teror. Campur tangannya bersama Mariden dalam kasus itu, katanya, bukan sebagai pejabat tapi lebih bersifat pribadi. Maklum, Gustav memang masih menantu kandung dari pemuka adat Hutaginjang, sementara Mariden bahkan adalah putra Hutaginjang asli. Sebenarnya, sebelum perkara dibawa ke pengadilan Gubernur Sumatera Utara, Kaharuddin Nasution, pada 8 Desember 1987, pernah mengeluarkan keputusan yang isinya membatalkan pengalihan hak atas tanah itu. Tapi keputusan atasannya itu dinilainya bisa merepotkan. Ia khawatir marga lain, yang telah menerima pago-pago untuk proyek pembangunan lain, ikut-ikutan menuntut pembatalan. "Kalau saya melaksanakan keputusan itu, saya khawatir jadi preseden buruk," ujarnya. Alasannya itu memang masuk akal. Sebab, daerah Tapanuli Utara, selama ini, boleh disebut sebagai daerah yang paling gampang menyediakan tanah untuk proyek pembangunan. Menurut Gustav, hampir 90% dari lokasi pembangunan di daerah itu diproses lewatpago-pago. "Kalau saya dipaksa membatalkan pago-pago di Hutaginjang itu, nanti rakyat saya jadi materialistis," katanya. Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini