DRS. Jusuf Merukh, 54 tahun, tokoh senior PDI dan anggota DPR, belakangan ini lebih banyak berurusan di pengadilan ketimbang di parlemen. Belum selesai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengurus gugatannya terhadap Ketua Umum DPP PDI Soerjadi dan Sekjen Nico Daryanto -- yang memecatnya dari PDI kini di pengadilan yang sama, ia menggugat pula bekas mitra kerjanya dalam bisnis tambang emas, Theodor Hinrich Dickmann. Merukh, direktur utama empat perusahaan pertambangan, di antaranya PT Mabuli Raya, pada 31 Agustus 1984 membuat perjanjian kerja sama dengan warga negara Jerman, Dickmann. Menurut pengacara Merukh, Sudjaan Hasibuan, mereka sepakat menggarap bisnis pencarian bahan galian emas, intan, perak, dan mineral ikutannya di Kalimantan Tengah. Merukh memang sudah 10 tahun lebih menggeluti bisnis pertambangan, sementara Dickman, 47 tahun adalah pakar batu mulia dan permata dari Jerman. Dalam perjanjian disebutkan, Dickmann akan menyediakan dana sebagai pinjaman US$ 3 juta untuk biaya penambangan. Sebaliknya Merukh harus menyerahkan 75% saham di empat perusahaan itu kepada Dickmann. Dari sejumlah saham ini, sekitar 50% diperuntukkan bagi calon istri Dickmann, Sri Widji Julianti. Nona Widji ini, 28 tahun, dalam perjanjian juga ditentukan menjadi direktur keempat perseroan tadi. Tapi sampai November 1987, Dickmann tak juga memenuhi janji itu. "Lebih dari tiga tahun, ia sengaja menggantung kelangsungan proyek pertambangan itu, sehingga Merukh kehilangan keuntungan," kata Sudjaan Hasibuan: Itu sebabnya Merukh menuntut keuntungan yang tak dapat diraih itu sebesar US$ 15 juta kepada Dickmann. Padahal, kewajiban pihak Merukh telah dipenuhi. Dan selama menanti bantuan Dickmann itu, Merukh terpaksa memperbarui izin eksploitasi dari Departemen Pertambangan dan Energi. Sebab, izin lamanya, Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi, yang diperoleh pada Desember 1983 dan April 1984, hanya berlaku dua tahun. Merukh juga pernah memperingatkan Dickmann, lewat teleks tanggal 12 Februari 1987, apabila sampai tanggal 28 Februari 1987 Dickmann tidak bisa menyediakan dana US$ 50 ribu untuk melaksanakan proyek eskploitasi itu, pihaknya akan mencan pemodal lain. Selain menuntut keuntungan yang lenyap itu, Merukh juga menuntut ganti rugi US$ 20 juta kepada Dickmann dan Nona Widji. Sebab, setelah November 1987, Dickmann dan Widji dituduhnya berupaya menguasai keempat perusahaannya. Mereka, katanya, dengan mengaku selaku general manager dan direktur keempat perusahaan mengadakan hubungan dengan pihak lain. Padahal, sebelumnya, tambah Sudjaan, jabatan itu telah dicopot dari kedua orang itu. Tapi Dickmann, melalui kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin dan Subani, membantah tuduhan Merukh itu. Pinjaman itu, kata mereka, tak kunjung diberikan Dickmann karena sampai kini belum ada keputusan kontrak kerja sesuai dengan undang-undang penanaman modal asing. Padahal, katanya, soal itu diatur dengan tegas dalam perjanjian 31 Agustus 1984. "Kalau kontrak itu sudah ada dan Dickmann tak juga memberikan pinjaman baru dia bisa disebut ingkar janji," kata Subani. Sebaliknya, pihak Dickmann malah menuding Merukh-lah yang telah ingkar janji dan menunda-nunda proyek tersebut. Sebab, Merukh baru mengurus izin eksploitasi pada Desember 1987. Padahal, Dickmann telah menyerahkan sejumlah mesin berikut biaya lainnya. Bahkan pada Oktober 1986, ia juga telah memberikan hasil risetnya di daerah Sungai Gula, Barito Utara, Kalimantan Tengah, kepada Merukh. Hasil riset itu yang terdiri atas laporan eksplorasi, studi kelayakan dan analisa dampak lingkungan, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh SK eskploitasi. Dickmann melakukan riset itu, yang menelan biaya US$ 1,2 juta. Hasilnya, di daerah tersebut memag ada batu permata dan emas. "Sampai kini hasil riset itu masih di tangan Merukh," ujar Subani. Bahkan Subani menuduh pemecatan Dickmann dari jabatan general manager sengaja dilakukan Merukh. Dengan penggeseran itu Merukh bisa leluasa menjual KP barunya, berikut hasil riset Dickmann, ke pemodal lain. "Merukh pernah menawarkan KP itu kepada MalcolmJohnson dan Mungo Park seharga US$ 1,5 juta," ujar Subani lagi. Di persidangan, Widji Julianti juga menggugat balik Merukh karena jabatan direkturnya ditanggalkan secara sepihak. Padahal, ia telah menyetorkan uang Rp 210 juta untuk pembelian 21 ribu saham keempat perusahaan tersebut. Itu sebabnya Widji, yang kini sudah resmi menjadi istri Dickmann, menuntut ganti rugi Rp 100 juta karena pencemaran nama baiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini