HIDUP itu berputar bak sebuah lingkaran. Tanpa ujung, tanpa pangkal. "Dan saya terasmg dan sepi terhadap diri sendiri," kata Aman Rahman, pelukis kelahiran Surabaya 53 tahun lalu. Bertentangan dengan hidup sehariharinya yang diwarnai humor, Amang menangkap bahwa "manusia dan hidup itu sebuah misteri" Misteri itulah, tampaknya, yang hendak dikomunikasikan lewat pameran tunggalnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1 - 11 November ini. Tiga puluhan lukisannya memang menyuguhkan suasana yang bukan duniawi. Ada lukisan pemandangan tiga tonggak seruling tertanam di tanah. Di samping lubang seruling tumbuh daun. Lalu, di ujung tiap seruling bertengger kepala manusia. Atau, sebuah lukisan jajaran kepala-kepala perempuan dengan rambut tergerai ke samping, yang sama bentuk dan ekspresinya. Boleh dibiiang, lukisan-lukisan Amang tak punya segi menghibur. Ia seperti mengajak pengunjung pamerannya merenungi misteri hidup. Bahwa di balik yang tampak, ada sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dipahami. Memang. Bentuk figur pada kanvas Amang diletakkan atau dipadu dengan latar belakang yang, katakanlah, tak masuk akal, atau sesuatu yang fantastis. Ada, misalnya, bentuk-bentuk gunungan wayang kulit. Tapi gunungan itu berlubang hitam, dan semua gunungan itu tegak berdiri di atas awan. Lalu ada sebuah gambar tanah lapang nan luas sekali. Pada cakrawala, sebuah bulatan hitam. Di tanah lapang ada lubang-lubang bundar hitam sama besar. Di tepi tiap lubang seorang figur duduk bertopang kaki. Di atas bulatan di cakrawala, langit seperti bergetar. Dengan cara itu memang kemudian terkesan gunungan bukan gunungan, manusia bukan manusia, dan lubang bukan lubang lagi. Ada tiga hal yang tampaknya selalu ada dalam karya Amang dari tahun 1983 dan 1984 ini. Bentuk bulat hitam, bentuk segitiga, dan pengulangan bentuk. Ketiganya seolah melambangkan sesuatu. Bulatan hitam itu seperti menyarankan sebuah pintu misteri. Dalam sebuah lukisan orang menyeret perahu dari tengah laut ke pantai, bulatan itu berada di dinding haluan perahu. Manusia selalu menyeret lubang misi teri ke mana ia pergi. Dan segitiga itu, yang ujungnya selalu menunjuk ke atas, bukankah umumnya jadi simbol religius? Amang tak sekadar menawarkan misteri, tapi juga penjernihan, dan itu ada "di Yang Maha segala itu", katanya. Pengulangan bentuk adalah cara lain menyuguhkan yang misteri itu. Seorang anak berambut kuncung berkalung ketepel. Di pundak kanannya bertengger seekor burung. Ini gambar biasa. Tapi bila agak jauh di belakangnya ada pula gambar persis seperti itu, cuma burung bertengger di pundak kiri si anak bukan di kanan - yang biasa itu pun berubah jadi bersuasana misteri. Seolah bayang-bayang si anak menjelma jadi anak itu sendiri. Siapa aku, siapa dia, menjadi kabur. Dalam pengulangan bentuk ini, agaknya, keterasingan Amang terhadap dirinya sendiri tercerminkan. Tapi, bagi saya, sebuah lukisan yang tak mengandung tiga unsur itu justru yang paling misterius. Kanvas dibagi dua, bidang kiri lebih luas. Di kanan gambar seorang perempuan berbaju kuning duduk di kursi. Di bidang yang luas seorang anak perempuan berdiri pada kursi menghadap dinding, seolah hendak meraih sebuah potret yang tergantung di dinding. Anak berambut dikepang ini berbaju hijau. Tapi warna kulitnya merah. Aneh. Yang lebih mengejutkan lagi, jari-jari tangan anak ini masuk menempel di tembok. Ada sesuatu yang menyakitkan, entah apa. Ada penyerahan total, entah terhadap apa. Ini termasuk karya Amang yang orisinil. Baru pada usia lebih dari 50 tahun kinilah Amang, tampaknya, mantap berkarya. Secara teknis, karyanya memang masih seperti karya awal tahun 70-an. Ada terasa betapa susahnya ia membuat bentuk manusia, betapa susahnya ia membuat perspektif. Tapi apalah artinya tekmis menggores dan menyapukan cat, ketika langkah-langkah seorang pelukis sudah tak tergoyahkan? "Melukis itu cuma bekal hidup," kata Amang. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini