Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tentang munas yang urung

Munas untuk membentuk wadah tunggal advokat diundur setelah ada perbedaan pendapat. peradin menginginkan hanya advokat yang menjadi peserta. (hk)

10 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA musyawarah nasional (munas) para advokat, yang diharapkan membentuk wadah tunggal, awal November ini, ternyata berantakan. Tiga unsur yang semula sepakat bersatu-kelompok persatuan advokat Peradin, Golkar, dan purnawirawan ABRI - bersaing pendapat tentang siapa saja yang berhak menjadi peserta munas. Kelompok Peradin ngotot, hanya advokatlah yang berhak ikut. Sedangkan kelompok purnawirawan ABRI bersiteguh, penasihat hukum juga boleh turut. Kelompok Golkar berada di tengah-tengah. Pihak-pihak yang bersengketa memasuki jalan buntu, setelah pemrakarsa wadah tunggal, Ali Said, yang juga ketua Mahkamah Agung, 25 Oktober lalu mengirim surat ke panitia munas, yang isinya sependapat dengan kelompok purnawirawan ABRI. Artinya, Ali Said lebih menyukai wadah yang "dibidani"-nya itu juga mengikutsertakan semua sarjana hukum yang sudah berpraktek di pengadilan, walau belum diangkat sebagai advokat oleh menteri kehakiman. "Sebab, bisa saja sarjana hukum itu sudah mendaftar ke Departemen Kehakiman, tapi karena soal administrasi pengangkatannya belum keluar," ujar Ali Said kepada TEMPO. Apalagi, kata Ali Said, dalam berbagai peraturan perundang-undangan - termasuk GBHN - istilah yang digunakan adalah "penasihat hukum" dan bukan "advokat". Tapi, ketua DPP Peradin, Harjono Tjitrosoebono, dalam rapat-rapat panitia munas, akhir Oktober lalu, bersikeras untuk tidak membawa serta penasihat hukum nonadvokat dalam munas itu nanti. Harjono, yang juga ketua panitia munas, bahkan mengancam akan mengundurkan diri bila penasihat hukum dipaksakan masuk juga. Sebab, menurut seorang tokoh Peradin, pihaknya berprinsip bahwa anggota wadah tunggal haruslah murni: orang yang hanya berprofesi sebagai advokat. "Penasihat hukum itu banyak sekali, ada dosen, pegawai negeri, bahkan karyawan perusahaan swasta yang nyambi membela perkara. Organisasi profesi macam apa yang akan didirikan, kalau orangorangnya berdwifungsi seperti itu," kata tokoh yang tak mau disebut namanya itu. Sejak ikrar membentuk wadah tunggal ditandatangani di rumah Ali Said, Februari lalu, soal siapa yang akan menjadi peserta memang sudah menjadi ganjalan antara kelompok Peradin dan non-Peradin. Peradin menghendaki peserta munas hanya advokat. Sedang non-Peradin menginginkan agar para penaslhat hukum, termasuk apa yang dlsebut "pokrol bambu", juga boleh hadir. Kompromi tercapai, September lalu, setelah Ali Said menyetujui konsep Peradin (TEMPO, 8 September). Berdasarkan kompromi itu, 17 orang panitia (9 dari Peradin dan 8 non-Peradin) dilantik Ali Said menjadi panitia munas, 10 Oktober, dan dengan ketua umum Harjono. Tapi, kekuatan kelompok non-Peradin cukup besar, karena di situ duduk purnawirawan ABRI dari Korps Kehakiman Angkatan Darat, yang kini bergabung di Bina Bantuan Hukum (BBH). Dalam kepanitiaan munas, kelompok ini diwakili Duriat Rahario, Amiruddin Syarief, dan pendatang baru, R.F. Soedardi, pensiunan irjen dan dirjen Departemen P & K, yang kini diperbantukan di Sekneg. Soedardi, yang mengaku teman dekat Ali Said, dalam sebuah rapat panitia, akhir Oktober, membuka lagi luka lama: ia mempersoalkan siapa yang berhak ikut munas. Pengacara yang mengaku diangkat sebagai advokat, 1983, menyatakan tidak terikat pada kesepakatan unsur-unsur Peradin dan non-Peradin sebelumnya, karena dia baru muncul ketika panitia 17 disusun. Dan, belakangan, Ali Said menulis surat kepada panitla yang isinya senada dengan pendapat Soedardi. Menurut sekretaris panitia, Hakim Simamora, jalan buntu itu terjadi pada rapat terakhir panitia. Waktu itu, 29 Oktober, salah seorang penasihat panitia, Yap Thiam Hien, mendesak Harjono, "Bagaimana jika penasihat hukum dipaksakan juga ikut munas?" Karena terdesak, kata Hakim, Harjono menjawab, Saya akan mengembalikan mandat sebagai ketua panitia." Karena ketegangan itu, kata Hakim agi, Harjono mengundurkan munas sampai waktu tidak terbatas. Tapi, atas desakan beberapa anggota panitia, Harjono akhirnya bersedia menunda munas sampai Januari tahun depan. Yang menarik, kemudian, beberapa orang anggota panitia dari kelompok Golkar, seperti Hakim Simamora dan R.O. Tambunan, yang dulu menentang jika munas diikuti advokat saja, sekarang berbalik ke pihak Peradin. "Dulu, saya sependapat dengan surat Pak Ali Said, dan itu yang saya perjuangkan. Tapi terjadi kemacetan. Sekarang, walau saya secara prinsip menyetujui usul Pak Ali Said, saya sudah terikat pada konsensus dengan Peradin agar yang ikut munas hanya advokat. Saya tidak bisa menarik konsensus saya begitu saja," ujar Tambunan. Ali Said membantah keras bahwa suratnyalah yang menyebabkan munas advokat menemui jalan buntu. "Bagi saya tidak soal, apakah mereka akan pakai nama advokat atau apa saja - di munas nanti dapat ditentukan," ujar Ali Said. Ia memprakarsai wadah tunggal itu, katanya, hanya dengan niat baik agar semua advokat dalam pengertian luas termasuk penasihat hukum - berkumpul di satu wadah. Sebab itu, kata Ali Said, ia juga tidak punya kepentingan apakah gagasannya akan diterima orang atau tidak. "Mau diterima syukur, nggak juga terserah," kata Ali Said. Karena itu pula ia tidak khawatir bila Harjono mengundurkan diri. "Maunya pecah? Silakan. Perkara malu atau tidak itu 'kan hanya soal kulit, ada yang punya kulit ari ada yang berkulit badak. Yang badak nggak bakalan malu," kata Ali Said menambahkan, sambil tertawa. Namun, kata Ali Said, soal tertundanya munas bukan karena perpecahan di panitia. Tapi, soal teknis biaya. Persoalannya, kata petimggi hukum itu, munas yang dlrencanakan itu memerlukan biaya besar, konon sampai Rp 150 juta. "Jadi, perlu waktu untuk mencari dananya," katanya. Karena itu pula banyak anggota panitia dari unsur Golkar yang optimistis bahwa Januari nanti munas tetap bisa dilaksanakan. "Sebab, persoalan pokok sebenarnya memang soal biaya itu," ujar R.O. Tambunan, salah seorang ketua di panitia. Sekretaris umum panitia, Hakim Simamora, juga sependapat. "Walau lubangnya kecil, bagaimana pun kecilnya, kami optimistis masih bisa ditembus," kata Hakim. Yang pesimistis justru unsur Peradin. "Jika persoalan pokok itu tidak diselesaikan sekarang juga, yaitu siapa peserta munas, saya pesimistis wadah tunggal akan terbentuk," kata Mulya Lubis. Tapi kalau Ali Said mau?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus