JUDI tak pandang bulu. Pemilihan kepala desa pun, ternyata, bisa diperalat. Maksudnya dijadikan alat perjudian. Ini terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Bareng, Kecamatan Ngasem. Puluhan warga desa dan sejumlah aparat terlibat dalam judi gila-gilaan dan tak lazim ini. Taruhannya tak hanya berupa uang. Tapi juga ternak seperti sapi dan kambing, emas perhiasan, sepeda dan perabotan rumah tangga, ikut dipertaruhkan. Akibatnya, di desa penghasil tembakau yang berjarak 25 kilometer dari Bojonegoro itu dilanda kerusuhan dan nyaris terjadi pertumpahan darah. Buntutnya, semua personel Koramil dan Kapolsek Nasem beserta tiga anak buahnya dialihtugaskan. Juga Camat Ngasem bernama Musran diganti - meskipun menurut Humas Pemda Bojonegoro, penggantian Camat ini karena Musran memang sudah memasuki masa pensiun. Sampai pekan lalu, pengusutan atas perkara ini masih terus dilakukan. Ramai-ramai di Desa Bareng bermula Februari lalu. Ketika itu, empat orang warga mencalonkan diri sebagai kepala desa (kades) setelah kades yang lama meninggal karena sakit. Dari keempat calon itu, dalam seleksi pendahuluan yang tiga dinyatakan gugur karena dinilai tak memenuhi syarat. Maka, majulah Suntono, bujangan berusia 27 tahun sebagai calon tunggal. Meski hanya ada satu calon, diam-diam sementara penduduk mengajak bertaruh: apakah nanti, dalam seleksi lebih lanjut, Suntono dinyatakan gugur atau terpilih. Lima orang penduduk menyediakan diri sebagai bandar. Kelima bandar ini mencatat besarnya taruhan yaitu berupa: uang tunai hampir Rp 1,4 juta, emas lebih dari 250 gram, 12 ekor sapi, 4 ekor kambing, 6 buah sepeda, 5 lampu tekan, 2 radio, dan arloji serta bufet. Bagi desa seperti Barong, jumlah sebegitu sungguh bukan main banyaknya. Suatu siang, tiba-tiba saja tersiar kabar bahwa sebagai calon tunggal, Suntono yang tak tahu dirinya diperjudikan - di nyatakan gugur. Kerusuhan pun terjadi. Para petaruh yang merasa menang segera menyerbu petaruh yang kalah. Tapi orang seperti Sogol bertahan. Soalnya, "Kami belum tahu secara jelas apa memang Suntono gugur." Tarik urat, saling mengejar, dan mengancam dengan cangkul pun ramai. Rasyad yang bertaruh lima ekor sapi, misalnya, dipaksa menggenapi taruhannya dengan uang karena ia hanya punya empat ekor sapi. Akibatnya, karena ketakutan, ia terpaksa ngutang kiri kanan untuk melunasi taruhannya. Dan karena yang "kalah" banyak yang bertahan tak mau menyerahkan taruhan, pihak "pemenang" meminta bantuan aparat Polsek dan Koramil setempat. Dengan pengawalan beberapa oknum itulah, pengambilan harta benda petaruh yang kalah bisa diambil. Peristiwa ini, menurut Letkol Deddy Sudarmadji, Dandim Bojonegoro, "Jelas, bisa dikategorikan suatu perampasan hak asasi." Pihak yang merasa dirugikan tak tinggal diam. Tanggal 10 Maret, beberapa di antara mereka menulis surat pengaduan ke alamat Laksusda Jawa Timur. Empat hari kemudian, surat senada dikirimkan ke Kolonel Soeprapto, Kapolwil Bojonegoro, dengan tembusan antara lain kepada bupati dan komandan Kodim. Berdasar laporan itulah aparat keamanan kemudian turun tangan. Sejumlah penduduk ditanyai dan beberapa oknum di Polsek dan Koramil lantas dialihtugaskan. Bukan dengan alasan terlibat perjudian - karena perkaranya masih diusut - melainkan karena mereka dinilai, "Kurang tanggap mengantisipasi situasi di daerah tugasnya," seperti dikatakan Kolonel Soeprapto kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Seandainya mereka nanti terbukti terlibat dalam soal pengambilan barang milik penduduk, menurut Letkol Deddy, mereka akan diadili. Sama, seperti kelima bandar yang perkaranya kini sudah diberkas. Akibat adanya ramai-ramai, Suntono menjadi korban. Sebelum dia dinyatakan lulus atau tidak, Bupati Bojonegoro - untuk menenteramkan kekacauan - menunjuk Serda Badrun sebagai kepala desa sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini