Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini, misteri kasus lahan Gelora Bung Karno mungkin akan tersibak. Dua orang saksi kunci akan diperiksa. Setelah kesaksian mereka, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bakal menetapkan tersangka dari kasus yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 1,7 triliun itu. Kedua saksi kunci tersebut adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Mahadi Sinambela, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga di masa Presiden B.J. Habibie.
Ketua Timtas Tipikor Hendarman Supanji menyatakan kedua saksi tersebut adalah saksi utama. ”Keterangan mereka tidak bisa digantikan oleh saksi yang lain,” ujar Hendarman pekan lalu. Meski setelah kesaksian keduanya diberikan, Timtas Tipikor masih akan memanggil beberapa saksi lagi. Namun, tuduhan korupsi sudah menjadi terang. ”Kesaksian keduanya bersifat a charge (memberatkan) atas sangkaan korupsi yang terjadi,” katanya.
Ali Mazi adalah kuasa hukum PT Indobuildco—pemilik Hotel Hilton—yang mengurus perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) hotel tersebut yang menempati sebagian lahan milik Gelanggang Olahraga Bung Karno di Senayan, Jakarta Selatan. Dalam kesaksiannya di depan penyidik dua pekan lalu, Direktur Utama Indobuildco, Ponco Sutowo, mengatakan bahwa ia sudah memberi kuasa khusus kepada Ali Mazi untuk mengurus perpanjangan HGB. ”Pak Ponco itu kan bos. Beliau sibuk. Jadi, semua urusan perpanjangan itu sudah dikuasakan pada Ali Mazi,” kata Nurhasyim Ilyas, pengacara Ponco.
Sementara itu, Mahadi Sinambela selaku Menpora adalah Wakil Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan, yang mengelola kawasan Gelora Bung Karno saat itu. Keterangan Mahadi dianggap penting karena ia juga dimintai rekomendasi perpanjangan izin lahan Hilton, namun ia menolak. Dalam suratnya tanggal 30 September 1999 pada Indobuildco, ia menyatakan perpanjangan HGB No. 26 dan 27 harus mendapat izin pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL), yakni Sekretariat Negara.
Menurut sumber Tempo yang dekat dengan Timtas Tipikor, penyidik sudah mulai bisa membaca arah kasus tersebut. Ada perkembangan yang agak di luar dugaan; mungkin juga mengecewakan masyarakat yang telanjur berharap kasus tersebut bakal menyeret nama-nama mantan pejabat.
Penyidik, misalnya, menemukan bahwa surat rekomendasi Sekretaris Negara selaku Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan ternyata tidak dijadikan pertimbangan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jakarta dalam perpanjangan sertifikat Hotel Hilton. ”Salinan surat itu memang ditemukan dalam berkas permohonan di BPN. Namun, dalam pertimbangan keputusan BPN sama sekali tak disebut,” kata sumber itu. Ini artinya perpanjangan HGB Hotel Hilton diperlakukan seperti perpanjangan HGB biasa.
Karena itu, kasus pemalsuan surat yang diduga dilakukan mantan Sekretaris Negara Ali Rachman, yang mengeluarkan surat rekomendasi Muladi—pejabat Sesneg sebelumnya—menjadi kasus tersendiri. Perbuatan Ali Rachman akhirnya tidak masuk dalam konstruksi perbuatan korupsi atas dua lahan seluas sekitar 140 ribu meter persegi itu.
Awalnya, kuat dugaan Sekretaris Negara di masa kabinet Presiden Abdurrahman Wahid itu bakal menjadi salah satu tersangka. Perbuatan Ali, yang kini menjadi dosen pascasarjana itu, akhirnya menjadi pidana umum. ”Dan itu bukan kewenangan Timtas Tipikor, tapi polisi,” kata sumber Tempo.
Memang, bisa saja Timtas Tipikor memberkas Ali sebagai tersangka, yakni dengan cara memisahkan (splitsing) berkasnya menjadi sangkaan percobaan korupsi. Langkah tersebut bisa diraba, antara lain, dari pengakuan Muladi yang mengancam akan mengadukan Ali Rachman ke polisi, akhir tahun lalu. Surat rekomendasinya pada Indobuildco, yang dibuat pada 14 Oktober 1999 dan berstatus diblokir, kemudian diserahkan Ali Rachman kepada Ali Mazi beberapa bulan kemudian, meski kepada penyidik Ali Rachman ternyata mengelak. Ia berdalih tak pernah mengeluarkan surat tersebut karena cuma salinannya yang diberikan. ”Saya diminta Pak Hendarman menunda pengaduan ke polisi karena bukti-bukti surat masih diperlukan oleh Timtas Tipikor,” kata Muladi yang cuma ”berkantor” di Setneg selama lima bulan itu.
Agaknya, dari perkembangan kasus ini, besar kemungkinan tersangka akan muncul dari pihak Indobuildco dan Kanwil BPN Jakarta. Pandangan tentu saja lantas mengarah ke Ali Mazi. Apalagi, Ponco mengaku memberi kuasa kepada mantan pengacara kasus Zarima itu untuk memperpanjang HGB. Ali Mazi sendiri pada wartawan Tempo Dedy Kurniawan mengaku siap bertanggung jawab. ”Saya yang mendapat kuasa. Jadi, memang saya yang harus bertanggung jawab,” katanya tegas ketika ditemui di rumah dinasnya di Kendari (lihat Saya Bertanggung Jawab).
Mungkin Gubernur Sulawesi Tenggara ini merasa yakin bakal bisa menyanggah sangkaan Timtas Tipikor yang berpegang pada penilaian audit Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut audit BPK November 2004, HGB Hilton harusnya secara otomatis beralih ke HPL begitu habis tanggal 4 Maret 2003. Sebab, pada Agustus 1989, Kepala BPN Soni Harsono memutuskan memberikan status HPL tanah Gelora Senayan ke Sekretariat Negara. BPK juga menemukan pelanggaran lain berupa dijaminkannya lahan HBG tersebut ke dua bank asing senilai Rp 300 miliar.
Menurut Ali Mazi, Indobuildco sudah menempuh prosedur yang dipersyaratkan, termasuk membayar kewajiban ke kas negara dan kas Pemerintah DKI Jakarta sekitar Rp 40 miliar. ”HGB itu hak kita dan kewajiban warga negara memperpanjang,” katanya. Selain itu, hak Indobuildco lebih dulu keluar pada 1972, sementara HPL baru muncul pada 1989.
Jika kesaksian Ali Mazi meragukan, nasibnya bisa jadi di ujung tanduk—ia bisa jadi tersangka. Ponco Sutowo sebagai pemberi kuasa juga bisa terancam. Menurut hukum perdata, pemberi kuasa juga harus bertanggung jawab atas tindakan penerima kuasa. ”Nggaklah. Harus dilihat dulu kuasa yang diberikan seperti apa. Kalau pemegang kuasa bertindak di luar kepentingan yang dikuasakan, pemberi kuasa kan tidak harus bertanggung jawab,” kata Nurhasyim Ilyas menepis.
Ancaman lain, bila penyidik sudah mendalilkan terjadi perbuatan korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, korporasi yang mendapat keuntungan dari korupsi kekayaan negara juga bisa dijerat. Pertanggungjawaban pidananya akan dituntutkan pada pengurusnya. Di sini, Ponco Sutowo sebagai Direktur Utama Indobuildco bisa jadi kembali terancam. ”Faktanya tidak ada, karena masalahnya tidak begitu,” ujar Nurhasyim. Menurut dia, perpanjangan HGB Hotel Hilton sudah sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria. ”Justru patut dipertanyakan apa HPL itu ada dalam UU Agraria.”
Apa pun, kini kasus sebagian lahan hijau di Senayan itu memasuki babak penting. Para calon tersangka harus segera bersiap-siap bertarung di pengadilan.
Arif A.Kuswardono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo