Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

'Cuci Darah' di Mahkamah Agung

Komisi Yudisial akan menyeleksi ulang seluruh hakim agung. Namun, Komisi dinilai mendukung pemerintahan otoriter kembali.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Busyro Muqoddas punya kesibukan baru. Ketua Komisi Yudisial ini harus membaca dan membalas puluhan pesan singkat (short message service—SMS) yang muncul di layar telepon genggamnya sejak Rabu pekan lalu.

”Mereka mendukung Komisi Yudisial,” ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Barusan ada pesan dari Pak H.S. Dillon (Direktur Partnership for Governance Reform). Dia merespons langkah kami. Katanya: Bravo KY (Komisi Yudisial).”

Puluhan SMS itu diterima Busyro setelah Komisi Yudisial menggulirkan ide seleksi ulang seluruh hakim agung. Ide itu mendapat dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seleksi ulang, menurut Busyro, adalah terobosan untuk memberantas mafia peradilan di Mahkamah Agung yang sudah dinilai demikian parah. Ibarat orang yang tengah menderita penyakit kronis, Mahkamah Agung memerlukan darah segar dan bersih.

Caranya, 49 hakim agung termasuk Ketua Mahkamah Agung nanti dites ulang tentang integritas, rekam jejak perjalanan kariernya, dan profesionalismenya oleh Komisi Yudisial dan sejumlah pakar hukum. Mereka yang lolos seleksi diangkat kembali sebagai hakim agung. Sedangkan yang gagal diberhentikan dari jabatannya.

Gagasan seleksi ulang hakim agung sebenarnya sudah digodok lama. Namun, baru 2 Desember 2005 Komisi Yudisial serius membahasnya dengan mengundang beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat dan pengacara senior di kantor komisi itu.

Mereka mendiskusikan problem mafia peradilan di Mahkamah Agung. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki berbicara panjang-lebar. Setelah itu, pengacara Bambang Widjojanto dan Rifqi Assegaf dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution dan Todung Mulya Lubis juga didengar pendapatnya. Komisi pun mempelajari 388 kasus pengaduan masyarakat dan 18 perkara korupsi yang diputus bebas oleh pengadilan sepanjang 2005. ”Ini kan aneh,” ujar Busyro.

Sekitar empat tahun lalu, ide seleksi ulang memang pernah digulirkan, namun tak bersambut. Penggagasnya Daniel Lev, pengamat hukum asal Universitas Washington, Amerika Serikat.

Dia mengusulkan perombakan radikal di Mahkamah Agung. Semua hakim agung dipensiunkan. Kemudian, melalui sistem seleksi yang ketat, mereka diangkat kembali. (Tempo, 2 April 2000)

Sebenarnya, kata Rifqi, ide seleksi ulang hakim agung tidak ada masalah jika dilakukan pada masa transisi politik 1998 lalu. ”Kalau sekarang, tidak tepat lagi. Lebih tepat lakukan evaluasi,” katanya.

Kenyataannya, gagasan Komisi Yudisial itu telah melahirkan berbagai reaksi. Terutama menyangkut dasar hukum seleksi ulang, yakni peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Komisi mengusulkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) karena khawatir jika lewat undang-undang akan bertele-tele dan sarat benturan kepentingan politik di DPR. Namun Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, menolak ide itu. Menurut dia, perpu tersebut berlebihan. ”Seharusnya Komisi Yudisial tidak menyeret presiden ke wilayah yudikatif,” ujarnya.

Rifqi mengusulkan agar Komisi bermain di ranah yang aman dengan mengikuti Undang-Undang Mahkamah Agung. Di situ ada pasal tentang syarat pemberhentian hakim agung. Hanya, pasal itu belum pernah dipakai untuk mengevaluasi kinerja hakim agung. ”Ini lebih aman dan dapat respons positif,” ujarnya.

Perpu, menurut dia, justru akan menimbulkan preseden buruk ke depan. ”Ide perpu ini lebih gila,” ujarnya. Sebab, Komisi berarti mendukung pemerintahan otoriter kembali di negeri ini. ”Presiden dengan mudah mengeluarkan perpu, dan ini bumerang buat kita,” ujarnya.

Hanya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menolak berbicara. ”Biarkan saja. Masa, orang tidak boleh punya ide,” ujar Bagir kepada Tempo. Begitu pula soal perpu, ia serahkan kepada presiden. ”Kami menunggu presiden.”

Namun, mengenai adanya mafia peradilan, Bagir berkeras agar Komisi Yudisial menyerahkan bukti. Jika hakim agung terbukti terlibat, Undang-Undang Mahkamah Agung sudah mengatur sanksinya. ”Jadi, kembali pada undang-undang,” ujarnya.

Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus