Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangan mencencang, bahu memikul. Itulah tampaknya pilihan sikap Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi. Mantan pengacara ini adalah pemegang kuasa khusus dari Ponco Sutowo, Direktur PT Indobuildco, sebagai pemilik Hotel Hilton, untuk mengurus perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbit pada 2002. Kasus itu kini tengah disidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena ditengarai merugikan negara Rp 1,7 triliun.
Berikut wawancara koresponden Tempo Dedy Kurniawan dengan Ali Mazi di Kendari pekan lalu.
Sejauh mana peran Anda dalam proses pengurusan HGB Hotel Hilton?
Waktu itu kan saya pengacara yang bekerja atas kuasa dari klien. Saya diberi kuasa untuk mengurus perpanjangan sertifikat HGB Hotel Hilton, ya saya kerjakan. Soal prosedur hukumnya bukan urusan saya. Kalau sertifikatnya tak benar, BPN mestinya tak boleh menerbitkannya. Yang jelas, saya bekerja menuruti aturan undang-undang saja.
Lantas siapa yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat HGB itu?
Ini bukan soal siapa yang bertanggung jawab. Ini perintah undang-undang. Kalau sertifikat itu urusan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah prosedur dan segala macam proses selesai, klien saya dibebani kewajiban membayar pada negara. Sebagai pemegang HGB, klien saya kan berhak memperpanjang sertifikatnya. Apa itu salah?
Dalam pengurusan HGB itu, apakah Anda bekerja sendiri atau ada pihak lain yang membantu?
Saya bekerja sendiri. Sebagai lawyer kan saya punya kantor. Saya mewakili dan bertindak atas nama Indobuildco.
Rekomendasi Muladi sebagai Sekretaris Negara ternyata dipalsukan. Kenapa Anda memakainya?
Kalau itu bukan urusan saya. Itu urusan internal Setneg. Yang jelas, setahu saya, Pak Muladi selaku Sekretaris Negara punya kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi. Makanya, BPN menyuruh saya mengurus rekomendasi itu. Dan ternyata baru keluar pada masa Pak Ali Rachman. Sebagai kuasa hukum, saya hanya mengajukan saja. Kita nggak perlu tahu siapa yang menandatangani. HGB itu sudah hak kita dan kewajiban kita memperpanjangnya sebagai warga negara.
Perpanjangan HGB Hilton telah merugikan negara Rp 1,7 triliun. Bagaimana menurut Anda?
BPN waktu itu menganggap di atas HGB milik Indobuildco seolah-olah ada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Setneg. Padahal, HGB itu diterbitkan tahun 1972, sedangkan HPL terbit tahun 1989. Menurut saya, tak ada kerugian negara. Klien saya sudah membayar kewajibannya kepada negara. Di mana ruginya? Nilai Rp 1,7 triliun itu kan perkiraan, dihitung dari harga tanah sekarang. Tahun 1972 dulu, kawasan Gelora Bung Karno belum segitu harganya.
Kesaksian Anda disebut sebagai penentu karena dianggap yang bertanggung jawab atas pengurusan HGB. Anda siap?
Sebagai lawyer saya yang mendapat kuasa. Jadi, memang saya yang harus bertanggung jawab. Seandainya sekarang saya bukan gubernur, sudah dari dulu saya datang ke kantor Timtas Tipikor untuk kasih penjelasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo