PRAKTIS sosok Andriani kini bak sebuah boneka: tak mengenal orangtua dan lingkungannya. Penderitaannya belum juga berakhir. Masih ada luka berdiameter 8 cm di bagian belakang kepala dan luka lain di punggung serta kaki kirinya. Tubuh di belahan kiri pun lumpuh. Gigi-giginya menghitam. Lengkaplah sudah derita gadis kecil berusia 20 bulan ini. Siapa yang bertanggung jawab? Rumah Sakit Aini digugat pekan lalu. "Kelalaian" itu terjadi 27 Januari lalu. Dokter Jusrafli Joenoerham dianggap melakukan kekeliruan dalam menganestesi ketika tim dokter mengoperasi mata kiri anak kedua Harijadi itu. Akibatnya, kedua mata gadis itu buta, saraf optiknya rusak. Andri menderita cacat mental karena kerusakan pada saraf otak. Bahkan ia dinyatakan menderita sejumlah kerusakan saraf lain. Kaki kanannya diamputasi. Dan ia tak mampu berbicara lagi. Harijadi tidak rela, dan menggugat. Belum lama ini ia melayangkan surat pengaduan ke RS Aini dengan tembusan ke IDI Jakarta. Kemudian, dalam sebuah pertemuan dua pekan lalu, Direktur RS Aini Dr. M. Abdullah menyatakan, pihak keluarga korban dapat mengajukan pengaduan ke Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). "Selanjutnya masalah ini dapat dibawa ke pengadilan," katanya, seperti yang sempat direkam Harijadi. Sedangkan stafnya - berdasarkan laporan yang diperoleh - menyatakan, selepas operasi, terjadi kegawatan pada sirkulasi darah Andri. Ketika itu dr. Jusrafli sedang tidak ada di tempat. Nah, dalam keadaan krisis, tim perawat berusaha menanggulangi, meskipun kemudian diambil alih Jusrafli. Semua cerita ini, masih menurut Harijadi, terbatas pada kronologi kejadian. Keterangan medisnya akan dijawab di depan MKEK. "Jadi, yang akan menyalahkan atau membenarkan masalah medisnya adalah MKEK," katanya. Sedangkan Jusrafli, yang ikut hadir dalam pertemuan itu, menyatakan bahwa ia tidak merasa perlu melakukan pengecekan prabedah. Itu karena sudah ada pernyataan yang cukup tentang kesehatan anak. Tapi, ketika pembedahan dilakukan, "Ternyata anak itu tidak tahan obat, dan akibatnya menjadi shock berat." Maka, ia cepat memerintahkan untuk dibawa ke ICU di RSCM. "Saya takut kalau terjadi komplikasi," kata ahli anestesi itu. Keadaan itu, masih menurut pita rekaman Harijadi, berbahaya karena dapat mengakibatkan frekuensi kerja jantung menurun. Akibatnya akan dirasakan otak, karena pengiriman oksigen dan makanan ke otak dan seluruh tubuh terhambat. Apa yang kemudian terjadi pada diri Andri, "Saya tidak dapat menjawabnya dalam pertemuan ini," kata Jusrafli. Kepada TEMPO pun dokter lulusan UI ini mengelak diwawancarai. "Saya tidak bersedia memberikan komentar," katanya. Rekannya, dr. Srinagar, yang mengoperasi mata Andri menegaskan bahwa operasi berhasil. "Mata anak itu sudah baik," katanya. "Kalau sarafnya mengalami kerusakan, itu 'kan urusan bagian anestesi." Sementara itu, direktur rumah sakit itu, M. Abdullah, menyatakan bahwa pengaduan orangtua Andri itu tentu ditanggapi. Ketua MKEK IDI Jakarta, Prof. Dr. H. Marsidi Judono, mengaku terus terang belum menerima tindasan pengaduan Harijadi. Yang jelas, kalau seorang dokter bersalah, akan segera dipanggil. Tapi, bila perkara berlanjut ke pengadilan, "Kami akan mencarikan penasihat hukum bagi dokter yang bersangkutan. Kami akan bela dia," ujarnya tegas. Dan, bila pihak keluarga menuntut ganti rugi, "Tidak akan kami penuhi - itu sama dengan pemerasan," katanya kepada Erlina Soekarno dari TEMPO. Harijadi tetap menuntut. Kuasa hukumnya, O.C. Kaligis, pekan lalu megirim surat ke RS Aini, menuntut biaya peawatan dan biaya kelanjutannya. Bila dalam tempo seminggu ini tidak ada jawaban, "Saya akan membawanya ke pengadilan dengan tuntutan pidana dan perdata," kata Kaligis. Sementara itu, Harijadi, yang telah menghabiskan biaya Rp 9 juta bagi anaknya, belum menentukan jumlah tuntutan ganti rugi. "Misalnya saya tuntut Rp 1 milyar, itu tidak ada artinya," katanya, "uang itu akan saya sumbangkan untuk dana kemanusiaan." A.B., Laporan Gatot Tryanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini