CERITA ini bisa dimulai dengan 300 ayam yang mati kena bom. Pada malam ketika puluhan pesawat F-111 Amerika Serikat menyerbu Libya untuk membreidel terorisme, salah satu bomnya datang ke peternakan Milud Mohammad Hassan. Ayam-ayam sedang tidur, (seperti juga Muammar Qadhafi) dan ledakan di kandang itu berhasil menewaskan 300 ekor sekaligus. Yang empunya sangat marah. "Reagan adalah seorang pembunuh ayam!," begitu kesimpulan Peternak Hassan tentang presiden Amerika yang mengirim F-111. "Hancurlah Amerika!" Sesuatu memang berubah, di Timur Tengah. Ada masanya orang-orang Arab menutup wajah mereka dengan kain kefayyeh dan mengangkat senjata otomatis Rusia serta berseru, "Thawra" - "Revolusi". Tapi ada masanya kemudian ketika, dalam kata-kata penulis Mesir Hassanin Heikal, "ladang-ladang minyak mulai membayang lebih besar dalam pikiran orang banyak dibandingkan dengan padang pertempuran". Sejak itu orang Arab pun berpindah dari Thawra ke tharwa, dari Revolusi ke kekayaan. Kini barangkali arah sedang berjalan berbalik. Peternak Milud Mohammad Hassan di luar kota Tripoli itu, dengan sekian ratus ayamnya, beberapa tahun yang silam agaknya jenis orang Arab yang lebih baik bicara tentang telur dan pemasaran. Ia memang sudah tua, 60 tahun. Tapi ia juga mewakili sejumlah besar orang Arab, yang sejak 1970-an menikmati berkilaunya hidup dengan uang minyak. Dia memang bukan milyuner Adnan Khashoggi. Ia tidak terbang dengan pesawat jet pribadi dari wanita cantik yang satu ke wanita cantik yang lain dan dari urusan dagang yang satu ke proyek keuntungan yang lain. Tapi baik para sheikh jet-set yang berparfum Channel maupun peternak dusun yang berbau kandang, semuanya adalah peserta dalam Dunia Arab sejak 1970-an. Yakni Arab yang tanpa Nasser tanpa Boumedienne, tanpa opsir-opsir yang memerintah negeri dengan pantalon warna khaki, tanpa ideolog yang menyerukan "perjuangan" dan "perombakan sosial". Rasa terhina oleh Israel memang masih tetap mengiris. Rasa keterbelakangan memang masih pedih. Namun, petrodollar menawarkan jalan yang selama ini praktis tak tampak - jalan yang lebih nikmat dan lebih "menang". Dengan kekayaan yang berlipat-lipat gemuknya itu, banyak hal bisa dibeli: rumah meriah di Beverly Hills di Hollywood, atau teknologi yang paling piawai di dalam pesawat AWACS. Dan dengan turis-turis kaya dari Negeri Teluk, pelancong pemurah dari Ryadh, apa yang bisa dilakukan oleh orang Eropa selain melayani mereka? Di dalam kancah semacam itu, Eropa tentu bukan musuh yang harus dijauhi. "Barat" memang tetap saja dikata-katai, tapi "Barat" juga terus digemari. Amerika Serikat memang masih tetap dianggap pro-Israel, tapi kebanyakan rakyat barangkali tak membenci negeri itu - yang telah menyajikan Dallas dan Dynasty di televisi mereka, yang telah memperkenalkan John Wayne dan Stallone ke dalam imajinasi mereka. Di tahun 1974 Richard Nixon mengunjungi Timur Tengah. Ia bertamu ke Syria. Di Damaskus ia melihat bendera Amerika dikibarkan buat pertama kalinya selama tujuh tahun. Di sana presiden AS itu juga melihat begitu banyak rakyat menyambutnya, penuh sikap bersahabat, meskipun acara kunjungan itu sebenarnya tak diumumkan luas. Nixon mungkin tergerak. Ia menuliskan sejumput kesan dalam catatan hariannya, sebagaimana tercantum dalam jilid kedua memoarnya yang tebal: "Orang-orang ini ingin bersahabat dengan Amerika Serikat." Kini jadi pertanyaan besar bisakah sikap seperti itu dipertahankan. Apalagi setelah bom jatuh ke Tripoli, Benghazi, dan ke kandang ayam Milud Mohammad Hassan. Yang agaknya perlu dicatat bukan saja karena sejumlah orang tewas dan 300 ekor ayam gugur. Yang agaknya perlu diingat ialah bahwa nasib Pak Hassan berbareng dengan jatuhnya harga minyak di pasaran internasional. Mulai hari ini, seruan tharwa barangkali akan kembali ke Thawra. Pada saat petrodollar hanya menetes, maka yang paling dekat dengan keran itulah yang akan kenyang. Dan mereka yang kenyang sendiri akan dibenci. Adnan Khashoggi dan sejenisnya segera akan kian tampak sebagai komprador buncit dalam karikatur yang getir. Di belakang mereka: Amerika Serikat, yang dengan pesawat mahal F-111 telah membunuh ayam-ayam seorang peternak yang sedang mimpi. Kemakmuran dan kemewahan karena itu akan bergeser ke rasa kekurangan dan kemarahan. Kota-kota mentereng dengan Channel dan Pierre Cardin akan kehilangan pamor dibandingkan dengan padang pasir kering dan kemah-kemah asli. Sejarawan Ibnu Khaldun beberapa abad yang lalu melukiskan perjuangan antara kaum badui dan penghuni kota sebagai kunci jatuh-bangunnya dinasti dan kerajaan. Siapa tahu tema ini akan berulang. Siapa tahu orang seperti Qadhafi ("si anak edan", al walad al majnun, kata Anwar Sadat) akan makin berbondong: badui yang liat, yang liar, dan yang tak mudah dihabisi seperti ayam dalam kandang. Apa pun yang diniatkan Ronald Reagan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini