TAWAO kini ibarat serambi surga. Kota pantai di timur Sabah ini tidak terlalu mentereng. Minuman keras pun jarang terlihat. Juga tanpa panti pijat. Tapi, di sana banyak pub buka hingga larut malam. Berpenduduk 400 ribu jiwa, Tawao menyimpan gemerlap prostitusi. Dan ribuan pelacur dari Indonesia menghuni sembilan hotel di sana, dari tingkat bintang hingga kelas melati. Semua demi ringgit. ''Masuklah, saya lagi sepi,'' kata seorang pelacur di depan kamarnya, di Plaza Hotel, Tawao. Penginapan berlantai empat itu mempunyai kamar berukuran rata- rata 9 meter persegi dan ber-AC. ''Panggil saya Seli,'' tambah cewek berusia 23 tahun ini. Berasal dari Kediri, Jawa Timur, Seli ke Tawao dibujuk temannya. Kamarnya dihiasi poster artis seperti Sally Marcellina, Marissa Haque, dan Novia Kolopaking. Plaza Hotel itulah yang belakangan ini menggegerkan koran Indonesia. Di sana banyak wanita Indonesia disekap, diancam, dipukuli, dan dijadikan pelacur kelas rendah bertarif 20 ringgit atau sekitar Rp 16.000. ''Rasanya seperti dalam neraka,'' kata Rani sebut saja namanya begitu. Gadis berusia 16 tahun asal Balikpapan ini tak membayangkan kejeblos di sana. ''Kami harus melayani 8 sampai 10 lelaki sehari. Kalau menolak, dipukul dan tak diberi makan,'' kata jebolan kelas II SMP ini. Ia pernah mau bunuh diri. Cewek berhidung bangir ini pergi ke Tawao atas bujukan Rivai untuk mencari kerja, pertengahan Agustus lalu. Bersama Rani, ada pula Susan, 18 tahun, dan Yana, 16 tahun (keduanya nama samaran). Susan, pelajar SMA yang berkulit putih ini, ke Tawao karena sakit hati ditinggal pacarnya. Sedangkan bagi Yana, Tawao adalah pelarian. Gadis berdarah Dayak ini cantik. Ia kabur dari Palangkaraya karena dipaksa kawin oleh orang tuanya. ''Saya ingin melajang lama-lama,'' kata anak ketiga dari enam bersaudara ini. Lalu ia ke Balikpapan, dan sering ke diskotek. Lulusan SMP ini diiming-imingi kerja di Tawao oleh Suryani. Ia oke, dan berangkat. Suryani membawa Yana dan Susan ke Jefry. Kemudian Jefry menyerahkan mereka ke Rahayu di Pelabuhan Semayang, Balikpapan. Dengan KM Tidar, Rahayu mengajak mereka ke Tarakan. Dari kota ini, perjalanan diteruskan ke Tawao, menumpang jukung milik Janggo. Pada 20 Agustus lalu, ketiganya langsung diserahkan ke germo suami-istri, Beni dan Ratna, di Plaza Hotel. Dan setelah timbang terima itu, resmilah mereka menjadi pelacur. ''Saya tak ingat wajah laki-laki yang meniduri saya pertama kali. Pokoknya ngeri. Seperti singa yang menerkam,'' cerita Yana. Sehari-hari ia melayani tamunya seolah tanpa terputus. Dan begitu tugasnya selesai, seorang lelaki berperangai sangar bernama Anwar menyusup ke kamarnya untuk mengambil uang kencan, tanpa menyisakan seringgit pun. Alasannya, uang itu biaya membawa mereka ke Tawao yang mahal. Tidak tahan diperas demikian, Rani yang berkamar di lantai tiga itu berusaha kabur. Ia tertangkap. Dipukuli. Setelah 45 hari, dini hari awal September lalu, ia meloloskan diri. Tubuhnya dilorotkan ke bawah lewat tali jemuran. Rani kabur ke Kampung Batu, sekitar 10 km dari Plaza Hotel, ke rumah seorang warga Indonesia yang pernah menidurinya. Dua minggu bersembunyi di situ, lalu penolongnya menyelundupkannya ke Nunukan. Rani kembali di Balikpapan. ''Tuhan menolong saya,'' katanya. Lalu, ia mengabari ayah Susan, Syahrir, bahwa anaknya disekap sindikat pelacuran di Tawao. Pada 18 Oktober, Syahrir mengontak Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur. Sehari kemudian, Andi Bachrul dan istrinya, Rahayu, yang memasok tiga wanita tadi, ditangkap di Balikpapan. Beni dan Ratna kini masih buron. ''Saya tidak rela Kalimantan Timur dijadikan pintu masuk pelacur ke negara tetangga. Ini menghina harkat diri bangsa,'' kata Brigadir Jenderal I Wayan Karya, Kapolda Kalimantan Timur. Anwar ditangkap di Nunukan, 24 Oktober. Tahun lalu, Anwar dihukum 5 bulan dalam kasus serupa. Setelah itu, Susan dan Yana diselamatkan. ''Dalam pemeriksaan, Rahayu mengakui perbuatannya,'' kata Kolonel M. Ashar Suryobroto, Kepala Direktorat Reserse Polda Kalimantan Timur. Ia membayar Jefry dan Rivai Rp 250.000 untuk tiap wanita yang mau diajak ke Tawao. Dari Beni dan Ratna, Rahayu dan suaminya menerima imbalan Rp 800.000 plus 17 gram emas. Begitu tertangkap, Rahayu, calon pegawai Kantor Koperasi Balikpapan itu, kena serangan jantung. Selain ketiga gadis tadi, Suci, 19 tahun, juga terlepas dari Plaza Hotel. Gadis asal Kediri itu dijerat Sappe, kaki tangan Beni. Ia dijanjikan menjadi pembantu rumah tangga. ''Saya ditipu,'' ujarnya. Akhir September ia dijebloskan di lantai dua Plaza Hotel untuk melayani hidung belang. Ia tak bisa melawan kecuali menangis. ''Kalau saya bandel, kata mereka, saya dijual ke Serawak. Di sana lebih ngeri,'' kata Suci kepada Rizal Effendi dari TEMPO. Suci diselamatkan konsul muda Indonesia di Tawao yang menyamar sebagai tamu. Dan diam-diam konsul itu mengirimkan sopirnya untuk menculik gadis lulusan SMP ini. Pada 4 November lalu Suci dipulangkan dengan KM Tidar ke Tarakan. Wanita senasib Suci, Yana, Susan, maupun Rani, bisa jadi masih bertebaran di Sabah. Sebab, 70 persen pelacur di sana adalah pasokan Indonesia. Dan Jawa Timur tercatat sebagai daerah penyuplai. ''Tapi baru satu orang penyalur yang dapat kami tangkap,'' kata Kolonel Engkesman R. Hillep, Kaditserse Polda Jawa Timur. Sementara itu, pihak Polda Kalimantan Timur juga telah mengirimkan daftar pencarian orang ke Tawao untuk dideportasikan ke Indonesia. Tahun lalu, polisi tiga kali menggagalkan pengiriman wanita ke Tawao, seperti dialami Ida (sebut saja begitu). Jebolan kelas I SMP Negeri Malang itu berusia 17 tahun. Waktu itu, Ida akan dikawinkan oleh ibu kandungnya. Tapi ia menolak karena sudah berjanji sehidup semati dengan Joko, 21 tahun, penjaga WC di Pasar Blimbing, Malang. Ida minggat ke rumah ibu tirinya. Di sana ia minta dicarikan pekerjaan. Dalam tempo sekejap, Aziz dan Karim menawari kerja sebagai penjaga toko di Ujungpandang. Gajinya Rp 100.000 sebulan. Ida mengangguk. Bersamanya ada pula dua cewek. Mereka berlayar ke Ujungpandang. Anehnya, Ida tak boleh melihat tiket kapal. Sampai di Ujungpandang, Azis turun. Karim dan ketiganya tetap di kamar. Mereka disuruh ngumpet agar tak ketahuan polisi. ''Lo, penjaga toko kok harus takut sama polisi,'' pikir Ida. Setelah didesak, Karim mengaku akan membawa mereka ke Tarakan. Tarakan? Ida mulai waswas. Jangan-jangan ada yang tak beres. Di dek kapal Ida ketemu seorang polisi berpakaian preman. ''Kamu akan dijual ke Malaysia. Di sana dijadikan pelayan bar atau pelacur,'' kata polisi tadi, mengingatkan. Ida kaget. Rupanya, polisi tadi telah mengontak rekan-rekannya di darat. Begitu kapal mendarat, polisi menangkap Karim. Ida dan kedua temannya pun selamat. Lalu, Ida ditampung di rumah Kapolres Tarakan, selama enam bulan. Dan Februari lalu, ia kembali ke Malang. ''Kalau jadi pelacur, pasti saya nggak punya harga diri lagi,'' kata Ida kepada K. Candra Negara dari TEMPO. Dua bulan lalu, Ida menikah dengan Joko. Perutnya kok sudah buncit enam bulan? ''Terpaksa, Mas. Kalau hamil dulu, orang tua nggak bisa apa-apa, selain mengawinkan. Tapi berani sumpah, saya berhubungan badan dengan suami saya saja,'' kata cewek berwajah bulat dan berkulit putih ini. Nasib Habibur Rochima, 20 tahun, lain lagi. Ia tak jadi diselundupkan ke Tawao, tahun silam. Tapi warga Desa Menturo, Jombang, Jawa Timur itu hingga akhir Oktober belum pulang ke rumahnya. Ibunya, Sariasih, 55 tahun, sedih. Bibur panggilan akrabnya adalah gantungan masa depan bundanya. Sejak ditinggal mati suaminya, ekonomi ibu lima anak ini morat-marit. Anak nomor dua tewas didor penembak misterius. Ia maling kelas teri. Anak sulungnya sakit jiwa. Hanya si bungsu Bibur yang diandalkan. Lulus dari madrasah ibtidaiyah, karena tak ada biaya, Bibur tak melanjutkan sekolah kendati rapotnya bagus dan mendapat beasiswa Supersemar. Bibur kemudian dilamar seorang guru SD. Lamaran itu ditolaknya karena Pak Guru telah beristri. Bibur malah melacur di Kediri. Setahun di sana, ia pindah ke Surabaya, dan tetap setia pada profesinya. Tiap bulan ia kirim uang ke orang tuanya, dari Rp 50.000 sampai Rp 500.000. Uang itu pula, antara lain, yang dipakai membangun rumah ibunya. Belakangan, Bibur gemar berjudi dan terlilit utang. Ia hijrah ke Ujungpandang. Ramadan lalu, ia masih sempat kirim surat dan uang Rp 250.000. ''Itulah surat terakhir, sebelum saya dengar ia ditangkap polisi,'' kata Sariasih sambil memperlihatkan foto Bibur yang berwajah melankolis, bermata lebar, dan berbibir mungil. Memperdagangkan wanita ke Malaysia tidak hanya ramai di jalur timur. Seorang gadis mengaku bernama Ana Puspitasari, 17 tahun, disekap dan dipaksa menjadi budak nafsu penyekapnya. Gadis yang mengaku anak seorang guru SMP IV di Malang itu, bersama empat temannya, Ani, 19 tahun, Yanti, Erma, dan Irdawati (semuanya berusia 20 tahun), awal September lalu jalan-jalan ke Jakarta. Mereka ditemani Edi, 25 tahun, warga Malaysia. Perjalanan dilanjutkan ke Malaysia. Ana mengaku pelajar SMA VII Malang. Adapun Edi, oleh ibunya, Retno, sudah dianggap anak sendiri. Ana berbekal Rp 1,2 juta. Pada 6 September mereka menumpang tongkang berlayar ke Malaysia lewat Sumatera. Keberangkatan itu tanpa paspor. Sebelum menginjak tanah Melayu, impian Ana buyar setelah Edi menodainya di dalam tongkang. Tak hanya itu. Begitu mendarat di pantai Selangor, Ana dan empat temannya dibawa dengan mobil ke sebuah rumah kosong, di kebun kelapa sawit. Di sana, empat lelaki teman Edi juga menodainya bergantian. Hari-hari selanjutnya bagi mereka adalah kelam. Tak tahan terhadap perlakuan itu, tengah malam 14 September, Ana kabur selagi penjaganya tertidur. Ia mencari halte bus, dan terduduk di sana sambil menangis. Melihat ada gadis menangis di tengah malam, seorang sopir truk iba. Mobilnya dihentikan, lalu Ana diboyong ke rumahnya. Tiga hari kemudian, barulah Ana menceritakan kisahnya. ''Kondisi Ana parah. Ia mengalami pendarahan di kelaminnya,'' kata polisi di Distrik Kuala Selangor, yang menerima pengaduan itu. Untuk membuktikan cerita itu bukan isapan jempol, Ana dibawa ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah, Selangor. Visum mengesahkan bahwa Ana korban serangan seks brutal. ''Kasus ini masih dalam penyelidikan kami. Mereka yang bertanggung jawab tidak akan terlepas,'' kata Penolong Pesuruh Jaya Polis (setingkat kolonel polisi), Haniff Ahmad, kepada Ekram H. Attamimi dari TEMPO. Polisi sedang mencari keempat teman Ana. Di tempat penampungan pendatang haram di Semenyih, Selangor, Ana lebih banyak menangis atau mengaduh: ''Saya mau pulang, Mami. Mami....'' Ia tidak mau dituduh bercerita fiktif. ''Saya tidak pernah diajari berbohong oleh Ayah dan Ibu,'' ujarnya. Pihak KBRI di Kuala Lumpur memulangkan Ana ke Indonesia. Rabu pekan lalu, ia tiba di Tanjungperak, Surabaya. Belakangan, sebagian cerita Ana tadi ngibul. Nama sebenarnya Riami. Ia lahir di Dusun Mulyasari, Desa Kluwut, Wonosari, Malang, berpendidikan kelas V SD. Ibunya Suminem, buruh tani. Ayahnya telah meninggal. Rumahnya berlantai tanah. Ketika ditanya TEMPO, ia banyak tutup mulut. Saat difoto, Riami membalikkan tubuhnya. ''Isin aku, isin (malu aku, malu),'' katanya sembari masuk ke dapur. Suminem mengaku tak pernah mengungkit-ungkit kisah anaknya di Malaysia. ''Biarlah, ia sudah selamat pulang. Hati saya senang,'' katanya kepada Putu Wirata dari TEMPO. Dari ulah dan tatapan mata Riami, tampaknya ada yang berubah. Gadis itu mengalami trauma akibat disekap dan diperkosa berulang kali. Selain dagang wanita ke negeri jiran, tidak kalah seru adalah bisnis esek-esek di Batam. Di sana ada Bukit Samyong yang murah meriah. Bursa seks muncul di tempat hiburan di sana, yang tumbuh subur sejalan dengan pariwisata (lihat Dari Karaoke Sampai Ranjang). Jika Batam sepi, pelacur Ela, misalnya, menyeberang ke Singapura. Ia pernah tertangkap dan dipulangkan ke Batam bersama 25 pelacur lainnya. Di Singapura, selain mengontak langganannya, ia bisa bertemu dengan tamu-tamunya, yang ternyata dari golongan ekonomi lemah. ''Ada sopir taksi, tukang sate, pekerja bangunan, pokoknya kelas bawah,'' kata Ela. Ia senang dengan profesinya, dan sudah empat tahun ngendon di Batam. Harga tiket SingapuraBatam hanya Sin$ 35. Mereka pergi dengan santai, bersandal jepit, dan bercelana pendek. Dan begitu turun dari kapal, turis jenis ini langsung menyerbu Bukit Girang. Sekali tembak cukup membayar Sin$ 50. Di negaranya ia membayar Sin$ 200, itu pun dengan pelayanan fast food. ''Di sini, dengan 130 dolar bisa dilayani sepuasnya,'' cerita Ela. Pantas saja jika orang Singapura memuji pelacur asal Batam. ''Batam is very nice. Girl's nice, and murah,'' kata mereka. Maka, tak heran jika tahun 1992 (Januari-Juni) turis Singapura ke Batam mencapai 170.000 lebih, dan dalam periode yang sama, tahun 1993, melonjak hampir 200.000 orang. Pemasok pelacur Batam antara lain dari Kalimantan Barat. Umumnya mereka keturunan Cina dan suka dicari oleh lelaki dari Singapura. Jika ada pelacur yang bosan menunggu tamu, lalu memburunya ke Singapura. Selain itu, siapa tahu, ada yang berminat menjadikan mereka istri piaraan. Widi Yarmanto, Sarluhut Napitupulu, Affan Bey Hutasuhut, dan Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini