Ada kesenjangan antara pakar hukum pertanahan dan pelaksana penegakan hukum pertanahan. Itu sebabnya mekanisme pelaksanaannya penuh dengan berbagai kendala dan tersendat-sendat. Dalam kurun waktu seperempat abad terakhir ini, sedikit sekali peraturan perundang-undangan yang lahir, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah. Itu, antara lain, Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1973 tentang permohonan banding ganti rugi dalam kasus pencabutan hak, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1977 yang mengatur bahwa pegawai negeri dan ABRI boleh memiliki tanah absente, dan Undang-Undang No. 16 tahun 1985 tentang rumah susun dengan sistem kondominium. Dan terakhir, tahun 1992, lahir Undang-Undang tentang Rencana Umum Tata Ruang. Berbagai tanggapan muncul mengiringi peristiwa-peristiwa, permasalahan-permasalahan, dan sengketa pertanahan yang terus bergulir. Tanggapan itu datang dari pakar-pakar di luar hukum pertanahan, seperti pakar sosiologi hukum, lingkungan hidup, planologi, kriminologi, dan pertanian. Berbagai visi muncul dari mereka. Itu sesuai dengan sifat dan karakteristik disiplin ilmu masing-masing. Ini membingungkan pihak-pihak yang langsung terkena masalah sengketa tanah. Di antara pakar itu, misalnya, ada yang mengatakan, tanah mengandung berbagai aspek: sosial, politik, ekonomi, budaya, pertanahan, dan keamanan. Hal-hal semacam inilah yang perlu segera dibenahi. Undang- Undang Pokok Agraria sudah memerintahkan: ''Bahwa hak milik atas tanah akan diatur dengan undang-undang.'' Andaikata undang-undang tentang hak milik atas tanah sudah ada, tentu kasus tanah yang datang bertubi-tubi pada masa lalu dan sekarang ini tak gampang terjadi: sudah dipagari secara hukum. Soal pemakaian hak milik atas tanah oleh orang lain juga diatur dengan undang-undang. Misalnya, si A mempunyai tanah hak milik yang digunakan oleh si B. Tentang ini, sudah sejak 33 tahun lalu, Undang-Undang Pokok Agraria memerintahkan agar diatur dengan undang-undang. Begitu pula tanah adat dan tanah ulayat yang hal ihwalnya banyak menyangkut peri kehidupan para pemiliknya seperti petani berpindah-pindah, suku Dayak, kelompok suku terasing yang areal tanahnya banyak dirambah para developer. Tentang pemilikan tanah-tanah pertanian oleh orang perorangan atau badan hukum, juga dianjurkan diatur dengan undang-undang. Kalau undang-undang itu telah terbentuk, tentu tidak akan terjadi jorjoran seperti sekarang ini. Absente dilarang, tapi tidak dipedulikan. Malah ada orang yang memiliki 10 KTP untuk mengelabui bahwa tanahnya bukanlah absente, sehingga satu orang bisa menguasai tanah ratusan bahkan ribuan hektare. Seperti tak ada aturan saja. Padahal, sudah ditegaskan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian, pada dasarnya, diwajibkan mengusahakan dan mengerjakan sendiri secara aktif. Itu dengan maksud, untuk meningkatkan pendayagunaan dan produktivitas tanah tersebut. Dan masih banyak lagi yang lain. M. SOEPANGAT, S.H.Jalan Palem Barat 1 Kel. Duri Kepa Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini