Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dari karaoke sampai ranjang

Bisnis esek-esek amat mewarnai dunia wisata di batam. namun, sejauh ini pihak berwajib belum menemukan bukti adanya jaringan perdagangan wanita ke situ.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATAM seperti singkatan dari begitu Anda tiba Anda menangis. Keadaan ini terutama tertuju ke pendatang yang minus keterampilan atau modal untuk bermukim di pulau yang 20 km dari Singapura itu. Dan inilah pengalaman para wanita yang mengadu untung di sana, lalu terperosok di kawasan remang mulai di Bukit Girang yang kumuh sampai yang berselubung lampu disko. Wilayah ini semula luasnya 415 km2. Dan melalui Keputusan Presiden (Keppres) tertanggal 22 Juni 1992 dimekarkan sebagai Barelang Batam-Rempang-Galang hingga menjadi 715 km2, atau sekitar satu seperempat kali Singapura. Awalnya masuk Kecamatan Belakang Padang, lalu menjadi kota madya berdasarkan Keppres No. 34/1983. Wali kotanya yang pertama Raja Usman Draman, kemudian Raja Abdul Azis, sampai kini. Sekitar 20 tahun silam penduduknya hanya 6.000 jiwa. Lima tahun kemudian menjadi 31.000. Jumlah itu meningkat terus hingga tahun 1992 menjadi 120.000 jiwa. Sampai Juni tahun lampau, hotel berbintang di sana ada 11, dengan 1.128 kamar, dan hotel jenis melati 16 buah dengan 525 kamar. Sejalan dengan itu, sarana leha-leha pun menjamur. Misalnya, diskotek, karaoke, klub malam, panti pijat, dan tempat hiburan lainnya terdapat di 45 lokasi. Dan seperti kelaziman tempat serupa ini, daya pikatnya dengan menyediakan wanita sebagai bagian komoditinya. Meski resminya disebut wanita penghibur, tak urung mereka juga terbuka dibawa kencan. Dan selain dari tempat yang serba terselubung ini, ada tempat resmi pelacuran di sana, yaitu di Bukit Girang dan Pulau Babi setengah jam naik kapal dari Pulau Batam. Di Pulau Babi pelacurnya 116 orang, dan di Bukit Girang 348, umumnya berasal dari Pulau Jawa, serta sebagian kecil datang dari Medan, Palembang. Ada pula yang dari Pontianak. Lokalisasi atau apa pun namanya Bukit Girang juga beken dijuluki sebagai Bukit Samyong, karena yang membangun tahun 1978 namanya Samyong. ''Itu bukan gua punya mau, tapi pemerintah yang minta,'' katanya. Dalam usia 60 tahun kini ia lupa berapa modal yang ditanamnya. Yang diingatnya, ketika itu ada praktek pelacuran gelap di Sungai Jodoh, dan jumlahnya terbatas. Padahal, menurut Samyong, akibat tuntutan kebutuhan biologis para pekerja industri di sekitar situ sering menimbulkan cekcok. Ada istri orang diganggu atau putrinya digoda, sampai sering terjadi pembunuhan. Mulanya Samyong membangun 20 barak. ''Radius sekilo dari sini masih hutan,'' tuturnya, seraya mengungkapkan bahwa proyeknya itu dimaksudkannya sebagai upaya sosial. ''Dari dulu sewanya sebulan tetap saja Rp 8.000 sekamar,'' katanya. Dan uang itu kemudian habis untuk membayar penjaga keamanan serta perbaikan pondok dan kebutuhan lain. ''Tak apa, yang penting saya sudah membantu masyarakat. Pokoknya syukur, asal aman-aman saja,'' kata Samyong. Cewek yang ada di situ berusia mulai 16 tahun sampai 36 tahun. Tarif mereka Rp 10.000. ''Tak ada istilah short time atau long time. Pokoknya sekali masuk kamar, bayar segitu,'' kata Ir. Chris Setyarso, kepala seksi rehabilitasi sosial Batam, kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Para cewek itu bisa juga dibawa dengan tarif Rp 30.000, langsung dibayar ke tangan si cewek. Si pemakai cuma harus meninggalkan tanda pengenal kepada petugas keamanan setempat. Para cewek itu datang sendiri, untuk tiga bulan atau paling lama setahun. Lalu pulang. ''Mereka kembali lagi sambil membawa kawan,'' tutur Chris. Sehingga barak di Bukit Girang bisa berisi cewek dari satu daerah tertentu. Di lokasi satu hektare ini terdapat 20 barak yang terdiri dari 20 sampai 40 kamar. Menurut Ketua Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam, Nyonya Sri Sudarsono, di Bukit Girang tak ada sistem germo. ''Mereka punya kebebasan, jika mau pulang, silakan,'' katanya. Mereka yang masuk ke situ cuma tamat SD, dan ada pula yang buta huruf. Lembaga yang dipimpinnya itu ditunjuk Menteri Sosial Haryati Subadio, 30 Maret 1988, untuk menangani masalah pelacur di Pulau Batam. Setahun kemudian Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, B.J. Habibie, membentuk tim koordinasi penanggulangan masalah sosial tunasusila, dan istri bekas Kepala Satuan Pelaksana Otorita Batam itu ditunjuk sebagai ketuanya. Atas prakarsa lembaganya pula dilakukan suntik sekali seminggu, cuci kelamin sebulan sekali, dan dua kali seminggu pembinaan mental. Bank juga dihadirkan di situ. ''Mereka yang kembali ke kampungnya mengirim surat ke saya, menceritakan sudah punya warung dan sawah,'' tutur Sri Sudarsono adik bungsu Menteri Habibie itu. Keberuntungan semacam itu justru belum diraih oleh mereka yang beroperasi di tempat yang lebih wah, seperti di Golden Million, Golden Star, atau Maxim. ''Dari tiga tempat ini, di Golden Million ceweknya paling menderita,'' kata Nona, 20 tahun. Cewek asal Medan ini pernah dinas di situ, lalu pindah ke Maxim. Golden Million, I dan II, merupakan klub malam, lengkap dengan karaoke, panti pijat, restoran, dan salon kecantikan. Selain menyediakan kamar besar untuk para pramurianya, sebagai pelengkap berjuta fantasi tersedia pula kamar kencan. Sebulan terakhir satu ditutup karena pasar lesu. Jumlah ceweknya 300 lebih. Juga di Golden Star. Sedangkan di bar Maxim 40 orang. Tarif yang dipatok untuk ceweknya seragam, yakni Sin$ 120 atau sekitar Rp 150.000 per malam, jauh lebih murah ketimbang harga cewek di Singapura. ''Kalau rajin, bisa dapat bersih Rp 5 juta sebulan,'' kata Ita kepada TEMPO. Namun, ia toh mengeluh, karena uang itu semua dipegang si Mami Mery, pemilik Golden Million. Dan hitungannya tadi bisa meleset sama sekali setelah dipotong biaya cuci pakaian, makan, pengobatan, dan ongkos salon. Selain itu, ada lagi cicilan biaya tiket serta pinjaman ketika akan berangkat ke Batam. ''Bulan ini saya dibilang malah terutang Rp 700 ribu,'' kata Ita lagi. Kok? ''Entah, pokoknya saya kena denda macam-macam,'' keluhnya. Memang, si Mami yang berusia 35 tahun itu punya aturan ketat terhadap anggotanya. Seperti juga diungkapkan Nelly kepada Bambang Aji dari TEMPO, jam dinas mulai pukul 11 siang hingga 4 sore. Setelah istirahat, mulai lagi kerja pukul 7 hingga dini hari. Gerak-gerik mereka dibatasi. Untuk membeli keperluan sehari- hari, misalnya, hanya diberi waktu 15 menit. Dan harus ditemani orang lain. Jika terlambat, si Mami memotong Rp 50.000 dari simpanannya. ''Saya ingin pulang ke Medan, tapi belum punya uang,'' keluh Ita seraya menyesal bahwa mencari uang di Batam ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Sebelum menjadi penghuni rumah hiburan itu, mereka diskrining di kepolisian setempat, untuk memperoleh kartu pramuria seharga Rp 25.000. Kemudian di tempat masing-masing mereka diberi nomor yang wajib dipakai. Bagi yang abai akan didenda bosnya Rp 50.000. Seperti diakui cewek-cewek itu, mereka datang ke Batam atas jasa calo di daerah masing-masing. Ada yang diiming-imingi angin surga, ada yang ditipu, dan ada yang diberi tahu terus- terang. Si calo mendapat bagian Rp 300.000 per kepala. ''Modalnya cuma mulut manis saja, dan seluruh biaya ditanggung bos yang menampung,'' kata Meng Huat, pemilik bar Maxim. Dugaan tentang adanya perdagangan cewek ini telah menggerakkan polisi Kota Medan untuk meringkus Ek Tiong alias Budianto, 25 tahun. Manajer Maxim di Batam itu dicokok bersama dua cewek, ketika turun dari taksi di depan Hotel El Bruba, Medan, akhir Oktober lampau. ''Berdasarkan pemeriksaan, kasus ini sulit disebut perdagangan wanita, karena mereka sudah mengetahui akan dipekerjakan di Batam,'' kata Letnan Kolonel Leo Sukardi kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu, yang mungkin menjadi soal adalah mereka dipekerjakan tak sesuai dengan yang dijanjikan. Selain itu, si calo kini menghilang. ''Kalau dia ada persoalan, bisa lebih jelas,'' kata Leo sambil menekankan sejauh ini pihaknya belum melihat ada jaringan perdagangan wanita di daerahnya. Kembali ke cerita di Batam, setengah tahun belakangan ini, menurut seorang pengamat, wisata esek-esek agak lesu. Sebab, pelancong dari Singapura cuma singgah sebentar di sini, lalu menuju Tanjungbalai Karimun dan Tanjungpinang. ''Lebih dari separuh turis langsung ke sana,'' katanya. Biasanya sekitar 30.000 wisatawan Singapura membanjiri Batam tiap bulan. Menurut Kepala Cabang Dinas Pariwisata Riau, Kota Madya Batam, M. Nazief Soesila Dharma, jumlah itu 60% dari pelancong asing yang datang ke Batam. Mereka rata-rata membelanjakan US$ 150 atau Rp 300 ribu per orang tiap hari. Pelancong yang datang itu tampaknya masih orang yang sama, dan yang mereka jumpai di Batam pun cewek yang sama. Jadi, bosan, hingga mereka mencari tempat jajanan baru dengan harapan ketemu wajah baru, tak peduli itu stok lama. Juga, belakangan ini ada perubahan aturan di Singapura. Dulu, misalnya, bisa membawa rokok satu slof dari Batam, tapi kini cuma dua bungkus. Alkohol pun amat dibatasi. Ini juga mempengaruhi menurunnya jumlah pelancong dari Singapura. Menurut Sri Sudarsono, mungkin saja mereka mencari sasaran di Tanjungbalai Karimun. Tapi kalau Tanjungpinang, tak-lah. Sebab, pelacur di sini kini merasa terjepit oleh petugas Departemen Sosial, hingga mereka lari ke pulau lain. ''Mereka yang lari ke pulau-pulau itu ada yang pernah kedapatan kena HIV,'' kata Sri Sudarsono. Urusan jadi rumit karena mereka raib. Ini gara-gara terlambatnya diterima hasil tes darah mereka. Diungkapkannya, pihaknya sudah memesan alat lab untuk tes darah ini dari Negeri Belanda. ''Dua bulan ini diharapkan alat serta timnya tiba di Batam. Kelak kami bisa melakukan tes langsung di sini,'' katanya. Meski ada langkah menyelamatkan cewek yang bergelimang di bursa esek-esek ini, bukan berarti bisnisnya direstui. ''Pe- merintah tidak pernah menempatkan seks sebagai komponen objek wisata,'' kata Nazief Susila Dharma, Kepala Cabang Dinas Pariwisata Batam. Cuma tidak dijelaskannya apa halangan menghalau sama sekali perniagaan esek-esek itu dari komponen objek wisata Pulau Batam. Sekadar perbandingan, Singapura menarik untuk diamati, misalnya yang mampu menggusur tempat pelacuran di Kampung Bugis, dan sanggup menjebol mitos dengan mengharamkan judi, meski mayoritas penduduknya adalah Cina. Justru citra cantik Singapura kini terkenal sebagai negeri wisata konvensi. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus