PENGUSAHA susu terkenal keturunan India, P. Raj Kumar Singh, melakukan upaya hukum yang sebelumnya tidak pernah dilakukan orang lain. Sebagai saksi pelapor, ia menyatakan naik kasasi atas putusan hakim, yang melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum. Padahal, selama ini, yang berhak untuk banding atau kasasi hanyalah pihak jaksa atau terdakwa. Upaya yang dilakukan Kumar Singh itu, jika diterima oleh Mahkamah Agung, bisa memperkaya hukum acara pidana. Sebab, selama ini, para saksi pelapor hanya bisa mengurut dada bila orang yang dilaporkannya ternyata dibebaskan hakim atau dilepaskan dari tuntutan hukum. "Upaya saya itu bisa menjadi pelajaran bagi saksi pelapor tentang apa yang harus mereka lakukan bila mereka dirugikan jaksa dan hakim," ujar Kumar Singh, yang memasukkan risalah kasasinya ke Mahkamah Agung, Agustus lalu. Kumar Singh memang tidak berharap banyak dengan upayanya itu. Sebab, perkara yang diurusnya itu cukup sederhana. Pada November 1984, ia didatangi Ir. Rachmad Sulaiman dari Ditjen Bina Marga, Departemen PU. Ketika itu Kumar diberi tahu bahwa pagar pabrik mentega dan minyak PT Sawit Nusantara miliknya, di Jalan Jembatan III, Jakarta, terpaksa dibongkar untuk pembangunan jembatan penyeberangan dalam rangka pembangunan jalan layang untuk proyek bandara Soekarno-Hatta. Tanah pabriknya sepanjang 15 meter dan lebar 5 meter memang terkena pelebaran jalan. Menurut Kumar, ia tidak keberatan dengan rencana pemerintah itu. Hanya saja, ia meminta kepada Rachmad beberapa syarat, sebelum pembongkaran pagarnya itu dilakukan. Ia, misalnya, meminta petugas membawa surat tugas dan surat bukti pengukuran dari Dinas Tata Kota. Selain itu, ia meminta pula Rachmad menjamin bahwa pembongkaran itu tidak sampai membuat pagar itu sendiri rusak "Agar dapat dipaka lagi," kata Kumal Singh, yang selalu beserban itu. Keesokan harinya pembongkaran dilaksanakan oleh Noer Ihsan Handoko dan Bakir Suwito, keduanya,karyawan PT Wijaya Karya selaku pemborong, bersama 10 orang kuli. Menurul Kumar, walau syarat-syarat yang dimintanya belum dipenuhi, pembongkaran itu pada mulanya cukup memuaskan hatinya. Sebab, buruh-buruh itu membongkar pondasi, sehingga pagar tidak rusak. Tapi pada hari kedua, Kumar kaget karena tanpa izinnya buruh-buruh itu mematahkan pagar besi untuk mempercepat pekerjaan. Pemilik pabrik susu PT Kebun Bunga itu mencoba menegur buruh-buruh yang dikerahkan PT Wijaya Karya. Tapi tidak berhasil. Ia pun melapor ke polisi. "Sebab, dengan dalih kepentingan umum, mereka menginjak-injak hukum," ujar Kumar Singh. Di pengadilan ternyata Kumar terpojok. Jaksa Hamzah Dahlan ternyata menuntut Rachmad Sulaiman, Noer Ihsan, dan Bakir Suwito dilepaskan dari tuntutan hukum. Alasan Jaksa, para terdakwa bertindak demikian karena tugas untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu singkat. Sebab, pelebaran jalan itu, kata Jaksa, sudah ditargetkan selesai sebelum bandara Soekarno-Hatta diresmikan Presiden. "Hakikatnya, perkara itu merupakan pertentangan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan," kata Jaksa di sidang. Hakim pun sependapat dengan Jaksa. Menurut majelis, yang diketuai Waluyo Sejati, perusakan pagar oleh para terdakwa itu bukanlah suatu tujuan, melainkan sarana untuk pelebaran jalan. Keuntungan masyarakat akibat pelebaran jalan itu, kata Hakim, jauh melebihi kerugian saksi. Apalagi, belakangan, pihak yang membongkar pagar itu telah membangun kembali pagar baru untuk pabrik Kumar. Biasanya, dengan keputusan seperti itu, perkara sudah selesai. Sebab, baik jaksa maupun terdakwa pasti menerima putusan hakim. Tapi, Kumar lain: ia naik kasasi. Ia tetap tidak puas walaupun pagarnya telah diganti baru. "Itu sama saja dengan pencuri yang mengembalikan barang curian - apa bisa menjadi pemaaf?" ujar Kumar. Berhakkah Kumar kasasi ? "Pada mulanya, panitera juga mengatakan bahwa saya tidak mungkin kasasi, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur," kata Kumar. KUHAP memang mencantumkan pihak yang berhak mempergunakan upaya hukum banding dan kasasi hanyalah jaksa atau terdakwa. Tapi Kumar, yang mengaku banyak belajar hukum dari pengalaman, mendapat dasar hukum untuk menyatakan kasasi. Ia menemukan hak bagi saksi pelapor itu di pasal 49 ayat 2 (Undang-Undang Mahkamah Agung) 1965. Hak semacam itu, ternyata, dipertegas oleh Mahkamah Agung dengan sebuah surat edaran pada tahun yang sama. "Saya menyatakan kasasi karena Jaksa tidak bersedia menguji kebenaran hukum dan Hakim tidak menerapkan hukum secara tepat," ujar Kumar, yang mengaku hanya tamatan SLA. Kepala panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, S. Tirtosoegondo, membenarkan bahwa ia semula ragu apakah Kumar bisa kasasi atau tidak. "Tapi, setelah saya berkonsultasi dengan atasan saya, permohonannya kami terima," ujar Tirtosoegondo. Sementara itu, Hakim Waluyo Sejati menolak mengomentari upaya Kumar itu. "Sebab, saya hakim yang memutuskan perkara itu," katanya. Pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Utara juga menolak berkomentar. Hanya sebuah sumber di kejaksaan merasa, upaya Kumar itu aneh. "Baru kali ini saya menemui saksi tidak menerima putusan hakim dan kasasi. Kalau upaya semacam itu dibenarkan, proses perkara pidana bisa menjadi panjang, dan tidak selesai-selesai. Sebab itu, kami serahkan saja ke Mahkamah Agung," ujar sumber tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini