Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mereka Cuci Tangan...

15 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada 27 Oktober lalu, bisa jadi pekan-pekan ini kejaksaan akan melakukan eksekusi terhadap Rahardi Ramelan, Kepala Bulog di era pemerintahan Habibie. Da-lam situasi seperti ini, kata bapak dua anak dan satu cucu ini, ”Yang paling be-rat memberitahukan soal ini kepada ibu mertua saya, yang sudah ber-umur 88 tahun. Beliau langsung me-nangis.”

Di Bulog—instansi yang pernah diju-lu-ki ”kasir Orde Baru”—pria yang lahir di Sukabumi, 66 tahun silam itu ter-gelincir kasus hukum. Ia dituduh me-nge-luarkan dana nonbujeter secara tidak sah.

Muara dari semua kasus ini, hukum-an penjara dua tahun—yang sudah men-jadi keputusan tetap. ”Kalau masuk pen-jara, keinginan saya cu-ma satu, diizin-kan membawa laptop,” kata be-kas pembina Partai Golkar ini kepa-da wartawan Tempo L.R. Baskoro, yang me-wawancarainya pada Jumat pagi pe-kan lalu di rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Berikut petikan wa-wan-cara tersebut.

Kasasi Anda ditolak Mahkamah Agung, bagaimana pendapat Anda?

Ya, kaget sekaligus bertanya, inikah ke-adilan untuk saya. Tapi saya sendi-ri sampai kini belum menerima putus-an Mahkamah Agung itu. Saya belum tahu apa dasar keluarnya putusan itu.

Bagaimana Anda menilai kasus Anda ini?

Kasus saya ini kan hanya tempelan. Yang utama itu kan soal dana Rp 40 miliar yang melibatkan Akbar Tan-djung. Berita acara pemeriksaan saya dulu itu, sembilan puluh persen soal da-na Rp 40 miliar itu. Tapi, karena ini kasus politik dan Akbar Tandjung harus bebas, saya harus dicarikan kasus lain. Maka, muncullah kasus-kasus lainnya.

Pertama, kasus pengeluaran dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 4,6 miliar untuk pencairan bank garansi dalam kasus tukar guling dengan PT Goro Batara Sakti. Nah, di sini hakim menyatakan tidak ada kerugian negara. Lha, kalau begitu, kenapa saya di-anggap korupsi?

Kedua soal dana Bulog Rp 400 juta yang diberikan kepada Laode M. Kamaluddin untuk pemberitaan di media massa agar menguntungkan Presiden Habibie. Pemeriksaan kasus ini ba-nyak ke-janggalan. Laode, yang menerima da-na itu, sama sekali tidak diperiksa. Lalu, ada pula kasus dana Bulog untuk Jenderal Wiranto dan dana untuk pasukan pengawal presiden. Seperti dalam kasus dana untuk Laode itu, dalam kasus Wiranto dan dana untuk pasukan pengawal presiden, kejaksaan tidak memeriksa saksi-saksi penting. Adapun Wiranto ketika itu dipanggil karena memang ada kepentingan lain.

Lalu saya juga didakwa melakukan korupsi karena membangun masjid di kantor Bulog. Ini kan kewenangan saya sebagai Kepala Bulog. Kalau ini salah, se-harusnya Kepala Bulog yang lain, seperti Jusuf Kalla, Rizal Ramli, atau Wi-djanarko, juga diperiksa. Apa yang mereka lakukan dengan dana nonbujeter? Mereka juga mendirikan masjid, di Makassar, di Yogyakarta. Kenapa -tidak diapa-apakan?

Jadi, menurut Anda, Akbar Tandjung dulu itu seharusnya dihukum?

Lihat saja dokumennya. Katanya sem-bakonya tidak pernah dibagikan. Tapi soal sembako ini tidak dikejar jaksa. Lalu ada pula pengembalian uang yang jum-lahnya puluhan miliar dan selama itu disimpan di lemari. Ini semua aneh, tapi jaksa tidak mengejar.

Lalu, ada pula tanda bukti penerima-an uang dari bendahara Golkar Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat. Ke-dua orang ini dulu saya minta dihadirkan di pengadilan sebagai saksi. Tapi hakim menolak. Lalu, yang lebih lucu la-gi, jaksa juga meminta se-mua dokumen yang melibatkan mereka itu di-musnahkan. Saya me--nolak, saya memili-ki dokumen-dokumen itu.

Dalam kasus ini, -An-da merasa dikorbankan?

Iya, dan yang harus di-selamatkan: Akbar Tan-djung, Habibie, dan Partai Golkar. Ini kan persoalan perebut-an kekuasaan antara Partai Kebangkit-an Bangsa (PKB) dan Golkar. Saya melihat orang-orang yang di bawah Presiden Habibie ketika itu diaman-kan agar tidak bersaksi. Contohnya La-o-de M. Kamaluddin itu. Mungkin mereka takut, saksi-saksi ter-sebut ngomongnya akan ke-liru sehingga memberatkan Presi-den. Saya melihat sejak diperiksa di Kejaksaan Agung, arahnya memang saya akan dijadikan korban.

Anda merasa dikorbankan karena Anda tidak lihai berpolitik?

Di dunia politik, saya paling lemah. Ka-rena itu saya yang diserang. Akademisi boleh salah, tapi tidak boleh ber-bohong. Kalau orang politik kan lain. Harus berbohong dan tidak boleh salah. Saya bukan orang politik.

Kelihatannya Anda sudah siap masuk penjara….

Saya sudah capek. Sejak pulang dari luar negeri pada 2001 saya dicekal. Pada-hal saya memiliki tugas di MIT, Cam--bridge, Amerika, dan harus meng--a-jar di Northern Institute of Technolo-gy di Hamburg. Sudah empat tahun saya dicekal. Kalau putusan dari Mahkamah Agung itu saya terima, saya langsung akan mendatangi kejaksaan. -Jaksa tak perlu mencari-cari saya.

Dalam kasus ini Anda merasa di-khianati Akbar Tandjung dan Habibie?

Saya merasa ditinggalkan untuk bertanggung jawab sendiri. Dan mereka cuci tangan....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus