Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISAH kematian Munir, aktivis hak asasi manusia itu, tampak makin berlekuk liku. Kamis malam pekan lalu, terbetik kabar tim penyidik Markas Besar Kepolisian RI menahan Ery Bunyamin setelah ia diperiksa pada siang harinya. Pria 28 tahun itu menambah jumlah ter-sang-ka dari sebelumnya, Pollycarpus Budihari Priyanto, Yeti Susmiarti, dan Oedi Irianto.
Polly menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Akan halnya Ery, tim penyidik membidik tersangka baru ini karena menemukan beberapa kejanggalan dalam perjalanannya ke Singa-pura, 6 September 2004. Ia satu pesawat dengan Munir. ”Semua dokumen perjalanan yang digunakan Ery palsu,” kata ketua tim penyidik, Brigjen Pol. Marsudhi Hanafi.
Setelah diselidiki, alamat yang tercantum dalam paspor Ery (bernomor K107852) ternyata palsu. Ery juga tak tercatat dalam daftar penumpang kelas bisnis pesawat Garuda GA-974 Jakarta–Amsterdam.
Setelah penyidik meminta daftar semua penumpang kelas bisnis yang turun di Singapura, barulah ketahuan Ery penumpang gelap. Garuda me-nyodorkan 14 nama, kemudian tim pe-nyi-dik curiga ada penumpang tak ter-daf-tar. ”Muncullah nama orang ini, yang men-curigakan,” kata Marsudhi. Te-muan penyidik dibantah Ery, peng-acara muda alumni Fakultas Hukum, Uni-ver-sitas Parahyangan, Bandung.
Melalui pengacaranya, Amir Syamsuddin, Ery membenarkan telah menggunakan KTP palsu ketika meng-urus paspornya pada 2000 di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. KTP itu diurus di Pangkal Pinang. Ery harus ber-angkat ke Jepang untuk urusan bisnis. ”Ia buru-buru, jadi ambil jalan pintas -pakai KTP tembak,” kata Amir.
Di pesawat, Ery mengaku duduk di bangku paling depan, dekat jendela. ”Bangku nomor 1A kalau tak salah, persisnya dekat jendela,” kata Amir, menirukan Ery. Namun, Marsudhi tetap pada dugaannya: Ery dicurigai terlibat pembunuhan Munir. Penyidik memang baru menjerat Ery dengan pasal pembuatan surat palsu dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Kasus ini membuat Ery khawatir akan bisnisnya yang digerakkan dari Plaza Sentral lantai 16, Jalan Sudirman, Jakarta. Ia sedang melebarkan sayap se-ba-gai pengacara khusus di bidang anti-dumping. ”Ini saja yang dikhawatirkannya,” kata Amir. ”Nama baiknya hancur, bisnisnya juga hancur.”
Akankah motif dan pelaku pembu-nuh-an Munir akan terungkap dengan se-makin bertambahnya tersangka? Amir menilai kerja tim penyidik tidak ma-suk akal. Ery akan membuktikan ia tidak terlibat pembunuhan Munir. Sebelumnya, rasa kecewa dan kekhawatir-an bahwa pelaku utama pembunuhan Munir akan bebas dari jerat hukum juga merebak.
Usman Hamid, koordinator Kontras dan mantan anggota TPF kasus Munir, mengatakan, dakwaan didesain se--hingga pelakunya bermuara hanya pada Pollycarpus. Padahal, fakta dan data menunjukkan, pembunuhan Mu-nir memiliki motif yang jelas dan di-rencanakan matang. ”Tidak mungkin Polly mempersiapkannya sendi-ri-an,” ka-tanya. ”Terjadi perbedaan sangat fun--damental dengan dakwaan jak-sa,” kata Asmara Nababan, mantan anggota TPF.
Kekecewaan itu ditanggapi Domu P. Sihite, jaksa penuntut umum perkara Pollycarpus, dengan tenang. Ia tertawa lepas meski dicecar pertanyaan seputar berkas dakwaan. ”Kritik itu wajar,” katanya kepada Tempo di ruang kerja-nya, Kamis pekan lalu. ”Saya -tidak perlu sakit hati.”
Domu menjadi pusat perhatian masyarakat sejak membacakan dakwaan terhadap terdakwa Pollycarpus di lantai dua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Polly didakwa sebagai pelaku utama pembunuhan Munir bersama Yeti dan Oedi dengan cara memasukkan arsen dalam jumlah besar ke dalam gelas berisi jus jeruk. Munir meminumnya, dan beberapa jam kemudian tewas.
Seusai pembacaan dakwaan itulah berbagai kritik mengarah Jaksa Domu. Bukan saja dari para aktivis HAM, melainkan juga dari mantan rekan kerja-nya di TPF kasus Munir. Tentu juga da-ri Pollycarpus dan tim pengacaranya.
Pencabutan Pasal 56 KUHP dari berkas dakwaan mendapat pernyataan keberatan dari Muhammad Assegaf, pengacara Polly. Pasal itu menyebutkan, kliennya hanya berperan sebagai pembantu pelaku utama. Namun, dalam dakwaan Polly dijerat Pasal 55. ”Dia berperan aktif dalam kasus ini,” kata Domu. ”Ancaman hukumannya jauh lebih berat.”
Mengenai kekecewaan karena te-mu-an TPF tak tergambar dalam dakwaan, Do-mu punya alasan. ”Dalam dakwaan kami tidak bisa membuat penilaian mana temuan TPF dan mana bukan temuan TPF,” katanya. ”Jaksa hanya menggunakan hasil penyidikan kepolisian.”
Ia juga mengaku tidak terlibat dalam proses penyusunan penuntutan. Ketika dakwaan disusun oleh satu tim di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, ia sedang berkutat di TPF MUnir. Setelah TPF bubar, atasannya kemudian menunjuk dia menjadi jaksa penuntut umum -untuk perkara Pollycarpus.
Bagi Usman Hamid, model penyusunan dakwaan seperti ini memberi gambaran bahwa proses persidangan tak akan mampu mengungkap skena-rio besar di balik pembunuhan Munir. Asse-gaf juga memperkirakan dak-waan tidak mampu mengungkap apa yang di-gem-bar-gemborkan TPF kasus Munir ten-tang aktor intelektual dalam kasus ini.
Kasus ini, menurut dugaannya, ber-hen--ti pada satu pelaku, yakni Polly-car--pus. ”Jadi, wassalam, temuan TPF Mu-nir ditutup,” ujarnya. Meskipun de-mikian, Domu tetap pada pendiriannya. Menurut dia, dakwaan dan pembuktian akan mampu mengungkap motif dan pelaku utama pembunuhan itu. ”Itu harapan kami,” katanya.
I. Maria Hasugian, Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo