TAK ada tanda-tanda kehidupan di kapal itu, sampai jam menunjukkan pukul satu dinihari. Tanah Air, kapal semicontainer dengan ukuran panjang 83 meter, bagai terlelap merapat di dermaga Berlian, Tanjungperak, Senin minggu pertama Mei. Tapi sejak pukul 01.00 itu mulai terlihat hal mencurigakan: anak buah kapal mulai berisik, kadang-kadang tampak turun-naik. Adakah mereka menunggu sesuatu? Benar. Dari arah selatan meluncur sebuah colt, yang segera menuju ke sisi kapal. Lalu seseorang muncul membawa bungkusan, dari kendaraan air itu ke darat, dan menumpuknya di dalam colt. Satu kali, dua kali, kegiatan berlangsung aman. Kali yang ketiga, dari berbagai penjuru bermunculan para petugas keamanan pelabuhan (KP-3 dan KPLP) dalam pakaian preman, yang sudah lama mengamati kapal secara diam-diam. Mereka menyergap. Dan begitu bungkusan dibuka, muncul lembaran-lembaran meterai palsu. Para petugas, yang segera menggeledah kapal, mendapati tujuh bungkusan yang lain lagi yang, bersama dengan yang sudah di darat, semuanya berjumlah 1.839 lembar, dengan setiap lembar berisi 100 meterai, dan dengan harga seluruhnya hampir Rp 100 juta. Bisnis meterai palsu agaknya sedang jadi mode. Belum seminggu menjelang usaha penyelundupan ini, akhir April lalu, baru diselesaikan pengadilan kasus pemalsuan prangko dan meterai di Jakarta. Usaha penyelundupan meterai lewat Tanjungperak ini pun bukan yang pertama kali. Bahkan menurut Administrator Pelabuhan Tanjungperak, Soeharyono, kepada TEMPO, bila dilihat tata kerjanya yang rapi, "Ini sudah merupakan kerja sindikat,". KM Tanah Air, dalam pada itu, yang melayani rute Surabaya-Singapura, bukan baru sekarang dicurigai. Awal Maret lalu ia diketahui memuat keramik selundupan, menurut sebuah sumber, hanya saja tidak bisa ditangkap basah. Itulah sebabnya, pada kedatangan kapal kali ini (yang segera memuntahkan muatannya: keramik, pecah-belah, dan lain-lain), penjagaan di pelabuhan diperketat. Satuan keamanan diturunkan dalam pakaian preman. Dan empat orang kemudian ditahan: mualim II kapal, markonis, kepala kamar mesin, dan seorang karyawan Perum Pelabuhan III. Pihak Polda Ja-Tim, yang menangani perkara ini, tidak gampang mempercayai keterangan mereka bahwa meterai haram itu di buat di Singapura. Meski hal itu tidak mustahil, toh bisa saja meterai diproduksi di Jakarta, misalnya, lalu dibawa ke Singapura sekadar untuk menghilangkan jejak, sebelum dijajakan di Surabaya. Jalur itu yang kini sedang diselidiki, memang. Siapa tahu ada hubungannya dengan pemalsuan meterai yang dibongkar Mabes Polri pertengahan 1984, yang berujung pada penyitaan mesin pencetak prangko dan meterai palsu di . . . Depok, Bogor. Namun, memang, temuan terbesar yang berhubungan dengan kertas berharga itu terjadi di Singapura, Desember 1983: aparat kepolisian sana menyita seperangkat peralatan cetak cukup modern beserta barang bukti lain senilai Rp 900 juta. Membedakan meterai palsu dari yang asli, bagi banyak orang, agak sulit. Warna dasar yang dlpakai - sama-sama merah tua - nyaris sempurna. Begitu pula gambar, huruf-huruf maupun ornamen. Hanya saja pada yang palsu kali ini (semuanya meterai Rp 500-an) belum ada lubang-lubang perforasi untuk memudahkan perobekan, selain belum ada perekat kering. Pihak Kantor Pos Besar dan Giro Surabaya kini sedang melakukan pengecekan intensif. Soalnya, "Kami khawatir jangan-jangan yang beredar di pasaran sekarang ini juga palsu," kata A.L. Soetopo, Kepala Kantor Pos Besar dan Giro. Lebih-lebih meterai Rp 500 belakangan ini laku keras, dan memang sulit didapatkan di kantor pos biasa. Kekhawatiran yang beralasan. Pihak kantor pos sendiri, ketika dimintai contoh meterai yang asli, masih merasa perlu meminta Bandung, yang membuat meterai asli, mengirimkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini