Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Robin hood dari depokrejo

Darmono mengaku petugas penghijauan, memberi izin penduduk desa di kecamatan purwodadi & ngombol, untuk membabat hutan menjadi ladang. ternyata darmono menipu. kini diadili. motifnya karena sakit hati. (krim)

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG Robin Hood telah datang, dari Perhutani. Ia memberi izin kepada penduduk desa untuk mengubah hutan menjadi ladang. Maka, pohon mahoni, sonokeling, dan nyamplung di hutan selatan Purworejo, Jawa Tengah, itu pun bertumbangan. Kemudian semua itu jadi masalah. Ternyata, perintah itu palsu insinyur, ya si Robin itu, yang memberi perintah pun palsu. Dan mulai pekan lalu pemuda ini diadili di Pengadilan Negeri Purworejo. Dialah Darmono, 23, penganggur tamatan SMPA (Sekolah Menengah Pertanian Atas). Pemuda kalem bertubuh kurus tinggi itu menghadapi tuduhan berantai. Yakni: melakukan pemalsuan, penipuan, dan melanggar pasal 22 ayat 1 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk yang terakhir itu saja ia diancam hukuman cukup berat: 10 tahun penjara atau denda Rp 100 juta. Cerita bermula pada November tahun lalu. Suatu hari Darmono muncul di perkampungan terpencil di Kecamatan Purwodadi dan Ngombol, Kabupaten Purworejo. Ia bersepeda motor, berseragam batik Korpri - lengkap dengan lencananya. Lalu pemuda ini memperkenalkan diri sebagai insinyur kehutanan yang bekerja di Perhutani. Penduduk, yang umumnya buta huruf atau paling banter tamatan SD, menyambutnya hangat. Simpati penduduk makin besar begitu ia datang lagi bulan berikutnya, Desember 1985. Kepada setiap kepala desa yang ditemui, Darmono menunjukkan surat tugas sebagai penanggung jawab penghijauan di wilayah Purworejo. Surat itu ditandatangani Kepala Perhutani Jawa Tengah, Ir. Soedjarwo. Tentu, nama itu salah. Kepala Perhutani Jawa Tengah adalah Ir. Soeroso. Soedjarwo 'kan Menteri Kehutanan? Tapi, mana ada penduduk yang tahu? Maka, tanpa syak wasangka, penduduk menurut saja sewaktu disuruh berkumpul di Desa Ngentak. Darmono berpidato. "Saya datang kemari untuk mengangkat derajat ekonomi warga, yang selama ini kesusahan," katanya. Singkat cerita, ia berniat membagi-bagikan tanah hutan dengan sistem sewa agar bisa dimanfaatkan oleh warga desa. Untuk sementara, hutan yang akan dibabat dijadikan ladang seluas 20 hektar. Cara pembagiannya, demikian Darmono, tiap kepala keluarga mendapat jatah tiga kapling atau plong, 1,5 X 50 m2. Biaya yang harus dikeluarkan: Rp 250 uang pendaftaran dan Rp 5 ribu sewa per kapling. Ya, siapa tak senang? Dalam sekejap, 400 kapling terpasarkan. Dan esoknya langsung penduduk beramai-ramai menebangi hutan, mematoki kapling mereka. Segera pula mereka menanaminya, antara lain dengan kacang tanah, kedelai, ubi jalar, dan sayur-mayur. Namun, sebelum 20 hektar hutan habis terbabat, seorang polisi hutan, Sunarto, 35, mulai berpikir: bagaimana mungkin ada hutan begitu saja dibabati? Dia menyelidik, dan ketahuanlah bahwa surat tugas Darmono palsu. Akhir Januari lalu, bujangan yang tinggal bersama kakeknya di Desa Depokrejo itu pun ditangkap polisi. "Kami percaya dia insinyur, karena selalu memakai seragam Korpri dan membawa buku agenda," Sastro Pariwo, lurah Desa Kaburuhan. Dan, kata Karto Sumardi, lurah Desa Ngentak, ketika itu terdakwa memang benar-benar dianggap sebagai dewa penolong yang mendatangkan berkah. Memang, siapa di desa-desa yang miskin itu, yang sebagian besar adalah petani gurem, tak melonjak kegirangan mendapat bagian tanah dengan mudah? Dan sebenarnya itu pula alasan Darmono melakukan sandiwaranya. Ia ingin menolong penduduk menambah penghasilan katanya kepada Aries Margono dari TEMPO. Anehnya, ia pun tega memungut uang dari para petani gurem itu, dan dipakainya untuk bersenang-senang. Ada alasan lain, memang yakni membalas sakit hati. Lamaran anak kedua yang ditinggal mati bapaknya sewaktu masih kecil ini ditolak oleh Perhutani dua tahun lalu. Akibat ulahnya kini pihak Perhutani pusing. Kata Ir. Rachmadi dari Perhutani Kedu Selatan, yang membawahkan hutan Purworejo itu, "Kerugian materi mungkin tak seberapa, tapi pembabatan itu amat mengganggu kelestarian lingkungan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus