LAMA tak terdengar, suara Ketua Mahkamah Agung Ali Said, 62 tahun. Padahal, pejabat tertinggi di bidang hukum, yang punya "segudang" pengalaman, itu dikenal kocak, akrab, ramah, dan lihai bersilat lidah menjawab pertanyaan wartawan. Ternyata, ayah tiga anak itu mengaku baru sembuh dari sakit. Badannya yang kurus tinggi semakin kurus. Kendati begitu, semangatnya masih menyala-nyala. Ia masih tangkas dan kocak ketika menerima wartawan TEMPO, Karni Ilyas, Happy, dan Liston P. Siregar, Kamis pekan lalu, di ruang kerjanya. Dengan santai -- sepatu boot-nya dibuka dan ditaruhnya di sampingnya -- selama satu jam, ia menjawab berbagai macam pertanyaan TEMPO. Berikut cuplikannya: Bagaimana sebetulnya pendapat Ketua soal penayangan koruptor? "Masalahnya, janganlah dibawa ke arah setuju atau tidak. Lebih naif kalau di-drive yang tak setuju berarti melindungi koruptor." Siapa sih yang tak setuju koruptor diumumkan. Saya, sewaktu menjadi jaksa agung, bukan promosi, tak kurang menghantam korupsi. Persoalannya, bagaimana kita meluruskan prinsip-prinsip asas praduga tak bersalah. Kita lihat sekarang, siapa sih yang disebut koruptor? Kan kalau ia sudah diputus pengadilan, yang mempunyai kekuatan hukum. Istilah Jawanya, as long as there is not a final. Kalau belum diputus final, ya, dia itu masih calon koruptor. Nah, hormatilah asas praduga tak bersalah. Apalagi kita hidup dalam negara yang berasaskan "kemanusiaan yang adil dan beradab". Kalau begitu, sebelum diputus final, penayangan berarti melanggar asas praduga tak bersalah? Kalau penayangan buron, tak masalah. Begitu juga buron yang sudah diputus pengadilan. Kita mengharapkan social support, agar siapa yang mengetahui buron itu bisa memberi tahu pihak berwajib. Untuk yang masih diproses peradilan, ya, tunggu sampai keputusannya mempunyai kepastian hukum. Kalau sudah diputus final, apalagi sampai ditolak grasinya, berarti dia sudah accept sebagai koruptor. Boleh wajahnya ditayangkan dari depan. Untuk peliputan sidang boleh, asal diizinkan hakim. Misalnya peliputan korupsi di pengadilan, yang kemarin -- Senin pekan lalu -- saya suka. Asal saja, dijelaskan kepada masyarakat bahwa yang ditayangkan itu calon koruptor, masih dituduh. Tapi kejaksaan, kini, menanti fatwa MA? Rapat pimpinan di MA, sampai pada pikiran bahwa fatwa belum diperlukan. Sampai nanti, jika kejaksaan atau hakim memintanya, dan timbul problem hukum. Soal penafsiran pasal 10 KUHP? Hendaknya, pasal itu jangan dibaca persis seperti apa yang tertulis. Pasal itu kan terjemahan tok dari aslinya, KUHP Belanda. KUHP Belanda-nya, jelas, menunjuk ke Pasal 43. Pada waktu pasal itu dilahirkan seabad lalu, apa yang dikatakan pengumuman bukanlah penayangan televisi. Wong belum ada televisi. Lilin saja masih mahal, apalagi listrik. Terlepas dari soal penafsiran KUHP, apa efektif jurus penayangan koruptor itu? Nanti dulu. Korupsi itu bukan suatu tindakan yang beraspek mono, tapi kompleks sekali. Pengalaman menunjukkan bahwa selama ada peluang, orang akan korupsi. Si pelaku mungkin juga tak sepenuhnya bertanggung jawab. Apalagi sekarang ini yang di-panglima-kan pembangunan ekonomi. Rangsangan itu pasti ada. Jangankan Indonesia, Jepang saja yang sudah mapan masih dilanda korupsi. Karena kompleksnya permasalahan korupsi, tak mudah memberantasnya. Bahkan, dengan hukuman mati pun, saya belum menjamin korupsi akan habis. Kalau ada yang berani menjamin, saya sangsikan kewarasan si penjamin. Penanganan korupsi hanya dari satu segi -- pelakunya -- seperti penayangan itu, impossible. Jika penayangan diharapkan bisa mengurangi, apalagi memberantas korupsi, itu mimpi di siang bolong. Penanggulangan korupsi harus integrated. Marilah kita tangani bersama. Kita pelajari masalah dan pola korupsi yang sudah-sudah. Dari kasus korupsi di Pertamina pada 1970-an contohnya, milyaran rupiah uang negara bisa kita selamatkan. Itu kan bisa dijadikan studi. Ada suara yang menghubungkan gagasan penayangan itu dengan manuver menghadapi 1993? Lha, saya saja yang mau ikut suksesi, salah satu calon, nggak kampanye kok... ha... ha... ha. (Terkekeh, sembari mengipas-ngipaskan map ke badannya, yang ikut bergoyang). Sebagai pemrakarsa terbentuknya Ikadin, apa komentar Ketua dengan ramainya organisasi advokat itu kini? Kalau ditanya siapa yang paling kecewa dengan Ikadin, sayalah orangnya. (Ia menangkupkan telapak tangan kanan ke dadanya). Waktu Munas I saja, anggotanya ada yang naik ke meja, ke kursi. Padahal, Ikadin yang saya inginkan itu benar-benar wadah tunggal advokat. Ikadin saya harapkan bisa menelurkan pemikiran hukum. Sekarang ini, semua orang kan melihat ke 1993. Nah, mana sumbangan penegak hukum untuk memberikan penguatan terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Tapi Harjono Tjirtosubono ingin menjadi ketua kembali? Sebetulnya, Mas Harjono itu masih sakit. Saya kenal Harjono dan istrinya, jauh sebelum saya kawin. Mbak Yet -- istri Harjono -- minta saya meyakinkan Mas Har agar mundur. Tapi, Mas Har, rupanya, masih memegang prinsip I want to be chairman and I will be the chairman. Apakah Gani Djemat pantas memimpin Ikadin? Gani itu selalu mengikuti Ikadin dan tahu perkembangannya. Dia juga sudah settle, artinya tak akan menjadikan organisasi untuk mengisi perutnya. Dan ia bisa di-accept oleh banyak orang. Tentang sikap pengadilan, yang menggolkan tuduhan subversi judi buntut? Sikap pengadilan belum bisa menggambarkan kebenaran keputusan itu. Memang, Undang-undang Antisubversi terlalu membuka peluang untuk dikaitkan ke perkara apa pun. Mungkin, barang siapa buang hajat besar di kali, bisa subversi. Hanya saja, sebenarnya, undang-undang itu senjata pamungkas, yang betul-betul diarahkan untuk menyelamatkan negara. Sebagai senjata terakhir, kalau negara dalam ancaman. Sekarang, misalnya, ada perkelahian antar-SMA. Masak, mau dimeriam oleh batalyon artileri dari Kostrad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini