HAK cipta tak mati dengan meninggalnya si pencipta. Ketentuan yang ditegaskan oleh Undang-Undang Hak Cipta terbaru itu kini diuji di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ahli waris pencipta lagu keroncong, almarhum S. Dimin Tjokrowidjojo, menuntut ganti rugi Rp 152,5 juta dari produser rekaman PT Musica Studio's dan pimpinan Orkes Keroncong Bintang Jakarta (BJ) Budiman B.J. Para ahli waris Dimin -- meninggal April 1978 -- istri dan delapan anaknya menuduh PT Musica dan Budiman telah memperbanyak dan mengedarkan dua lagu keroncong, Iri Hati dan Kasih tak Sampai, ciptaan Dimin, tanpa izin Almarhum dan ahli warisnya. Sebab itu, selain meminta ganti rugi, mereka juga menuntut tergugat menarik kedua lagu itu dari peredaran. Menurut Nyony Supinah, istri Dimin, lagu Iri Hati diciptakan suaminya pada 8 Desember 1939, sebelas tahun sebelum mereka menikah. Sementara itu, lagu Kasih tak Sampi dibuat Dimin pada 20 Februari 1960. Belakangan, Dimin tenar sebagai pencipta sekitar 16 buah lagu keroncong, di antaranya lagu Stambul II Mengenangkan Nasib. Sekitar 1983, kata mereka, rekaman kedua lagu tadi -- produksi PI Musica -- beredar di pasaran. Lagu-lagu itu dinyanyikan penyanyi keroncong Toto Salmon, dengan iringan Orkes Keroncong BJ pimpinan Budiman B.J. Padahal, baik penggugat maupun almarhum Dimin, ketika hidup, tak pernah diberi tahu, apalagi dimintai izin. Hebatnya, lagu Iri Hati -- dalam kaset berkuli muka "Keroncong Asli Vol. 8" -- disebutkan sebagai ciptaan Samsidi. Ahli waris Dimin baru menuntut haknya setelah Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) terbaru pada 1987 lahir. Tapi PT Musica menganggap pihaknya telah membeli hak cipta kedua lagu itu dari pimpinan Orkes Keroncong BJ Budiman, dengan harga Rp 60 ribu. Budiman, kata Supinah, memang mengakui kesalahannya menjual hak cipta orang lain. Dan ia minta maaf. Tapi kata-kata maaf tentu saja tak menyelesaikan masalah. Sebab, kata salah seorang pengacara Supinah, Furqon W. Authon dari LBH Jakarta, jual-beli hak cipta lagu-lagu itu antara PT Musica dan Budiman tak mempunyai kekuatan hukum. "PT Musica tak berhati-hati dalam memperoleh hak tersebut," katanya. Upaya damai untuk memperoleh "penghargaan" hak cipta kedua lagu itu juga tak membuahkan hasil. Sebab, Supinah dan anak-anaknya menolak ganti rugi Rp 400 ribu yang ditawarkan PT Musica. Mereka, kabarnya, menganggap uang damai itu terlalu rendah. Akhirnya, berdasarkan ketentuan UUHC 1987, mereka menggugat PT Musica dan Budiman. "Kalau pengadilan mengabulkan tuntutan ganti rugi itu, kami akan mempergunakannya untuk memperbaiki makam Bapak di Ngawi, untuk anak yatim-piatu, fakir miskin, dan membantu pembangunan masjid," tutur Supinah. Juru bicara PT Musica, Henry Sin Yang, tetap menganggap pihaknya benar. Menurut Henry, PT Musica tak berniat memanipulasi nama pencipta kedua lagu itu dalam kaset rekaman mereka. "Kami sama sekali tak tahu-menahu. Segalanya sudah kami percayakan kepada Pak Budiman selaku project officer rekaman lagu-lagu keroncong waktu itu," katanya. Sayangnya, Budiman tak bisa ditemui. Menurut beberapa kerabatnya di Jakarta, ia lagi berobat ke Jawa Tengah, karena sakit tumor. Menurut ahli hak cipta Bambang Kesowo, bagaimanapun tindakan PT Musica itu tak dapat dibenarkan. "PT Musica kan bukan produser rekaman yang baru berdiri. Seharusnya ia tak boleh sekadar membeli, tapi juga memeriksa pencipta lagu itu. Kemudian, ya, minta izin kepada ahli warisnya untuk memperbanyak lagu itu," kata Bambang Kesowo kepada Agung Firmansyah dari TEMPO. Nah, bisakah vonis hakim kelak menunjukkan ampuhnya Undang-Undang Hak Cipta yang baru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini