Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKHAWATIRAN Jasmin Ragil Utomo hambus ketika ia menerima pesan pendek dari anggota stafnya yang hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kamis sore dua pekan lalu itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini mendapat kabar tentang kemenangan pemerintah dalam gugatan perdata melawan PT National Sago Prima.
Ragil telah berbilang pekan menunggu momen itu. Sebelumnya, dua kali majelis hakim menunda pembacaan putusan yang memenangkan pemerintah atas anak usaha PT Sampoerna Agro tersebut. Ragil bahkan sempat menyangka bakal kalah. "Ternyata kami menang," kata Ragil, Selasa pekan lalu.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perdata National Sago pada awal Oktober 2015. Pemerintah menuntut tanggung jawab perusahaan atas kebakaran kebun sagu seluas 3.000 hektare di Kepulauan Meranti, Riau, pada Januari-Maret 2014.
Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Muchtar Effendi menyatakan National Sago lalai mencegah kebakaran lahan di kebun mereka. "Sehingga mencemarkan dan merusak lingkungan," kata Muchtar ketika membacakan putusan. "Tergugat harus membayar ganti rugi ke kas negara akibat perbuatannya."
Total jenderal, National Sago harus membayar Rp 1,079 triliun. Ini merupakan gugatan terbesar yang pernah dimenangi Kementerian Lingkungan Hidup. "Ini kemenangan rakyat juga," ujar Ragil.
Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau, pada 22 Januari 2015 menjadi pijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mengajukan gugatan perdata melawan National Sago Prima. Waktu itu majelis hakim memutus dua perkara pidana yang berkaitan dengan perusahaan tersebut.
Putusan pertama menyatakan National Sago bersalah dalam kasus kebakaran di kebun mereka. Perusahaan harus membayar denda Rp 2 miliar, lebih rendah dari tuntutan jaksa Rp 5 miliar. Sebaliknya, putusan kedua membebaskan dua petinggi National Sago, Erwin dan Nowo Dwi Priyono. "Kami sengaja menunggu putusan pidana," kata Ragil.
Putusan Pengadilan Bengkalis yang menghukum perusahaan tak membuat Ragil dan timnya ongkang-ongkang. Ragil kembali deg-degan ketika pada Desember 2015 Pengadilan Negeri Palembang mengalahkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam gugatan perdata melawan PT Bumi Mekar Hijau. Kala itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pun mewanti-wanti Ragil dan timnya agar memperkuat bukti dan dalil gugatan atas National Sago. "Kami pelajari apa saja kelemahan dalam gugatan itu," kata Ragil.
Menurut Ragil, Kementerian Lingkungan Hidup sudah mengantongi bukti yang memberatkan National Sago sejak akhir Maret 2014. Waktu itu tim Kementerian "membonceng" Kepolisian Daerah Riau yang turun ke kebun sagu National Sago di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti. "Kami datang bersama polisi agar akses datanya lebih mudah," ucap Ragil.
Tim Kementerian waktu itu mengambil contoh tanah yang terbakar di lahan sagu seluas 21.418 hektare tersebut. Kementerian lalu meminta dua ahli dari Laboratorium Kebakaran Lahan dan Hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Sarjono dan Basuki Wasis, untuk memeriksa sampel tanah tersebut.
Menurut Bambang Hero, hasil tes laboratorium tentang derajat kerusakan tanah menjadi salah satu variabel dalam menghitung kerugian akibat kebakaran lahan. Rujukannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran. "Dalam aturan itu ada rumus untuk mengkonversi kerusakan lingkungan dalam bentuk ganti rugi," ujar Bambang.
Berdasarkan perhitungan Bambang, ada dua jenis kerugian akibat kebakaran lahan National Sago: kerugian ekologis karena rusaknya lingkungan serta kerugian ekonomis karena hilangnya potensi pendapatan selama 15 tahun. Total kedua jenis kerugian ini sekitar Rp 319,168 miliar. Setelah lahan hangus terbakar, menurut Bambang, perlu biaya besar dan waktu lama untuk memulihkannya. Bambang menghitung biaya pemulihan lahan seluas 3.000 hektare itu sekitar Rp 737,745 miliar.
Setelah menghitung kerugian, pekerjaan berikutnya adalah menyusun argumen hukum yang kokoh. Kementerian menggandeng pengacara senior Patra M. Zen sebagai kuasa hukum mereka. "Kami tak mau bukti yang kuat jadi loyo karena argumen hukumnya lemah," kata Ragil.
Patra dan timnya kemudian merumuskan tiga dasar gugatan. Pertama, menurut mereka, kebakaran di lahan National Sago telah mencemarkan dan merusak lingkungan. Kedua, sarana dan prasarana pencegahan kebakaran di lahan National Sago tak memadai. Terakhir, National Sago diduga tidak mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ketika mengajukan izin pembukaan lahan.
Patra dan timnya sempat berdebat alot mengenai aturan yang bisa mereka pakai untuk membidik National Sago. Belakangan, beda pendapat itu mengerucut pada Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Pasal itu menyebutkan perusahaan wajib bertanggung jawab terhadap kebakaran di lahan milik mereka. Pasal ini, menurut Patra, tidak berbicara tentang dari mana api berasal atau apa penyebab kebakaran. "Pokoknya perusahaan wajib memadamkan api di lahan mereka," kata Patra. "Kalau tidak, perusahaan artinya lalai."
Pengacara National Sago Prima, Harjon Sinaga, menyangkal tudingan kelalaian perusahaan. Menurut dia, api berasal dari lahan milik masyarakat yang berbatasan dengan kebun sagu perusahaan. Api cepat merambat masuk lahan konsesi perusahaan karena kala itu angin bertiup kencang dan cuaca sedang panas. National Sago juga telah berusaha memadamkan api di kebun sagu mereka. "Klien kami sampai menyewa helikopter untuk memadamkan api," ujar Harjon.
Bambang Hero, yang pernah meninjau lokasi kebakaran, ragu terhadap dalih National Sago. Menurut dia, lahan garapan masyarakat dan kebun perusahaan berjarak sekitar tujuh kilometer. Berdasarkan citra satelit, titik panas (hotspot) pun muncul pertama kali di lahan konsesi National Sago pada Januari 2014.
Tim Kementerian telah mencocokkan citra satelit dengan peta kerja perusahaan. Ternyata titik panas yang tertangkap satelit berada di lahan perusahaan yang terbakar. Menurut Ragil, api semestinya bisa segera dipadamkan karena lokasi kebun National Sago dikelilingi sungai. "Kalau mereka punya sarana memadai, api bisa cepat dikendalikan," kata Ragil.
Faktanya, menurut Bambang, di lapangan, perusahaan tak memiliki sarana pencegah dan pengendali kebakaran yang memadai. Di lokasi kebakaran, ketika tim Polda Riau dan Kementerian Lingkungan datang, tak ada satu pun menara pengawas api. Padahal, menurut Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, National Sago, yang memiliki lahan 21 ribu hektare, seharusnya membuat lebih dari 10 unit menara api dan 15 set pompa induk.
Kementerian Lingkungan menjadikan buku pedoman keluaran Kementerian Pertanian pada 2010 itu sebagai amunisi dalam menyusun gugatan. Aturan itu memang menjelaskan secara rinci sarana pencegahan apa saja yang harus dimiliki perusahaan perkebunan. Mengacu pada buku tersebut, kata Ragil, "Unsur kelalaian perusahaan cukup kuat."
Dalam persidangan, majelis hakim mengiyakan sebagian besar dalil dan bukti yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup. Namun majelis hakim mengesampingkan tuduhan penggugat bahwa perusahaan tak mengantongi dokumen amdal.
Suara hakim tak bulat. Hakim anggota, Nursyam, menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion. Menurut dia, kebakaran di lahan National Sago merupakan bencana alam. Dasarnya adalah Surat Keputusan Bupati Kepulauan Meranti, Riau, tentang status tanggap darurat penanganan bencana kebakaran hutan. "Sehingga perusahaan tak perlu membayar ganti rugi," kata Nursyam, Kamis pekan lalu.
Kementerian Lingkungan, menurut Ragil, akan mengawal putusan ini sampai berkekuatan hukum tetap (inkrah). Bagi pemerintah, kemenangan besar melawan National Sago juga menjadi modal untuk mengajukan gugatan perdata melawan sejumlah perusahaan lain. "Kami berharap hakim lain belajar dari putusan ini," kata Ragil.
Sebaliknya, National Sago pun belum menyerah. Menurut Harjon Sinaga, putusan hakim mengesampingkan fakta versi perusahaan. Karena itu, perusahaan kini ancang-ancang mengajukan permohonan banding.
Syailendra Persada, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo