Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Narkotika jenis kokain cair disamarkan dalam botol sampo.
Ekstasi bubuk dikemas dalam stoples minuman berenergi untuk menghindari kecurigaan.
Integritas kepolisian sangat menentukan keberhasilan pemberantasan narkotika.
KEPOLISIAN Daerah Metro Jaya dan Bea-Cukai Bandara Soekarno-Hatta mengungkap modus baru penyelundupan narkotika dari luar negeri. Pelaku memasukkan kokain cair dalam tiga botol sampo untuk menghindari kecurigaan. Namun akal bulus ini tidak bisa memperdaya petugas. “Karena, ketika dibuka dan diperiksa, isinya bukan sampo dan berbau sangat menyengat,” kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki, kemarin, 25 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kokain cair itu dibawa oleh seorang warga negara Portugal berinisial RPAV. Petugas Bea-Cukai Bandara Soekarno-Hatta mencurigai barang-barang bawaan pria itu dan menemukan tiga botol sampo. Karena meyakini isi botol bukan sampo, petugas kemudian mengujinya dengan peralatan khusus. Dari pengujian inilah dipastikan bahwa botol itu berisi kokain.
RPAV diketahui terbang dari Lisbon, Portugal, lalu transit di Dubai, Uni Emirat Arab. Ia tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pada 17 Maret 2024 dinihari. Adapun kokain cair yang dia bawa sebanyak 2,59 liter atau seberat 2,67 kilogram. “Barang tersebut akan dibawa ke Bali,” kata Hengki.
RPAV mengaku mendapat upah 6.000 euro untuk mengantar barang itu ke Indonesia. Di tempat tujuan, barang itu akan diserahkan kepada FMGS yang juga berkewarganegaraan Portugal. Adapun FMGS saat itu berada di sebuah penginapan di kawasan Pecatu, Kabupaten Badung, Bali.
Kepala Subdirektorat I Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Bariu Bawana mengatakan, pada umumnya kokain berbentuk bubuk. Barang haram ini diubah menjadi cair untuk kamuflase. Kokain cair banyak beredar di Amerika Selatan, seperti di Kolombia. Sedangkan di kawasan Asia, kokain dalam bentuk cair hampir tidak pernah ditemukan. “Diduga, kokain cair itu dibawa ke Bali untuk warga negara asing,” katanya. “Jadi, tidak diedarkan untuk warga lokal, melainkan eksklusif untuk turis kalangan tertentu.”
Ditresnarkoba Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Bea-Cukai menunjukkan barang bukti modus peredaran narkotika, di Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, 25 Maret 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Sebelum penyelundupan kokain cair dari Portugal, kepolisian lebih dulu mengungkap modus baru penyelundupan metilendioksimetamfetamina (MDMA) atau ekstasi dalam bentuk bubuk. Barang haram tersebut dimasukkan ke stoples minuman berenergi. Paket tersebut dikirim dari Belanda dengan tujuan sebuah tempat tinggal di Kelurahan Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. “Dikirimkan menggunakan ekspedisi luar negeri melalui Pos Indonesia,” kata Hengki.
Personel Bea-Cukai yang bertugas di Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat, mencurigai dua paket dari Belanda tersebut. Setelah diperiksa, pada paket pertama ditemukan satu stoples bertulisan "Recovery Drink" berisi bubuk berwarna merah muda. Sedangkan pada paket kedua terdapat dua stoples bertulisan "Body Mass Vegan Protein Plant" dengan isi yang sama. Dari hasil uji laboratorium dipastikan bubuk tersebut adalah ekstasi. Total barang bukti yang disita seberat 1,5 kilogram.
Polisi mendatangi alamat tujuan paket pada 8 Maret 2024 dan menangkap sepasang suami-istri, yaitu LS dan AM. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa AM, sebagai istri, berperan menerima paket untuk diserahkan kepada suaminya, LS. Selanjutnya, ekstasi bubuk dikemas dalam ukuran tertentu untuk diedarkan melalui sindikat. Polisi saat ini masih melacak jaringan sindikat tersebut.
Selain pasangan LS dan AM, polisi mendeteksi keterlibatan seorang warga negara Cina berinisial LQX. Menurut Hengki, LQX diduga sudah lebih dari sekali mengirim ekstasi bubuk ke Indonesia, tapi perannya baru terungkap setelah AM dan LS ditangkap. “LQX diduga sebagai pengendali,” katanya. “Ia berada di Cina.”
Bariu Bawana mengatakan modus penyelundupan ekstasi bubuk ini juga terbilang baru. Ekstasi yang selama ini beredarnya berbentuk tablet, bukan bubuk. “Sebelumnya memang pernah ada, tapi sudah lama sekali,” katanya. “Jadi, yang sekarang ini termasuk baru.”
Untuk mendeteksi modus-modus baru penyelundupan narkotika, kata Hengki, dibutuhkan kerja ekstra agar barang haram itu tidak lolos. Untuk memperketat pengawasan, kepolisian dan Bea Cukai akan tetap menggunakan aturan-aturan resmi dengan didukung teknologi. “Kami selalu mengadakan pembaruan alat-alat untuk memantau agar barang-barang haram tersebut tidak lolos,” ujarnya.
Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Hengki (kiri) saat konferensi pers di Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, 25 Maret 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Pengamat kepolisian pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, mengawasi penyelundupan narkotika di Indonesia memang cukup berat karena dipengaruhi faktor geografis. Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, sehingga mudah dimanfaatkan oleh penyelundup.
Tantangan untuk mencegah penyelundupan juga tidak mudah karena para penyelundup itu umumnya merupakan bagian dari jaringan internasional. Mereka memiliki segudang pengalaman dan siasat di banyak negara untuk menyelundupkan narkotika. Upaya yang bisa dilakukan penegak hukum saat ini adalah menangkap pelaku di Indonesia dan memberikan hukuman secara maksimal untuk memberi efek jera.
Keberhasilan dalam upaya pencegahan, kata Bambang, sangat dipengaruhi oleh faktor integritas personel kepolisian. Dia mencontohkan sejumlah peredaran narkotika yang justru melibatkan pejabat kepolisian seperti dalam kasus Teddy Minahasa dan Doddy Prawiranegara. “Itu yang membuat pemberantasan narkoba tidak maksimal,” katanya.
Karena itu, kata Bambang, kerja sama antarbagian di institusi kepolisian perlu diintensifkan. Misalnya saja dengan memaksimalkan peran intelijen keamanan. “Selain memitigasi gangguan keamanan, intelijen semestinya bisa juga membantu pemberantasan kejahatan narkotika,” kata dia. “Peran itu harus bisa dimaksimalkan seiring dengan perkembangan zaman, termasuk perubahan-perubahan pola maupun modus kejahatan.”
Bambang berpendapat bahwa perangkat teknologi yang digunakan untuk operasi pemberantasan narkotika memang diperlukan. Namun peran paling penting tetap pada sumber daya manusia sebagai pelaksana. Sehingga penuntasan penyelidikan tidak bergantung pada ketersediaan alat. “Itu tidak memberi nilai tambah pada upaya pemberantasan narkoba,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo