Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nasib Harimau Sumatera di Ujung Tanduk

Deforestasi dan keuntungan ekonomi menjadi penyebab perburuan harimau Sumatera masih marak.

24 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Deforestasi dinilai menjadi penyebab utama perburuan harimau Sumatera.

  • Alasan ekonomi pun tak luput dari perburuan kucing besar di Sumatera itu.

  • Pemerintah diminta lebih serius dalam melindungi harimau Sumatera

JAKARTA — Perburuan harimau Sumatera masih terus terjadi meskipun hewan ini berstatus kritis, selangkah lagi menuju kepunahan. Yang terbaru, Kepolisian Daerah Aceh meringkus dua orang pelaku penjualan kulit harimau di kawasan Tualang, Kecamatan Peurelak, Kabupaten Aceh Timur, pada Jumat pekan lalu, 19 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Yayasan Leuser Internasional, Said Fauzan Baabud, mengatakan bahwa masih maraknya perburuan tak lepas dari laju deforestasi di Aceh yang menjadi habitat harimau Sumatera. “Banyak perubahan fungsi lahan, yang dulunya kawasan hutan menjadi lahan perkebunan masyarakat atau swasta,” kata Said kepada Tempo, Selasa, 23 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan (HAkA) serta Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), pada 2019 saja, hutan di Aceh menyusut sebanyak 15.140 hektare atau setara dengan 14 ribu luas lapangan sepak bola. Jumlah itu hampir sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 15.071 hektare. Luas Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang awalnya memiliki luas 2.255.577 hektare, diperkirakan tinggal 1,8 juta hektare pada 2019.

Bangkai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang mati terkena jerat di Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, 24 April 2022. ANTARA/Weinko Andika

Penyusutan hutan ini, menurut Said, membuat kucing raksasa itu merangsek ke wilayah permukiman warga untuk mencari makan. Konflik antara harimau dan manusia pun tak terelakkan. Dia mencontohkan kasus kematian di Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, pada Februari tahun lalu.

Dalam kasus itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Forum Konservasi Leuser, dan aparat desa setempat menemukan sejumlah bangkai kambing tak jauh dari lokasi jenazah harimau. “Harimau memangsa hewan ternak, sehingga warga ada yang meracun. Asumsinya mereka memangsa sapi dan kambing karena rusa dan babi sudah tidak ada lagi di hutan,” kata Said.

Pada awal tahun ini saja, menurut penelusuran Tempo, sudah terjadi dua kasus konflik antara manusia dan harimau di Riau dan Sumatera Barat.

Said pun memaparkan data dalam penelitiannya yang dipublikasikan dalam jurnal Wild Life Letters pada Februari 2023. Hasil penelitian itu mencatat 96 kasus konflik antara harimau dan manusia sepanjang 2017-2021 di Aceh. Dari jumlah itu, 75 kasus (78,1 persen) terjadi di wilayah perkebunan sawit dan pertanian.

Sisanya, 10 kasus (10,4 persen) terjadi di dalam hutan yang menjadi habitat asli harimau, di hutan sekunder 6 kasus (6,3 persen), dan di permukiman warga sebanyak 5 kasus (5,2 persen).

“Masyarakat menganggap harimau sebagai hama karena dia itu mengganggu kebun mereka, mengganggu ternak mereka, jadi dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan,” kata Said.

Pengurus Suaka Margasatwa Barumun, Syukur Alfajar, mengatakan deforestasi yang berujung pada konflik antara manusia dan harimau terjadi karena pemerintah belum memperhatikan wilayah konservasi satwa. Menurut dia, pemerintah saat ini lebih mengutamakan pembukaan hutan untuk berbagai program, dari pertambangan nikel hingga proyek lumbung pangan atau food estate.

Padahal pria yang akrab disapa Sugeng itu menyatakan satwa liar dan langka yang ada di Indonesia lebih berharga ketimbang proyek-proyek tersebut. “Itu yang harus kita jaga,” kata Sugeng.

Dengan terjadinya perubahan status lahan, menurut dia, sulit untuk dilakukan penegakan hukum terhadap pelaku deforestasi. Pasalnya, pelaku memiliki izin dari pemerintah untuk menggunakan kawasan yang sebelumnya berupa hutan tersebut.“Itu (penegakan hukum) lebih susah jadinya,” ujarnya.

Kulit harimau sumatera (Panthera tigris sumatrea) saat gelar kasus kejahatan perdagangan satwa dilindungi di Banda Aceh, Aceh, 2020. ANTARA/Ampelsa

Selain diburu karena dianggap mengganggu, masih ada praktik perburuan harimau Sumatera karena kepentingan ekonomi. Said menyatakan para pemburu biasanya memasang perangkap untuk hewan liar. Praktik seperti ini, menurut dia, merupakan modus para pemburu untuk berkelit dari aparat hukum.

“Ketika pelaku ini ditangkap, mereka semua alasannya mau jerat babi dan rusa. Alasannya itu semua. Padahal kita tahu itu di belakangnya ada permintaan,” kata dia.

Sama seperti Said, Sugeng tak menutup mata akan adanya perburuan harimau Sumatera hidup untuk dijual. Menurut dia, saat ini memang masih ada perburuan harimau untuk domestikasi atau dijadikan hewan peliharaan dengan alasan penangkaran. “Tapi kan itu penuh perdebatan,” kata Sugeng.

Menurut Sugeng, harimau Sumatera memiliki nilai jual yang tinggi, terlebih bagi kolektor yang sengaja memelihara hewan buas tersebut maupun yang sekadar mengambil bagian tubuhnya. Untuk itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menjaga hewan liar yang terancam punah ini.

“Sebenarnya enggak rumit. Apa sih susahnya mengejar pemburu? Saya kira kalau kita serius, itu bisa digulung, paling tidak diminimalkan,” ujarnya.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus