Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Narkotik kerja melanda tuan ambisia

Penyakit workaholic, mabuk kerja, bisa menghantar pelakunya ke liang kubur. penyakit ini muncul jus- tru di zaman modern. di jepang, angka kematian tinggi akibat kerja berlebihan.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan dengan rekan kerja dan keluarganya tambah tak serasi. Ia bagaikan Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. TUAN Ambisia, 42 tahun, presiden direktur sebuah perusahaan elektronik multinasional ternama. Di bawah pimpinannya, usahanya maju pesat. Istrinya cantik. Tiga anaknya sehat, dan pintar di sekolah. Mobilnya BMW. Setiap hari ia tampak perlente berdasi. Lima belas tahun Ambisia dijadikan tokoh eksekutif muda yang patut ditiru. Tapi jenjang kariernya tak didapat dengan percuma. Pagi ia bangun pukul lima. Main golf sampai pukul tujuh. Satu jam kemudian ia ke kantor. Sering telepon berdering ketika Ambisia bercukur, atau sedang menghirup kopi, atau mengunyah roti panggang yang disediakan istrinya. Sebelum masuk mobil, dilihatnya dulu buku harian elektroniknya. Semalam, pukul 2.10 pagi masuk berita dari Tokyo melalui mesin fax di rumahnya. Dalam perjalanan ke kantor tak putus ia bicara melalui telepon saku. Tiba di kantor, sekretarisnya memberikan daftar acaranya. Coba tengok acara rutin Ambisia pada hari itu. Rapat staf pukul 09.00, makan siang di hotel bintang lima pukul 12.30, kembali ke kantor, menghadiri pembukaan pabrik Anu pukul 4.00 sore, kembali lagi ke kantor. Ia baru sampai di rumah pukul 8.00 malam. Anaknya sudah tidur, tetapi Ambisia berusaha menemani istrinya makan malam pukul 9.00. Makan malam yang diselingi dering telepon tiga kali, dan fax masuk sekali. Ketika istrinya masuk kamar tidur, Ambisia masih sibuk dengan komputer di kamar kerjanya. Rata-rata tiap pekan ia bekerja 55 jam, ditambah 15 jam di rumah. Bukankah ia sudah dijadikan "barang contoh" sebagai seorang eksekutif sukses? Majalah ekonomi (nasional dan internasional) memuji tokoh eksekutif yang berpenyakit workaholic ini. Tampangnya sering muncul di TV. Belakangan, Ambisia mengeluh sakit-sakitan. Namun, dokter tak menemukan yang salah pada dirinya. Bahkan ia sering bertengkar dengan istri dan anak-anaknya -- seakan tiga bocah yang asing baginya. Ternyata, Ambisia terkena penyakit workaholic, mabuk kerja. Meningkatnya kompetisi bisnis di dunia -- apalagi digalakkan dengan pembangunan dan investasi asing -- rasanya makin tidak mudah berpacu terus dalam dunia bisnis berteknologi tinggi ini. Kunci sukses megabisnis ini tampaknya dipegang tangan ajaib para eksekutif model Ambisia. Meski tersimpul sukses itu diraih dengan mengorbankan waktu liburnya yang sudah kian sedikit. Di awal puncak Revolusi Industri, 1950, jam kerja resmi waktu itu 50 jam seminggu. Kini ciut: 38 jam. Di Indonesia, bahkan diwajibkan kerja tak lebih dari 35 jam seminggu. Dr. Bertrand Russell pernah mengusulkan agar manusia bekerja 4 jam, tiap hari. Ini untuk menghilangkan pengangguran, karena semua orang dapat sama rata bekerja. Waktu itu, filsuf dari Inggris ini dikritik. Banyak yang tanya bagaimana mengisi sisa jam yang terlalu banyak. "Itu karena salah peradaban manusia sekarang," jawab Russell. Itu pendapat Russell pada 1935. Apa komentarnya seandainya kini ia masih hidup. Ternyata, dorongan mesin kerja makin melaju berdasarkan ambisi, materialisme, dan budak teknologi. "Penyakit workaholik muncul justru di zaman puncak teknologi dan kompetisi tinggi dewasa ini," tulis Dr. Barbara Killinger dalam bukunya Workaholics, The Respectable Addicts yang belum lama ini terbit. Menurut psikolog dari Kanada itu, workaholisme adalah penderitaan yang berbahaya kejam, dan bisa mengantar pelakunya ke liang kubur. Fenomena ini berjangkit di mana-mana. Di Jepang, misalnya, tak kurang dari 10.000 orang meninggal karena korashi, mati karena kerja yang berlebihan. Jumlah ini sama banyaknya dengan kematian dalam angka kecelakaan lalu lintas. Narkotik kerja ini juga melanda Provinsi Ontario, di Kanada. Decima Research yang melakukan penelitian Maret tahun ini membuktikan, dari 2.000 orang yang dijadikan responden, 90% menyatakan tak punya waktu lagi untuk bersantai. Alasannya, karena tak ada waktu, atau energi sudah habis karena kecapekan. Bisa dibayangkan bagaimana mata manusia modern kini tak pernah istirahat. Seusai dari kerja, mata kemudian terpaku pada TV atau bacaan. Mata baru mengaso kalau yang empunya tertidur. Dijelaskan oleh Killinger, seseorang yang jam kerjanya cukup lama bukan berarti pengidap penyakit ini. Asal saja orang itu menikmati kerjanya dan hasil kerja memuaskan hatinya. Seseorang yang ketagihan kerja juga bukan pengidap workaholik. Misalnya, kelompok sosial kelas menengah. Gigihnya mereka bekerja karena adanya tekanan ekonomi. Jadi, motivasinya didorong kecanduan neurotisme, karena kerja sudah jadi bagian dari hidupnya. Workaholisme adalah gejala kerja yang tidak sehat. Karena dihantui kecanduan (addiction) dan penyalahgunaan kekuasaan (power) dan penguasaan (control). Seorang workaholik bukan hanya sekadar kerja dengan jumlah jam kerja panjang. Tapi kerja adalah suatu obsesi bagi hidupnya. Juga, bukan sekadar kerja untuk hidup. Kerja, baginya, perangsang untuk tujuan agar suksesnya diakui, meski kesehatan atau keluarganya ia korbankan. Ironisnya, demikian hasil penelitian Killinger, semakin seorang kecanduan workaholik, cara kerjanya makin tak efisien. Obsesinya dihantui ambisi. Akibatnya, hubungan dengan rekan kerja, dan keluarganya, tambah tak serasi. "Seorang workaholik berperan bagaikan Dr. Jekyll hari ini, dan esoknya menjadi Mr. Hyde," kata Killinger. Kepribadian penderita berubah lain sama sekali. Killinger menyebutkan, beberapa gejala yang makin lama makin lenyap dari karakter semula penderitanya. Misalnya, tidak bisa lagi berkomunikasi, hilang rasa humor, kehilangan kebebasan, tidak tahu mana yang benar atau salah, dan akhirnya kehilangan integritas dan rasa hormat. Lebih celaka, penderita tidak bisa lagi merasakan arti bahagia atau menyatakan cinta (yang tulus). Keluarganya biasanya jadi korban utama dari workaholisme ini, karena si suami atau istri telah "menikah" dengan jabatannya. "Penderita workaholik selalu takut dilanda kebosanan. Lalu ia menyibukkan dirinya sendiri demikian rupa," tambah Killinger. Penyakit ini biasanya hinggap pada usia 40-an ke atas, meski ada pasien Killinger yang berusia 26 tahun. Biasanya menyerang pria atau wanita, pada hampir semua lapangan kerja, termasuk sekretaris atau ibu rumah tangga. Tapi penderitanya kebanyakan mereka yang menjabat tingkat atas dunia bisnis, menteri, atau dokter. Karena profesi mereka bisa bekerja tanpa limit. Killinger, dalam seminar tahunan Asosiasi Ahli Psikologi Kanada bulan lalu, mengharapkan "mudah-mudahan" workaholisme bisa dihilangkan sama seperti tahapan kampanye antimerokok. Masalahnya kini, bagaimana mengurangi metafora kegembiraan dari, misalnya, televisi yang bisa menyajikan instant news atau instant sport. Kalau toh tidak nonton TV, di luar banyak mesin bank (instant cash), microwave yang bisa menyiapkan instant food, bahkan instant sex (para pelacur yang dibekali pager). Ada lagi instant memory (foto). Sehingga segala sesuatu yang serba cepat menjadi utopia hidup. Biasanya, yang serba instant juga serba dibuang ( disposable). "Termasuk nilai-nilai hidup tak ada lagi yang abadi dan tak ada lagi yang suci," ujar Killinger. Dan akhir-akhir ini -- ini mungkin sebagai pengobat penderita workaholik -- di beberapa restoran besar di AS dan Kanada bukan hanya boleh memilih tempat duduk bagi mereka yang merokok atau tak merokok. Tapi pelayan akan bertanya lagi, apakah tamu mau duduk di tempat yang ada telepon atau tak ada telepon. Meski kini menjadi pemandangan biasa kalau ada tamu menggenggam telepon saku. Mungkin ia betul sibuk. Mungkin ia takut kalau telepon sakunya dicuri, seandainya ditinggalkan di mobil. Tuti Kakiailatu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus